Polemik Perppu KPK, Ini Penjelasan Soal Negara dalam Keadaan Darurat
- VIVA/M Ali Wafa
VIVAnews - Presiden Joko Widodo hingga kini belum mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (Perppu KPK). Padahal, sejumlah pihak sudah mendesaknya karena menganggap UU KPK hasil revisi melemahkan KPK sebagai lembaga super body.
Menurut pakar Hukum Tata Negara Fahri Bachmid, presiden dapat menerbitkan Perppu apabila ada keadaan darurat. Menurut Fahri, keadaan darurat atau ‘state of emergency’ secara konseptual didasarkan atas doktrin yang sudah dikenal sejak lama yaitu prinsip adanya keperluan atau prinsip ‘necessity’ yang mengakui hak setiap negara yang berdaulat untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk melindungi dan mempertahankan integritas negara.
Fahri menuturkan hukum tata negara subjektif atau ‘staatsnoodrecht’ dalam arti subjektif adalah hak yaitu hak negara untuk bertindak dalam keadaan bahaya atau darurat dengan cara menyimpang dari ketentuan undang-undang, dan bahkan apabila memang diperlukan, menyimpang dari UUD.
“Nah secara doktrin/ajaran hukum tata negara darurat seperti tersebut di atas dapat dikualifisir berdasarkan prinsip ‘actual threats’? Ataukah sekurang-kurangnya bahaya yang secara potensial sungguh-sungguh mengancam komunitas kehidupan bersama ‘potential threats’? Hal yang demikian ini penting untuk diidentifisir sesuai kondisi objektif berdasarkan ajaran hukum/doktrin hukum tata negara darurat,” kata Fahri dalam keterangan tertulisnya, Senin 7 Oktober 2019.
Menurut Fahri, secara konstitusional pranata penetapan Perppu adalah berdasar pada tahapan terjadinya keadaan yang genting. Keadaan yang genting tersebut, lanjut Fahri, memaksa presiden untuk mengambil tindakan secepatnya atau adanya kebutuhan yang mengharuskan “reasonable neccesity”.
Sebab jika peraturan yang diperlukan untuk menangani situasi genting seperti itu menunggu mekanisme yang lazim pada DPR memerlukan waktu panjang dan lama ‘limited time’, tindakan hukum yang diambil adalah menyimpang dari prosudur baku dalam tertib penyusunan UU normal sesuai UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Fahri melanjutkan presiden diberi kewenangan konstitusional untuk menerbitkan Perppu dalam situasi yang demikian, namun ketentuan pasal 22 UUD NRI Tahun 1945 hanya menekankan pada anasir-anasir kegentingan yang memaksa, yaitu element ‘reasonable neccesity’ dan serta ‘limited time’ dan tidak menekankan pada sifat dan derajat bahayanya ancaman “dangerous threat”, dalam konteks keadaan darurat ‘legal reasoning’ untuk membuat rezim regeling yang bersifat khusus adalah harus adanya sifat bahaya “dangerous threat” sebagaimana dimaksud dalam ketentuan pasal 12 UUD NRI Tahun 1945, dan disertai oleh kebutuhan “reasonable neccesity” serta kegentingan waktu “limid time”sebagaimana diatur dalam pasal 22.
“Nah berdasar pada kondisi diatas, dan jika dikaitkan dengan tuntutan berbagai element masyarakat agar presiden dapat mengambil kebijakan mengeluarkan Perppu adalah tidak sejalan dengan prinsip-prinsip konstitusionalisme, dan berpotensi membahayakan lembaga-lembaga demokrasi serta mengancam kewibawaan presiden sebagai “The Sovereing Power” atau presiden selaku “The Sovereing Executif” berdasarkan logika hukum tata negara darurat,” tutur Fahri.
Sebelumnya, DPR dan pemerintah telah menyetujui revisi UU KPK. Namun kemudian, sejumlah pihak menolak, termasuk memicu aksi-aksi demonstrasi mahasiswa yang cukup masif. (ren)