Tewasnya Aktivis Walhi Golfrid Siregar Janggal, Polisi Didesak Usut
- bbc
Kepolisian hingga saat ini masih mendalami penyebab kematian advokat Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Utara, Golfrid Siregar.
Awalnya, polisi mengatakan kematiannya disebabkan luka berat akibat kecelakaan lalu lintas. Namun keluarga tidak puas dengan keterangan tersebut dan justru menemukan kejanggalan dari kematian Golfrid.
Di sisi lain, Kepala Departemen Advokasi Eksekutif Nasional WALHI, Zenzi Suhadi mengklaim ada indikasi penganiayaan terhadap Golfrid terkait kasus yang sedang diadvokasi mendiang sebelum meninggal dunia.
"Kami khawatir tekanan itu akan bergeser pada keluarga juga pertimbangan untuk teman-teman yang menjadi kunci dari kasus-kasus yang ditangani oleh almarhum Golfrid," ujar Zenzi kepada BBC News Indonesia, Selasa (08/10).
Hingga Selasa (08/10) siang, Polda Sumatra Utara masih menunggu hasil autopsi yang dilakukan RS Bhayangkara Medan, untuk memastikan penyebab kematian, termasuk untuk memastikan dugaan penganiayaan.
"Ini sedang dalam penyelidikan apakah itu kecelakaan tunggal, atau kecelakaan, atau tabrak lari, atau mungkin ada penganiayaan, ini masih dalam penyelidikan dan belum bisa disimpulkan," ujar Kabid Humas Polda Sumut, Tatan Dirsan Atmaja.
Golfrid ditemukan terkapar tak berdaya di sebuah jalan layang (flyover) di Medan para Kamis (03/10) dini hari oleh seorang pengemudi becak motor, setelah dilaporkan hilang oleh keluarganya.
Sempat mendapatkan perawatan karena luka berat di kepalanya, dia akhirnya meninggal dunia pada Minggu (06/10).
Laporan polisi menyebut Golfrid terkapar di flyover karena "diduga kecelakaan lalu lintas". Dalam laporannya, polisi juga menyebut Golfrid "mengalami luka berat." dengan deskripsi wajah dan mata sebelah kiri luka lebam, dengan kondisi tidak sadarkan diri.
Dia ditemukan bersama sepeda motornya yang digambarkan dalam kondisi "knalpot tergores, pengikat pijakan kaki bagian belakang patah, rem kaki bengkok."
Namun keluarga dan rekan sesama pegiat aktivis mendapati keterangan polisi tidak memuaskan dan menghendaki kepolisian melakukan penyelidikan secara serius untuk mengungkap kematian Golfrid Siregar.
Banyak kejanggalan
Jenazah Golfrid tiba di RS Bhayangkara, Medan, pada Senin (07/08) malam untuk diautopsi, setelah menempuh tiga jam perjalanan dari rumah duka di Tiga Dolok, Kabupaten Simalungun, Sumatra Utara.
Istrinya, Resmi Barimbing, tampak lesu menunggu autopsi jenazah suami yang baru dinikahinya selama dua tahun itu.
Tak banyak ucap dari mulut Resmi, namun dia berharap pihak kepolisian segera mengusut tuntas kasus kematian suaminya yang merupakan aktivis Hak Asasi Manusia dan juga advokat Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Utara.
"Kami mau ini diusut tuntas karena apa meninggalnya," ujar Resmi seperti dikutip dari kantor berita Antara.
Bibi Golfrid yang mendampingi Resmi, Serdiana Sitompul, mengatakan sedianya jenazah Golfrid akan dimakamkan pada hari itu. Namun, keluarga mendapat kabar dari kepolisian bahwa jenazah Golfrid akan diautopsi untuk memastikan penyebab kematiannya.
Serdiana menambahkan keluarga menduga Golfrid meninggal bukan karena kecelakaan, seperti yang dilaporkan sebelumnya. Mereka merasa janggal dengan luka yang hanya ditemukan pada bagian kepala, sementara itu tidak ditemukan luka di sekujur badan.
"Kalau keluarga yang di kampung itu, mereka bilang ini bukan korban tabrakan, karena kepalanya ini yang hancur, soalnya luka [kepala] ke bawah tidak ada. Kalau tabrakan pasti ada [luka dari kepala] ke bawah," ujar Serdiana kepada wartawan.
