KPK Pesimis Bisa Tuntaskan Kasus Besar Pakai UU Baru
- ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
VIVA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pesimis bisa mengungkap perkara megakorupsi dalam waktu kurang dari dua tahun, dengan menggunakan Undang-undang (UU) KPK hasil revisi.
Kekhawatiran tersebut didasari atas kewenangan baru yang diatur di dalam Pasal 40 UU KPK hasil revisi, yakni terkait penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Pada ayat 1 menjelaskan, lembaga antirasuah boleh menghentikan proses penanganan perkara jika tidak kunjung rampung dalam waktu paling lama dua tahun.
"Kalau penanganan perkara KPK dibatasi waktunya dua tahun, mungkin kasus seperti TPPU atau kasus seperti TCW (Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan) tak mungkin terbongkar," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah kepada wartawan, Kamis, 10 Oktober 2019.
Pada kasus Wawan saja, KPK membutuhkan waktu lima tahun untuk dapat melimpahkan berkas penyidikan ke tahap penuntutan. KPK telah berhasil mengidentifikasi TPPU adik mantan Gubernur Banten Ratu Atut itu senilai Rp500 miliar dari ratusan proyek yang digarap Wawan melalui perusahaannya.
"Kemudian seperti kasus e-KTP, BLBI, korupsi di sektor kehutanan, pertambangan, atau kasus lain yang butuh perhitungan kerugian keuangan negara yang signifikan, atau kasus besar yang bersifat lintas negara, itu tidak mungkin, atau katakanlah sulit untuk selesai dalam waktu dua tahun," kata Febri.
Febri menambahkan, KPK dari awal sudah menyampaikan sejumlah poin dalam RUU KPK yang dapat melemahkan lembaga antirasuah, terkhusus untuk mengungkap kasus besar. Apalagi tindak pidana korupsi merupakan serious crime atau lebih bahaya dari kejahatan luar biasa.
"Sementara untuk kasus tindak pidana umum saja tak ada batas waktu gitu. Nah ini yang kami lihat ada pertentangan satu dengan yang lain sehingga kami menyimpulkan saat itu, ini salah satu poin yang sangat berisiko melemahkan KPK," kata Febri.
Meski begitu, Febri menyerahkan penuh kepada Presiden Joko Widodo, untuk mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) atau tidak untuk mengurai masalah UU KPK yang baru.
"Kalau soal Perppu, kami serahkan saja kepada presiden. Karena itu domain presiden. Apakah misalnya presiden cenderung akan mendengar suara dari parpol yang sebagian tidak mau ada Perppu, atau cenderung mendengarkan puluhan ribu mahasiswa, pelajar, dan masyarakat yang menyampaikan eksplisit di demonstrasi," ujarnya. (ase)