Menyoal Pelajar STM yang Ikut Aksi Demo
- VIVA/M Ali Wafa
VIVAnews - Aksi demonstrasi terus terjadi beberapa hari ini. Fenomena menariknya, bukan hanya para mahasiswa yang turun ke jalan tapi belakangan juga para pelajar khususnya setingkat Sekolah Menengah Kejuruan (STM) turut menggelar aksi demonstrasi.
Pada Rabu, 25 September 2019, ribuan pelajar STM menggelar aksi demonstrasi. Mereka bergerak ke Gedung DPR. Di sana, mereka terlibat bentrokan dengan aparat kepolisian. Bahkan di sejumlah tempat, ada pula pelajar setingkat SMP yang juga ikut bergerak.
Mengapa para pelajar khususnya STM itu pada akhirnya terlibat dalam aksi demonstrasi? Apakah benar ini karena berkembangnya kesadaran para pelajar itu akan masalah sosial politik, kebangsaan, negara, hukum, dan lain-lain, atau karena faktor ikut-ikutan, sekedar eksistensi?
Dosen Sosiologi Universitas Negeri Jakarta, Yudo Mahendro, mengakui untuk menjawab pertanyaan tersebut secara objektif dibutuhkan riset terlebih dahulu. Tapi bila merujuk pada analisa sosiologis, dia menyebut ada banyak faktor yang bisa melatarbelakanginya.
"Pertama pasti terkait dengan mudahnya interaksi melalui media sosial dan layanan pesan online," kata Yudo saat berbincang dengan VIVAnews, Kamis, 26 September 2019.
"Tentunya ada kesadaran yang terbangun melihat situasi sosial yang ada terkait dengan isu Papua dan kebakaran hutan yang tanpa harus memiliki kacamata teoritik akademis untuk mengatahui bahwa negara ini ada masalah," katanya.
Yudo mengatakan pemicu dari gerakan para pelajar STM itu adalah adanya masalah yang melanda negeri ini. Dan menurutnya, itu adalah fenomena menarik karena semenjak reformasi bergulir baru kali ini pelajar terlibat dalam parlemen jalanan.
Selain itu, lanjutnya, tentu ada faktor lain yaitu terkait simpati mereka terhadap perjuangan mahasiswa. Kemudian, ada rasa ketidaksukaan yang besar terhadap kepolisian.
"Apalagi mereka kebanyakan pelajar Jabotabek yang mungkin kerap memiliki singgungan dengan kepolisian baik di jalan ataupun terkait dengan kegiatan komunitas mereka," katanya lagi.
"Ekspresi itu terlihat jelas dengan mereka menumpang truk terbuka dan dari jargon-jargon yang mereka sampaikan. Kalau detail isu RUU KPK, KUHP, dan lain-lain saya rasa tidak begitu menjadi faktor utama," tambahnya.
Mengenai faktor 'eksistensi' atau 'hasrat menyalurkan kenakalan remaja', Yudo mengakui poin pertama memang ada. Karena namanya anak muda secara psikologis ada fase mereka butuh eksistensi.
"Jadi selain faktor sosial politik juga ada kaitan dengan faktor psikologis," katanya.
Tapi, Yudo tidak setuju jika disebut kenakalan remaja. Karena memang fase psikologis masa remaja adalah masa pencairan identitas dan perubahan psikologis akibat perubahan hormonal.
"Dikenal juga masa pubertas," tuturnya.
Terkait dengan gerakan para pelajar sebelum reformasi, Yudo mengungkapkan bahwa gerakan itu dalam sejarahnya sudah ada terutama di era Orde Lama. Alasannya karena semenjak kemerdekaan, kalangan terpelajar masih terbatas.
"Kelompok seperti PII, Pelajar Islam Indonesia sudah ada sejak awal kemerdekaan, juga Muhammadiyah, Sarekat Islam, Taman Siswa. Sejak kolonial sudah berdiri. Ada juga gerakan mereka menolak aturan sekolah liar, yang diterapkan pemerintah kolonial," katanya.