Logo ABC

Jatuh Bangun Korban Tsunami Palu Pulihkan Kehidupan

Kota Palu di Sulawesi Tengah usai diguncang gempa bumi dan tsunami pada 28 September 2018.
Kota Palu di Sulawesi Tengah usai diguncang gempa bumi dan tsunami pada 28 September 2018.
Sumber :
  • abc

Kehilangan pekerjaan dan anggota keluarga yang dicintai adalah dua nestapa yang harus dihadapi Daegal Aristo setelah gempa dan tsunami menerjang kota tempat tinggalnya, Palu. Kondisi keuangan keluarganya pun ikut memburuk. Berbagai cara diupayakan agar mampu bertahan.

Di sisi lain, bencana Palu menyibak fakta bahwa ilmu pengetahuan dan teknololgi belum mampu bersaing dengan kecepatan tsunami. Daegal Aristo Dwiputra (26) ingat betul detik-detik saat gempa menerjang Palu, Sulawesi Tengah. Sore nahas itu, ia berada di ruangan kantornya.

"Saya ada di kantor mau persiapan ke masjid. Belum sempat keluar dari ruangan, gempa pun mengguncang."

"Sebelum rubuh, saya sudah sempat lari keluar dengan menggendong rekan kerja saya yang saat itu terjatuh saat berlarian keluar dari gedung kantor yang sekarang kondisinya hancur lebur," cerita Daegal kepada ABC.

Kantor Daegal terletak tak jauh dari Palu Grand Mall, yang berada di pinggir pantai.

"Lepas lihat tsunami, saya berlari ke rumah, jarak sekitar 7-8 km. Dan herannya tidak merasa kelelahan," kenangnya. Hari itu hingga keesokannya, Daegal kesulitan memejamkan mata, ia merasa khawatir sepanjang waktu.

Kondisi rumahnya yang tak mungkin kembali ditinggali membuat Daegal dan keluarganya tinggal di pengungsian selama 1 bulan 13 hari. Akibat bencana itu, ia kehilangan seorang saudara sepupu. Beruntung, seluruh keluarga intinya selamat tanpa terkecuali.

Namun mimpi buruk mulai menghampiri.

"Saya kehilangan pekerjaan dan kondisi keuangan kritis. Rumah pun sebelum diperbaiki, dalam kondisi tidak layak huni."

"Sebelum gadai mobil, kami (ia dan keluarga) hanya menggunakan sisa uang yang ada untuk bertahan hidup. Belanja secukupnya, dan waktu minggu ke dua pasca bencana, keluarga saya makan 2 hari sekali untuk menghemat."

Daegal Aristo saat bertugas mengevakuasi korban di Donggala Daegal Aristo saat bertugas mengevakuasi korban di Donggala.

Supplied

Ayah Daegal adalah seorang pengusaha. Pasca gempa, praktis sang ayah belum bisa kembali berusaha.

"Ada saat di mana stok air menipis dan gas habis, kami minum air mentah dari sumur suntik karena terpaksa."

"Keluarga saya tidak terlalu mengharapkan bantuan selagi mampu," ujar pemuda yang kini telah kembali bekerja profesional ini.

Daegal tertolong sejak ia menjadi relawan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di hari kedua bencana. Namun baru awal tahun ini, kondisi keuangan ia dan keluarganya berangsur pulih.

"Bulan Februari, saya mendapat bantuan dari teman, kerabat dan keluarga di daerah berbeda terkumpul melebihi utang keluarga saya dan bisa buat modal untuk memperbaiki keuangan," akunya.

Kini, ia bekerja sebagai tenaga lepas jasa pembuatan laporan keuangan dan audit.

Kondisi keuangannya boleh saja membaik tapi hingga hari ini, Daegal masih diselimuti trauma.

"Saya masih suka teringat suara gemuruh gempa dan suara aungan sebelum tsunami menerjang. Rumah saya dekat dengan lokasi Pantai Talise," ungkapnya.

Apalagi, saat membantu evakuasi di sepanjang pantai itu, Daegal menemukan jasad temannya yang meninggal karena terjangan tsunami.

"Saat itu hari ke-3 pasca bencana. Teman saya itu bersama temannya, saat saya temukan sedang bergandeng tangan. Dan erat walaupun sudah menjadi mayat waktu hendak saya lepaskan," tuturnya.

"Gempa dan tsunami saat itu, benak saya terasa seperti akhir hayat."

Teknologi belum mampu saingi alam

Belajar dari gempa-tsunami di Palu, kecepatan dalam menyelamatkan warga menjadi jauh lebih penting ketimbang akurasi soal gempa itu sendiri.

Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Indonesia, Dwikorita Karnawati, mengatakan ilmuwan seringkali menuntut akurasi, padahal mengejar akurasi membutuhkan waktu yang cukup panjang.

Ia mencontohkan peristiwa tsunami di Jepang tahun 2011 di mana magnitudo gempa pra-tsunami berhasil terdeteksi di menit ke-3. Namun di menit ke-50, data yang semula mengatakan 7,4 skala richter (SR) terkoreksi dengan skala yang lebih besar yakni 8,8 SR.

Data itu terkoreksi kembali di atas menit ke-50 menjadi gempa berkekuatan 9 SR.

"Bayangkan kalau Jepang mengikuti akurasi menunggu yang 9 yang akurat, tsunaminya sudah datang menit ke-10, menit ke-20."

"Menunggu akurasi semuanya sudah kesapu tsunami. Jadi untuk penanganan bencana, yang nomor satu adalah kecepatan, akurasi itu nomor sekian. Karena akurasi dalam bencana, itu bisa di-update," kata Dwikorita menjawab pertanyaan ABC selepas berbicara dalam Simposium Internasional Pembelajaran Dari Tsunami Palu Dan Selat Sunda di kantor BMKG (26/9/2019).

Tsunami di Palu muncul akibat gempa yang menggeser sesar atau patahan di Pulau Sulawesi. Tsunami di Palu muncul akibat gempa yang menggeser patahan mendatar di Pulau Sulawesi.

UNESCO

Mantan rektor perempuan pertama Universitas Gadjah Mada Yogyakarta ini menyebut tsunami yang terjadi di Palu tergolong tsunami yang tidak lazim.

"Yang tidak pernah disiapkan sistemnya untuk mendeteksi karena memang belum mampu," kata Dwikorita.

Jepang, ujar perempuan berhijab ini, baru mampu untuk memberikan peringatan dini secepat 3 menit. Sementara Indonesia di kecepatan 3-5 menit.

"Tiga menit kita juga mampu tapi di Palu kita mampunya 4 menit sekian detik. Padahal tsunaminya itu datangnya 2 menit, jadi lesson learnt-nya adalah peringatan dini itu belum mampu, di manapun di dunia saat ini, belum mampu memberikan peringatan dini 2 menit secepat datangnya tsunami."

Ia menjelaskan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini belum mampu memberikan peringatan dini untuk tsunami yang tidak lazim seperti yang terjadi di wilayah Sulawesi Tengah. Sehingga keterlibatan kearifan lokal begitu penting.

"Yaitu apa? Begitu merasakan guncangan gempa bumi, anda di pantai, segera saja lari menuju ke tempat yang lebih tinggi."

"Jadi peringatan dini saat ini adalah dengan menggunakan guncangan gempa tadi. Karena science and technology saat ini belum mampu bersaing dengan kecepatan tsunami," kata Dwikorita.