Kerusuhan Wamena Tinggalkan Trauma Mendalam, Ini Cerita Pengungsi

Para Pengungsi Kerusuhan Wamen Tiba di Medan
Sumber :
  • VIVAnews/Putra Nasution

VIVA – Konflik dan kerusuhan terjadi Kabupaten Wamena dan sejumlah daerah di Papua dilakukan  ternyata meninggalkan trauma mendalam bagi warga Sumatera Utara yang tinggal di daerah tersebut. Kini, mereka memilih mengungsi dan kembali ke kampung halaman demi keselamatan.

Denny Sumargo Khawatir Takut Sang Istri Terseret di Tengah Konflik dengan Farhat Abbas

Sebanyak 36 warga Sumut mengungsi dari Kabupaten Wamena dan kembali ke kampung halamannya. Mereka tiba di Medan dan diterima di kantor Gubernur Sumut, Edy Rahmayadi. 

Terdata 651 warga Sumut tinggal di Wamena. Sebagian besar dari mereka telah diungsikan ke lokasi pengungsian di Sentani dan Jayapura. 

KPUD Perketat Pendukung Paslon yang Bawa Alat Peraga Kampanye di Debat Terakhir Pilkada Jakarta

Mardelina Manurung menceritakan, dia sudah tinggal sekitar 15 tahun di Kabupaten Wamena dan bekerja sebagai Aparatur Sipil Negara di Puskemas setempat. Wanita berusia 40 tahun itu, melihat sekelompok orang mulai menyirami bensin dari api kecil hingga besar dan sampai hangus saat kejadian kerusuhan, 23 September 2019, lalu.

"Kalau mau kembali ke sana (Wamena) masih mikir. Kalau memang langsung disetujui kita ingin pindah," kata Mardelina saat tiba di Kantor Gubernur Sumut di Medan, Rabu malam, 9 Oktober 2019.

Warga Diberi Kesempatan Bertanya di Debat Terakhir Pilkada Jakarta Besok

Dengan kondisi sudah mencekam, Mardelina mengatakan langsung mengungsi ke tempat yang aman dengan bermodal baju, beserta seragam sekolah anaknya. Sementara barang-barang berharga di rumahnya ditinggalkan begitu saja.

"Di sana sebenarnya sebelum kejadian itu baik-baik saja. Kita bangga, malahan anak saya lahir besar di Wamena (Labewa). Anak saya empat lahir di situ. Kita harapnya bisa tinggal di sini di Tiga Balata atau ke rumah orangtua suami di Sibolga," ucap Mardelina.

Istri dari Bripka Mislon Miam Sinambela (38) yang bekerja sebagai polisi di Polres Jaya Jaya itu, mengaku semua empat anaknya lahir di Wamena. Anak paling besar telah berusia 13 tahun, anak kedua dan tiga kembar berusia 11 tahun, dan yang paling kecil masih 4 tahun.

Dijelaskan Mardelina lagi, awalnya hanya isu-isu saja. Pas hari H ia masih santai, namun rupanya di situlah meledak kerusuhan. Infonya demo mahasiswa tapi banyak penyusup. Karena dua minggu sebelum kejadian memang banyak isu beredar. 

"Kondisi rumah tidak diapa-apain. Karena kami tinggal di Aspol, kan suami polisi toh. Jadi, saat kami keluar, pengungsi yang lain masuk menggantikan di rumah kami. Sedih melihat di sana, banyak rumah orang terbakar," katanya.

Sekolah dihancurkan

Hal senada disampaikan Marlina Ompusunggu (30) mengaku sudah 4 tahun terakhir bekerja sebagai guru kimia di SMA YPPGI Wamena dan berstatus PNS. Dia merasa nyaman tinggal di Wamena. Karena dia dan keluarga dianggap orang di sana sebagai saudara.

"Orang di sana baik, terbukti kami bisa mereka selamatkan. Tidak mungkin tinggal di pengungsian toh. Jadi kita menunggu bagaimana kebijakan pemerintah. Apakah bersedia membangun tempat-tempat kita yang sudah dirusak. Dari hati yang paling kecil susah untuk meninggalkan Wamena," sebut Marlina.

Marlina mengaku saat kerusuhan sebagian sekolah ada yang dihancurkan. Tapi karena mayoritas anak didik di sekolahnya mengajar putra daerah, jadi tidak dihancurkan hanya sebagian yang dihancurkan.

"Biasa kalau ribut sebentar saja. Ini luar biasa langsung pohon besar ditebangi di jalan dan tidak ada yang melintas. Setelah itu kebakaran sudah terjadi di mana mana. Puji Tuhan ada orang menyelamatkan kita. Kepala Desa datang dan memberitahukan api sudah di mana-mana," katanya.

Ia juga mengaku trauma dengan situasi memanas tersebut dan tidak tahu berbuat apa saat kejadian. Marlina hanya bisa berlindung dengan mencari tempat aman dan menjauh lokasi kerusuhan tersebut.

"Terus mereka bantu kami bongkar pagar belakang dan bawa ke rumahnya. Hampir satu hari kami di rumahnya dan dibawa ke gereja. Di situ sudah kumpulan orang Batak semua," kata Marlina.

Masih kata Marlina, mereka sempat disandera. Sampai malam mereka bertanya kenapa tidak diantarkan oleh pihak keamanan. Rupanya jalan yang dilalui dihalangi dengan pohon pohon besar dan batu. Sehingga alat transportasi tidak bisa menjemput.

"Evakuasi tertunda karena ada massa aksi yang ditahan. Polisi membawa para perusuh yang membakar rumah. Jadi mereka dikeluarkan dan barulah kami dilepas sekalian seperti di barter," ungkap wanita asal Kabupaten Tapanuli Utara, Sumut itu.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya