Pemburu Satwa Liar di Aceh Dihukum Cambuk 100 Kali
- abc
Pelaku kejahatan lingkungan dan perburuan satwa liar di Aceh kini terancam dicambuk 100 kali berdasarkan ketentuan dalam qanun baru yang disahkan akhir pekan lalu.
Qanun cambuk pelaku perburuan liar:
- Qanun Pengelolaan Satwa Liar disahkan 27 September 2019 dan akan berlaku Januari 2020 mendatang
- Aturan ini melarang warga menangkap, menjerat, memperdagangkan satwa liar dari kawasan hutan di Aceh
- Pelaku pelanggaran ini akan dikenakan hukuman tambahan berupa cambuk 100 kali atau denda 1000 gram
Berbeda dengan qanun lain yang disahkan oleh parlemen Aceh yang biasanya kerap memicu pro dan kontra, Qanun Pengelolaan Satwa Liar yang disahkan akhir September (27/9/2019) lalu ini sepi dari penolakan warga Aceh.
Nurzahri, mantan Ketua Komisi II DPRA periode lalu sekaligus inisiator qanun ini mengklaim ini merupakan qanun paling aspiratif.
Qanun yang terdiri dari 42 pasal ini mengatur pengelolaan satwa liar dan habitatnya di kawasan hutan yang berada di wilayah Aceh.
Aturan ini melarang warga menangkap, menjerat, memperdagangkan satwa liar yang dilindungi dari kawasan hutan Aceh baik dalam keadaan hidup maupun dalam bentuk lain.
Warga juga dilarang melakukan kegiatan yang dapat merusak habitat satwa liar, memasang jerat, meletakan racun hingga mencemari sumber air minum satwa liar.
Pelaku pelanggaran diatas terancam dikenakan hukuman khas Qanun Aceh yakni cambuk sebanyak 100 kali atau denda 1.000 gram emas atau setara Rp 700 juta.
Nurzahri mengatakan cambuk ini adalah hukuman tambahan selain pelaku juga akan dikenakan hukuman pidana nasional dengan ancaman hukuman maksimal 5 tahun penjara.
"Kita melihat ini solusi alternatif untuk menciptakan efek jera. Tidak cuma bagi pelaku tapi juga masyarakat." kata Nurzahri kepada ABC Indonesia.
"Karena hukuman cambuk dilakukan terbuka masyarakat bisa tahu dan mengenali pelaku. "
"Selama ini pelaku perburuan satwa jarang terekspose mereka diadili di kota, jadi warga tidak tahu kasusnya. Padahal pelaku banyak penduduk setempat."
"Kalau dengan dihukum cambuk otomatis masyarakat yang ada di sekitar hutan itu bisa mengenali pelaku."
"Jadi ketika nanti dia selesai menjalani hukuman masyakat akan waspada kalau dia lalu lalang lagi di sekitar hutan dan bisa melapor ke pihak berwajib." katanya.
Nurzahri menambahkan ancaman hukuman cambuk ini juga berlaku bagi pejabat yang lalai mengeluarkan izin atau membiarkan terjadinya kejahatan perburuan satwa liar.
Bentuk terobosan hukum
Tim ranger dari Forum Konservasi Lauser (FKL) selama 4 tahun terakhir berhasil memusnahkan 5.529 jerat yang banyak melukai dan membunuh satwa di kawasan hutan di Aceh.
AFP
Pelaksanaan hukuman cambuk yang diterapkan di Aceh saat ini memang bukan hanya sekedar aturan hukum saja, tapi prosesi pencambukan juga tak ubahnya menjadi tontonan warga.
Sehingga beban moral yang ditanggung mereka yang dicambuk akan sangat terasa.
Hukuman cambuk di Aceh ini terus menjadi sorotan internasional karena dianggap sebagai bentuk pelanggaran HAM.
Namun sikap pegiat hukum dan HAM di Aceh berbeda khusus dalam penerapan hukuman cambuk bagi pelaku perburuan liar ini.
Mustiqal Syah Putera, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Aceh menilai di tengah aturan hukum nasional yang lemah, hukuman cambuk ini menjadi solusi alternatif yang efektif untuk memutus rantai kejahatan perdagangan satwa liar.
Ia menolak sikap ini dikatakan bentuk standar ganda, namun lebih sebagai bentuk terobosan hukum.
