Logo BBC

Demonstrasi STM, Ratusan Pelajar Masih Dicari Orangtuanya

Seorang pelajar membentangkan bendera merah-putih dalam demonstrasi di dekat gedung DPR/MPR, Jakarta, pada Senin (30/09). - Getty Images
Seorang pelajar membentangkan bendera merah-putih dalam demonstrasi di dekat gedung DPR/MPR, Jakarta, pada Senin (30/09). - Getty Images
Sumber :
  • bbc

Ratusan pelajar sekolah menengah atas (SMA) dan sekolah teknik menengah (STM) yang dijaring polisi setelah aksi menuntut pencabutan RUU kontroversial masih dicari orangtuanya.

Ketua Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA), Arist Merdeka Sirait mencatat setidaknya 182 orang masih belum jelas apakah di Polda atau di Polres.

"Ada orang tua yang mengadu ke kita, ada yang kehilangan kontak sampai hari ini belum bertemu. Kita coba bantu dengan membuka pos pengaduan untuk dicari di mana posisinya," kata Arist kepada wartawan Muhamamd Irham yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

Anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Sitti Hikmawatty, mengakui sampai saat ini banyak orang tua pelajar yang mencari anak mereka di kantor polisi tapi belum juga bertemu.

Kendalanya kata Sitti, sebagian pelajar masih takut untuk membuka identitas diri, misalnya tidak mau menyebut nama wali atau orangtua. "Bahkan di antara mereka ada juga yang menyebutkan namanya dengan nama samaran," ungkapnya.

Berdasarkan versi KPAI, saat ini masih ada 48 pelajar dan 11 anak putus sekolah di Polda dan Polres Jakarta yang masih menunggu dijemput wali atau orangtua.

Dalam proses indentifikasi, pelajar yang teridentifikasi membawa senjata tajam, terbukti mencederai orang lain, atau merusak fasilitas umum.

"Maka anak tersebut dipindahkan tempat di luar Polres. Kita rekomendasikan pindah ke Rumah Aman SPMP Handayani," lanjut Sitti.

Sementara itu, Kepolisian mengklaim sebagian pelajar yang ditahan di tingkat polres hingga polda sebagian besar sudah dibebaskan.

"Apabila memang tidak terbukti, dan pelakunya ini anak-anak, mereka akan dilakukan diversi artinya akan dilakukan pemulangan," kata Dedi Prasetyo dalam keterangan persnya di Mabes Polri, Jakarta, Rabu (02/10).

Dedi menambahkan, total seluruh pengunjuk rasa yang ditahan Polda hingga Polres di Jakarta sebanyak 845 orang dengan berbagai latar belakang. Meski tidak merinci jumlah pelajar yang ditahan, Dedi mengatakan kebanyakan yang sudah dipulangkan berstatus sebagai pelajar.

"Polres Jakarta utara ada 36 orang. Dari 36 orang yang dilakukan pemeriksaan, semuanya dipulangkan karena sebagian besar masih pelajar. Kemudian Jakarta Pusat ada 63 orang, semua juga sudah dipulangkan," tambah Dedi.


Sejumlah pelajar melemparkan beragam benda di dekat gedung DPR/MPR, Jakarta, dalam demonstrasi pada Senin (30/09). - Getty Images

Ketentuan khusus untuk anak

Penanganan kepolisian terhadap para pelajar dan penahanan mereka mendapat perhatian para pegiat perlindungan hak anak.

Apalagi, dalam menangani demonstrasi pelajar, kepolisian melontarkan gas air mata dan menahan 570 siswa SMP dan SMA pada aksi yang berlangsung Jumat (24/09).

"Itu yang kita inginkan kepada pihak kepolisian, standar operasional prosedurnya itu harus mengedepankan anak ini adalah korban," kata Arist kepada BBC News Indonesia.

UNICEF juga angkat suara. Lembaga PBB itu meminta adanya perhatian pada ketentuan khusus untuk anak-anak dalam sistem peradilan pidana Indonesia ketika anak-anak yang terlibat demonstrasi bersentuhan dengan hukum.

Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia menetapkan bahwa perampasan kebebasan dan pemenjaraan adalah pilihan terakhir.

