Wacana Perppu KPK, Presiden Tidak Bisa Ditekan-tekan di Luar Sistem
VIVA – Presiden Jokowi diminta untuk mempertimbangkan desakan sejumlah pihak untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Menurut anggota DPR Fraksi Partai Golkar, Firman Soebagyo, desakan itu dinilai tak tepat dan menganjurkan kepala negara mengambil langkah inkonstitusional.
Sebagai orang yang ikut membahas revisi undang-undang tersebut, ia menilai dorongan agar Presiden mengeluarkan perppu sama saja mendorong pemerintah ke luar dari sistem yang telah ditetapkan secara bersama.
“Bernegara itu kan punya aturan. Aturannya adalah aturan hukum. Itulah bentuk kehadiran negara untuk mengatur segala sesuatu yang terkait dengan masalah tata kelola pemerintahan dan negara. Itu fungsinya DPR. Nah, kalau semua konstitusinya dipenuhi maka rakyat itu tidak bisa menggunakan pola-pola penekanan-penekanan yang di luar sistem," kata Firman kepada wartawan, Minggu, 13 Oktober 2019.
Firman pun menyarankan pihak-pihak yang menolak revisi undang-undang untuk menggugatnya ke Mahkamah Konstitusi. Dalam aturan juga menyebutkan, jika selama 30 hari disahkan, maka UU KPK telah resmi berlaku.
“Karena kalau itu dituruti maka ini akan menjadi parlemen jalanan. Oleh karena itu koridor konstitusi itu adalah menggugat di Mahkamah Konstitusi," kata Firman.
Aturan penyadapan yang dipersoalkan oleh sejumlah kalangan dalam aturan tersebut, menurut dia, aturan itu dibuat agar ada Dewan Pengawas yang ikut dalam pelaksanaan penyadapan tidak dijadikan alat politik. Ia heran, tekanan yang dialamatkan kepada Presiden Jokowi telah melenceng karena mengerahkan massa turun ke jalan.
“Contohnya ketika (mantan ketua KPK) Abraham Samad melakukan penyadapan Pak Budi Gunawan, ternyata kan dia punya interest mau jadi wakil presiden. Dan ketika dia enggak jadi wakil presiden, maka sadapannya Pak Budi dibuka ke mana-mana. Nah ini yang enggak boleh," kata Firman yang dikenal lama duduk di Komisi II dan Badan Legislasi. (ase)