Kepala Departemen Advokasi Eksekutif Nasional Walhi, Zenzi Suhadi, yang merujuk keterangan rekan sejawat yang mendampingi korban selama di rumah sakit, menemukan "sangat banyak kejanggalan pada kejadian dan tubuh korban."
Cedera pada tubuh korban merupakan akibat dari trauma benda tumpul yang terkonsentrasi di kepala, terutama tengkorak bagian belakang remuk dan mata sebelah kanan bengkak.
Selebihnya, di tubuhnya tidak ditemukan luka-luka yang lain.
Selain itu, pakaian yang dikenakan korban tidak ditemukan bekas lecet seperti orang jatuh dari motor.
Dugaan penganiayaan
Zenzi merasa hal ini janggal karena merujuk pada keterangan pengemudi becak motor yang membawa korban ke rumah sakit, korban ditemukan di jalanan beraspal. Justru di celananya ditemukan bekas lumpur.
"Untuk cedera yang parah di kepala, kalau jatuh itu tidak mungkin tidak ada kerusakan di motornya. Justru motornya tidak mempunyai kerusakan berarti. ini yang membuat kita menduga sepertinya ini bukan kecelakaan," jelas Zenzi.
Lagipula, lanjut Zenzi, ketika ditemukan barang berharga milik Golfrid raib, termasuk laptop, dompet, ponsel dan cincin yang dia kenakan.
Pada Sabtu (05/10) silam, Walhi Sumut melaporkan kejadian ini ke kepolisian atas dugaan penganiayaan, namun menurut Zenzi, laporan ini ditolak oleh Polsek Deli Tua yang menganggap penyebab kematian Gilfrid adalah kecelakaan lalu lintas.
Baru pada Minggu (06/10) malam, kasus ini diambil alih oleh Polrestabes Medan untuk memastikan penyebab kematian Golfrid.
Kabid Humas Polda Sumut, Tatan Dirsan Atmaja mengungkapkan, selain menunggu hasil autopsi, kepolisian saat ini sedang mengumpulkan alat-alat bukti, termasuk rekaman CCTV rumah sakit dan lokasi kejadian, serta jejak digital ponsel korban.
"Di samping itu kita juga mengumpulkan berbagai saksi, kemudian membuka percakapan telpon dan melacak percakapan handphone yang dilakukan yang bersangkutan," jelas Tatan.
Daftar hitam kekerasan pegiat lingkungan
Golfrid yang merupakan manajer kajian hukum Walhi Sumut dilaporkan tengah menangani kasus hukum yang berkaitan dengan lingkungan hidup di wilayah Sumatra Utara.
Di antaranya kasus perizinan pembukaan kawasan hutan Batang Toru di Tapanuli untuk proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Toru dan kasus pembalakan liar di Kabupaten Karo, serta beberapa kasus lain.
Sejumlah pegiat lingkungan hidup di Indonesia tercatat mengalami kekerasan, seperti Direktur Eksekutif Walhi Nusa Tenggara Barat, yang rumahnya dibakar pada awal tahun ini. Hingga saat ini belum terungkap siapa pelakunya.
Pola kekerasan dan diskriminasi terhadap pegiat lingkungan, kata Kepala Departemen Advokasi Eksekutif Nasional Walhi, Zenzi Suhadi, kian berkembang.
Jika sebelumnya ancaman, kekerasan dan kriminalisasi hanya dialami oleh masyarakat dan tokoh masyarakat, kini mengarah pada aktivis pendamping dan pimpinan organisasi, penasehat hukum, dan para ahli.
"Kalau dilihat perkembangannya saat ini sudah darurat dalam hal tanggung jawab negara menjamin dan melindungi aktivis lingkungan karena sudah berkembang pola kekerasan dan ancaman kepada pembela lingkungan," tegas Zenzi.
Walhi mendesak polisi untuk mengungkap tuntas aksi-aksi kekerasan terhadap pegiat lingkungan hidup dan mendesak negara untuk segera mengeluarkan kebijakan yang melindungi aktivis lingkungan dalam menegakkan keadilan ekologis.
"Seharusnya pemerintah melindungi dan menjaga serta menjamin suara-suara dari masyarakat sipil karena negara membutuhkan second opinion dari kebijakan yang dikeluarkan negara," ungkapnya.