Komnas HAM Ungkap Kronologi Kerusuhan di Wamena
- ANTARA FOTO/Marius Wonyewun
VIVAnews - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia membeberkan temuan-temuannya terkait kerusuhan di Wamena, Papua, beberapa waktu lalu. Menurut Komnas HAM, aksi unjuk rasa yang berujung kerusuhan awalnya disebabkan adanya miskomunikasi di SMA PGRI.
"Kronologi dari investigasi yang dilakukan oleh perwakilan Komnas HAM menunjukkan ada miskomunikasi," kata Ketua Komnas HAM, Ahmad Fauzan Damanik, di kantornya, Jalan Latuharhari, Jakarta Pusat, Senin 30 September 2019.
Tim perwakilan Komnas HAM memulai investigasi dengan mewawancarai guru dan murid SMA PGRI. Cerita bermula pada Rabu, 18 September 2019, di mana seorang guru pengganti bernama Riris Pangabean tengah mengajar di kelas XI.
Riris, kata Ahmad, mengaku sempat cekcok dengan salah satu murid. Sebabnya, si murid itu mengira Riris menyebut kata "kera".
“Sebetulnya kalau menurut versi ibu ini, dia tidak mengucapkan kera tapi keras,” kata Damanik.
Namun, lanjut Damanik, persoalan tersebut diklaim sudah terselesaikan. Bahkan, dalam dua hari ke depan tidak ada masalah. Baru pada Sabtu, 21 September 2019 ada sebagian murid yang mempersoalkan.
Keributan hari itu pun diklaim dapat diselesaikan dengan mediasi yang dilakukan oleh guru-guru lain di sekolah tersebut. Bahkan, para murid dan guru bernyanyi bersama lantaran ada seorang murid yang berulang tahun.
Tiba-tiba pada Minggu, 22 September 2019 ada penyerangan sejumlah massa ke sekolah tersebut. Pada Senin, 23 September 2019, banyak fasilitas sekolah sudah dalam keadaan hancur. Guru Riris pun diminta tak datang ke sekolah guna menghindari amukan massa.
Usai kerusuhan di sekolah tersebut, muncul kerusuhan di beberapa tempat. Dari keterangan warga, massa perusuh tak dikenali dan bukan warga sekitar.
"Keterangan warga tak mengenali massa yang rusuh," ujarnya.
Adapun sejauh ini, Komnas HAM mencatat ada 31 orang korban meninggal. Selain itu, 43 korban luka-luka yang tercatat menjadi pasien di Rumah Sakit Wamena.