Penangkapan dan penahanan anak di bawah 18 tahun hanya bisa dilakukan untuk periode maksimum 24 jam, dan setiap anak berhak untuk:


Sejumlah pelajar berlarian di dekat gedung DPR/MPR, Jakarta, dalam demonstrasi pada Senin (30/09). - Getty Images

Keterlibatan pelajar

Dalam demonstrasi yang berlangsung selama sepekan terakhir, banyak dijumpai pelajar setingkat SMA/STM.

Mamat (bukan nama sebenarnya), misalnya, berpose membentangkan bendera merah-putih dengan latar belakang polisi yang sedang berbaris di balik tameng di kawasan Palmerah, Jakarta Barat, Senin (30/09).

Wajah Mamat dihiasi olesan odol di pipi. Mata terhimpit topi dan masker. Celana sekolah masih melekat.

Mamat kemudian memasang fotonya dalam akun media sosialnya dua hari kemudian dengan tagar #tolakruukuhp #stmmelawan.

BBC News Indonesia menghubungi Mamat pada Rabu (02/10) dan bertanya apa yang dia perjuangkan dalam demonstrasi saat itu.

Mamat menjawab singkat, "Saya ikut (aksi). Cuma saya lupa aspirasinya."

Dia melanjutkan, "Soalnya saya lagi ulangan jadi sebagian-sebagiannya ngapalin pelajaran."

Sebagian warganet meyakini para pelajar murni memprotes beragam rancangan undang-undang yang disusun pemerintah dan DPR, sebagian lainnya menuding mereka hanya ikut-ikutan tanpa tahu tujuan berdemonstrasi.

Tudingan itu lebih gencar diarahkan ketika Kepolisian Sektor Serpong menahan lima pelajar sebelum berangkat menggelar aksi unjuk rasa di gedung parlemen, Senin (30/09). Kelimanya disebut positif menggunakan narkoba jenis ganja, sebagaimana dilaporkan Kompas.com.

Menurut Ketua Komnas PA, Arist Merdeka Sirait menilai hampir seluruh pelajar SMP dan SMA yang ikut serta dalam aksi unjuk rasa tidak menyadari tuntutan dan aspirasinya.

"Dia (pelajar) hanya seolah-olah digambarkan hanya berpartisipasi saja, kemudian juga tidak tahu apa yang akan terjadi," katanya.

Hak anak menyuarakan pendapat

Konvensi PBB tentang Hak Anak mengakui hak anak untuk kebebasan berserikat dan kebebasan berkumpul secara damai.

Menurut Perwakilan UNICEF di Indonesia Debora Comini, "Anak-anak dan remaja di Indonesia memiliki hak untuk mengekspresikan diri dan terlibat dalam dialog tentang masalah yang mempengaruhi mereka, dan kita harus memastikan mereka mendapat dukungan yang sigap dan tepat jika mereka terlibat dengan hukum."

Sejalan dengan Konvensi Hak-Hak Anak, Undang-Undang Perlindungan Anak Indonesia menjamin hak setiap anak di Indonesia untuk berbicara dan didengarkan pendapatnya, termasuk dalam masalah politik, serta melindungi mereka dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik dan kerusuhan sosial.

"Aksi protes ini mengingatkan kita bahwa ada kebutuhan untuk menciptakan peluang yang bermakna - baik online mau pun offline- untuk anak-anak dan remaja menyuarakan pandangan mereka dengan bebas dan damai di Indonesia," kata Comini.

Ketua Komnas PA, Arist Merdeka Sirait menilai hak politik anak berbeda dengan demonstrasi.

"Setiap anak berhak mengeluarkan pendapat. Didengarkan pendapatnya. Tapi caranya bukan mengajarkan pada anak untuk menanamkan nilai-nilai kebencian, merusak, vandalisme, melempar, bukan itu," katanya.

Hak politik anak, lanjut Arist, semestinya disalurkan melalui forum-forum yang melibatkan pemangku kepentingan, seperti Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Murembang).

"Jadi menyuarakan pendapatnya bebas dari kekerasan, bebas dari pemanfaatan orang untuk anak-anak melakukan vandalisme, pengrusakan dan lain sebagainya," katanya.