Cerita Perantau Minang Anggap Wamena Seperti Kampung Sendiri

Warga Padang mengungsi dari Papua
Sumber :
  • VIVAnews/Aman Hasibuan

VIVA – Senin pagi, 23 September 2019, menjadi hari yang mencekam bagi Defrizul (45 tahun), Irmadani Syaputra (38 tahun), dan ribuan perantau Minang lainnya, di Wamena Kabupaten Jayawijaya, Papua. Mereka dihadapkan dengan situasi yang sebelumnya tak pernah terbayangkan sama sekali.

Pendukung Caleg Partai Garuda Serang Kantor DPRD dan KPU Jayawijaya Papua Ditangkap Polisi

Awalnya aktivitas berjalan normal. Toko-toko di kawasan Pasar Wamas dibuka satu per satu, sebagai pertanda akan dimulainya aktivitas perekonomian di sana.

Tiba-tiba, terdengar teriakan dari kejauhan. Suara itu kian detik kian keras terdengar. Gerombolan massa datang tiba-tiba. Mereka secara beringas melakukan tindakan anarki. Mereka membakar hampir semua bangunan rumah dan pertokoan. Kerusuhan terjadi tanpa bisa diredam.

Pangdam Cenderawasih: Lima Prajurit TNI Jadi Tersangka Penyerangan Polres Jayawijaya

Defrizul, warga asal Bayang Pesisir Selatan, Sumatera Barat, menceritakan pada pagi itu. Sewaktu dia hendak membuka kios, tiba-tiba datang serangan dari gerombolan aksi massa ke rumah, sekolah setempat.

Seiring dengan adanya serangan itu, kata Defrizul, para orangtua murid lantas mendatangi sekolah untuk menjemput anaknya. Saat bersamaan, massa yang datang lebih banyak. Mereka bertindak anarki dengan melempar batu, panah hingga bom molotov.

Terima Paket Sabu dari Jatim, Ipang Diciduk karena Diduga Mau Edarkan di Wamena

Warga Padang mengungsi dari Papua

"Aksi pembakaran pun terjadi. Rumah, semua kios dibakar. Waktu itu, seandainya tidak datang dari anggota Kodim, lima menit saja telat, semuanya warga yang dekat pasar Wamas itu semuanya habis, di tempat kejadian yang besar itu, yang banyak korban meninggal itu," kata Defrizul saaat diwawancara VIVAnews, di Padang, Sumatera Barat, Kamis malam, 3 Oktober 2019.

Menurut Defrizul, upaya pembakaran kios dan bangunan rumah, pada awalnya sempat dihalau oleh warga setempat. Namun lantaran kalah jumlah, upaya penghalauan itu gagal. Aksi pembakaran pun berlanjut tanpa bisa diredam.

"Sewaktu kejadian itu, ada warga setempat yang menghalangi agar kios jangan dibakar. Tapi rombongan anarkis ini lebih banyak ketimbang massa yang menghalangi agar kios jangan dibakar," ujar Defrizul.

Sementara Irmadani Syaputra, warga Pesisir Selatan, menilai aksi brutal yang dilakukan segerombolan massa itu sepertinya dendam. Sebelum aksi itu terjadi, kata Irmadani, mereka seperti sudah mengatur strategi. "Sebelum demo, mereka itu sudah mengatur strategi secara detail dengan mengatur kawasan. Dibagi secara rata. Jadi Senin itu langsung meledak," ujarnya.

Meski berhasil menyelamatkan diri, menurut Irmadani, butuh perjuangan yang berat. Dia dan perantau lain, diadang dengan golok dan batu. Bahkan diancam akan dibakar. Hingga akhirnya datang bantuan dari TNI dan mereka pun selamat.

Irmadani menilai, kerusuhan yang dilakukan oleh segerombolan massa itu hanya terjadi di daerah pinggiran kota saja. Karena untuk kawasan perkotaan, pada saat itu berada dalam pengawalan ketat aparat keamanan.

"Kami tinggal di daerah Hom Hom, Jalan Pike, termasuk pinggiran kota. Sasarannya ini di pinggiran kota. Karena di kota sendiri dikawal secara ketat. Jadi di sekitaran kota tidak ada terjadi pembakaran dan pembunuhan," kata Irmadani

Ketika itu, para pendatang baik dari Ranah Minang, Bugis hingga Jawa tak luput dari sasaran amukan aksi massa. Korban pun berjatuhan. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia merilis 31 orang meninggal dunia akibat tragedi itu. Sejumlah 26 jiwa di antaranya meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Sembilan korban meninggal dilaporkan berasal dari Ranah Minang.

Empat dari delapan jenazah warga Sumatera Barat korban kerusuhan di Wamena, Kabu

Kerusuhan itu memicu gelombang eksodus. Ribuan pendatang yang selama ini hidup aman dan damai di sana, memilih meninggalkan Wamena untuk sementara waktu.

Markas Distrik Militer (Makodim) dan Mapolres setempat menjadi tempat pengungsian sementara sebelum mereka bergerak ke Sentani, tempat yang dianggap lebih aman. Dua markas aparat itu kemudian disulap menjadi tempat pengungsian.

Diselamatkan warga Papua

Defrizul maupun Irmadani Syaputra tak menampik bahwa orang Papua itu pada dasarnya baik. Mereka akan membalas semua kebaikan pendatang yang selama ini bergaul dengan mereka. Hal ini terbukti saat kerusuhan meletus, Senin, 23 September 2019 lalu.