"Tidaklah standar ganda, tergantung kita melihatnya dari perspektif apa? Qanun ini kan merespon maraknya perdagangan dan perburuan satwa liar di Aceh."
"Jadi menurut kita memang harus ditambah sanksi hukumnya untuk di Provinsi Aceh ini."
"Karena kalau tidak diterapkan pidana tambahan dengan cambuk ini ditengah aturan nasional yang masih lemah, gimana kita mau mengakhiri proses perdagangan dan mendorong perlindungan konservasi Lingkungan Hidup." kata Mustiqal Syah Putera.
Argumen ini diamini pegiat lingkungan hidup di Aceh. Tezar Pahlevi dari Forum Komunikasi Leuser (FKL) yang rutin melakukan operasi pengamanan hutan di Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL).
"Pelaku perburuan satwa liar bisa dibilang 60?alah warga lokal dan 40%nya baru pendatang pemburu ini difasilitasi penampung, jadi sebelum berburu mereka sudah ada pesanan, penampung yang datang dari luar dari Pekan Baru, Batam, Padang."
"Jadi kalau tujuan hukuman cambuk memang untuk membuat jera pelaku, saya rasa pendekatan sanksi ini tepat." kata Tezar.
Satu daru dua ekor beruang madu (Helarctos malayanus) yang terkena jerat babi di pegunungan Desa Ladang Neubok, Kecamatan Jeumpa, Aceh Barat Daya, Aceh, Selasa (11/6/2019).
Istimewa
Menurur Tezar, upaya luar biasa untuk menindak pelaku perburuan satwa liar sangat mendesak dilakukan di Aceh, mengingat kawasan hutan di Aceh khususnya TNGL merupakan benteng terakhir upaya pelestarian satwa liar di pulau Sumatera.
Kawasan ini menurutnya masih memiliki koleksi satwa liar yang terbilang lengkap dibanding hutan lain di Sumatera seperti harimau, gajah dan orangutan.
Tak heran jika pelaku yang umumnya anggota dari sindikat perdagangan satwa liar banyak menyasar hutan Aceh untuk berburu satwa liar dengan cara menembak langsung atau memasang jerat yang kian umum ditemukan.
Hasil investigasi gabungan FKL dan Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAKA) mencatat sepanjang tahun 2018 lalu ada sekitar 380 kasus perburuan satwa liar dengan lokasi perburuan terbanyak terjadi di Kabupaten Aceh Selatan, Kota Subulussalam dan Kabupaten Aceh Barat Daya.
Sedangkan satwa liar yang menjadi sasaran para pemburu adalah yang punya nilai jual seperti gajah, trenggiling, harimau, gajah dan lainnya.
Dan patrol rutin yang dilakukan FKL menemukan ratusan jerat pemburu satwa liar setiap tahunnya. Sepanjang empat tahun terakhir FKL berhasil menyingkirkan 5.529 jerat dari sejumlah titik di kawasan hutan Leuser, Aceh.
Kaki kiri anak gajah sumatera berumur satu tahun nyaris putus akibar jerat yang dipasang pemburu di hutan Kecamatan Simpang Jernih, Kabupaten Aceh Timur, Aceh, pada 18 Juni 2019.
Istimewa
Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh menolak menanggapi perdebatan soal HAM dalam penerapan hukuman cambuk di qanun ini, namun merujuk para fakta dilapangan memang sudah sangat mendesak diadakannya aturan hukum yang lebih mampu menimbulkan efek jera di masyarakat.
"Minggu lalu ada pengungkapan perdagangan kulit harimau Sumatera di Aceh Utara. Barangnya bisa dari Aceh Timur atau Tamiang. Padahal beberapa kali sudah dilakukan penegakan hukum, bahkan hukuman yang dilakukan hampir maksimal." kata Kepala BKSDA Aceh Sapto Aji Prabowo.
"Pelaku divonis 4 tahun dari maksimal 5 tahun penjara dan juga denda 100 juta. Tapi nyatanya kasus ini masih terulang." katanya lagi.
Qanun Pengelolaan Satwa Liar akan efektif berlaku Januari 2020 mendatang. Hukuman cambuk mulai diberlakukan di Aceh sejak 2015 dan hingga kini sudah lebih dari 300 orang sudah pernah dikenakan hukuman ini di provinsi Aceh.