Orang asli Wamena menghalau gerombolan aksi massa yang melakukan pembakaran, dan menyelamatkan, melindungi banyak nyawa pendatang. Mereka menyelamatkan dan melindungi warga dengan cara dibawa ke gereja.

"Orang Papua tidak semuanya jahat. Jadi itu (warga Papua) yang sebelumnya kita layani, pergauli dengan baik. Dia akan balas dengan baik. Sementara yang buat kericuhan itu bukan orang Wamena asli," ujar Irmadani.

Warga mengungsi di Mapolres Jayawijaya, saat unjuk rasa di Wamena.

Dia menambahkan, "yang menyelamatkan kami adalah orang Papua juga yang selama ini kami kasih makan ketika mereka tidak punya uang untuk membeli makanan. Kami kasih makan, jadi mereka dibalasnya dengan menyelamatkan kami dengan cara dibawa ke gereja. Kami dilindungi sebelum TNI menjemput kami."

Bisa hidup saling berdampingan dengan rasa nyaman dan aman itu yang membuat Defrizul dan Irmadani berkeinginan untuk kembali lagi ke tanah Papua. Belasan tahun menetap di sana, bagi kedua putra pesisir Selatan ini, Wamena bukan lagi sekadar tempat mencari nafkah. Namun sudah seperti kampung sendiri.

"Rencana ke depan, kita jumpa keluarga dulu, syukuran. Tenangkan diri. Kalau kondisi aman, kita kembali ke sana, tanpa ada rasa takut. Karena memang di sanalah mata pencaharian kita. Kalau di kampung juga bisa hidup, tapi untuk mencari nafkah itu, lapangan kerja terbatas, aku sudah 10 tahun di sana," kata Irmadani.

Hasil Badoncek

Wakil Gubernur Sumatera Barat, Nasrul Abit, menyebutkan seluruh pembiayaan operasional kepulangan para perantau yang menjadi korban kerusuhan di Wamena tersebut dari hasil swadaya bersama antara pemerintah provinsi dan masyarakat yang ada di seluruh belahan dunia. Badoncek istilahnya.

Badoncek adalah sebutan lain sumbangan. Tradisi badoncek memang kerap dilakukan oleh masyarakat Minang, baik yang berada di tanah kelahiran maupun yang berada di ranah rantau, untuk meringankan beban sesama ketika dilanda musibah.

Warga antre menaiki pesawat milik TNI di Bandara Wamena, Jayawijaya, Papua, Sabtu (28/9/2019). Warga Wamena terus memadati bandara untuk meninggalkan Wamena pascakerusuhan pada Senin (23/9/2019).

Menurut Nasrul Abit, hingga saat ini dana yang terkumpul terus bertambah. Terakhir, dalam semalam mampu mengumpulkan dana sebesar Rp3,1 miliar. Total sementara angka yang berhasil dikumpulkan lebih dari Rp4 miliar.

Seluruh uang yang terkumpul itu, kata Nasrul Abit, akan digunakan untuk operasional pemulangan perantau Minang yang menjadi korban kerusuhan. Bagi mereka yang ingin pulang sementara waktu meninggalkan Wamena, akan difasilitasi menggunakan uang hasil badoncek tersebut. Bahkan, uang itu juga sebagian akan disisihkan untuk uang saku atau tambahan modal bagi perantau.

Beberapa hari lalu, Nasrul menyempatkan diri berkunjung ke Wamena untuk memastikan berita simpang siur, terutama soal jumlah perantau yang menjadi korban. Di menegaskan, kerusuhan itu bukan merupakan kerusuhan antaretnis.

Orang Minang di sana, kata Nasrul, mampu hidup berdampingan dengan orang Papua, khususnya di Wamena. Mereka saling bersahabat dan saling menghargai satu sama lain. "Informasi pertama yang berkembang itu adalah pembunuhan terhadap orang Minang. Ternyata informasi itu salah. Orang Minang di sana itu bersahabat, mereka menyatu. Bahkan yang menyelamatkan mereka adalah orang Wamena. Tidak ada per etnis itu," kata Nasrul Abit.

Wakil Gubernur (Wagub) Sumatera Barat, Nasrul Abit dan warga Minang di Jayapura.

Menurut Nasrul, warga keturunan Sumatera Barat yang berada di Wamena mencapai 1.800 sampai 2000-an orang. Mereka yang sudah dievakuasi dari Wamena hingga kini tercatat 895 orang. Mereka dievakuasi dengan menggunakan pesawat Hercules milik TNI AU.

Meski banyak yang ingin kembali pulang ke kampung halaman, kata Nasrul, banyak juga yang bertahan di Wamena. Mereka yang sudah pulang pun berniat kembali lagi ke Wamena apabila kondisi sudah membaik dan aman.

Bagi perantau Minang yang selama ini menetap di Wamena, sudah menganggap Wamena seperti kampung sendiri. Bahkan juga, pemerintah setempat meminta agar perantau Minang tidak meninggalkan Wamena, dan bersama-sama membangun kembali Wamena.

"Banyak juga yang bertahan. Yang sudah pulang juga berniat kembali lagi ke sana. Tentu kalau kondisi sudah kondusif dan aman. Yang jelas, sekarang mereka ingin menenangkan diri dulu," ujar Nasrul. (ase)

Gubernur Sumatera Barat Mahyeldi Ansharullah.

Gubernur Mahyeldi: Jumlah Perantau Asal Minang Lebih Banyak dari Penduduk Sumbar

Jumlah Perantau Asal Sumbar Diduga Lampaui Penduduk Asli, Kata Gubernur.

img_title
VIVA.co.id
13 April 2024