Penyebab Aparat Tidak Terkontrol dan Represif ke Pendemo

Massa mahasiswa terlibat kericuhan saat berunjuk rasa di depan Gedung DPR RI 24 September 2019.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra

VIVA – Lagi-lagi, aparat keamanan menjadi sorotan ketika mengatasi aksi demonstrasi ribuan mahasiswa. Termasuk diantaranya di Jakarta, yang dipusatkan di Gedung DPR RI.

Setelah Didemo, ITB Cabut Permintaan Mahasiswa Penerima Beasiswa untuk Kerja Paruh Waktu

Aksi demo yang dilakukan pada Selasa kemarin 24 September 2019, berakhir ricuh. Korban luka berjatuhan, baik dari aparat keamanan hingga mahasiswa. Sejumlah kendaraan milik TNI dan Polisi dibakar, termasuk beberapa pos polisi.

Kepala Staf Presiden Jenderal TNI (Purn) Moeldoko menjelaskan penyebab muncul tindakan yang tidak terkontrol dari aparat, hingga berujung represif. Padahal Presiden Joko Widodo menginstruksikan, agar penanganan demonstrasi tidak represif tetapi proporsional.

Demo Mahasiswa di Belakang Gerbang DPR Ricuh, Massa Saling Dorong dengan Polisi

"Saya paham betul bagaimana persoalan psikologi harus dikelola dengan baik. Psikologi di lapangan itu, satu menghadapi psikologi massa. Psikologi massa itu juga punya ambang batas kesabaran juga punya ambang batas emosi, dia juga punya ambang batas kelelahan dan seterusnya. Sehingga ini menimbulkan uncontrolled," jelas Moeldoko, di Istana Kepresidenan Jakarta, Rabu 25 September 2019.

Diakuinya, memang aparat keamanan dibekali dengan tes psikologi. Tetapi saat lelah dan batas emosi terlampaui, hal itu bisa memicu tindakan represif. Terlebih, kebanyakan adalah anggota baru seperti di Kepolisian.

Buntut Demo Ricuh Mahasiswa di Patung Kuda, 13 Orang Ditangkap

"Meski aparat sudah dilatih, mentalnya sudah disiapkan dan seterusnya. Tapi sekali lagi ambang batas itu bisa muncul apalagi ini ada prajurit-prajurit baru dari kepolisian, ini juga selalu kita waspadai di lapangan," jelas mantan Panglima TNI itu.

Dia menegaskan, tidak ada pihak yang menginginkan aksi-aksi tersebut berakhir anarkis. Apakah itu aparat keamanan maupun dari pihak pendemo. Tetapi, karena kelelahan dan juga berlangsung lama, menurutnya di situlah titik lelah dan sabar hilang.

Dalam kondisi lelah itulah, baik aparat maupun pendemo kemudian bertindak di luar kontrol. Akibatnya, kerusuhan tidak bisa dihindari.

"Jadi untuk itu saya juga mengimbau kepada teman-teman yang demo, kan demo ini dipaksakan sampai malam, itu batas kelelahan itu muncul. Jengkel muncul, marah muncul, akhirnya uncontrolled. Begitu uncontrolled, aparatnya juga kadang-kadang uncontrolled, sama-sama lelah," katanya.

Pemerintah, kata Moeldoko, tidak anti terhadap demonstrasi. Selama itu disampaikan dengan baik. Lalu, jangan sampai demo memunculkan tindakan anarkis yang mengganggu ketertiban umum dan masyarakat. Apalagi menimbulkan ketakutan, menurutnya hal itu yang dihindari.

"Demo itu bukan musuh. Demo itu anak-anak kita yang ingin mengekspresikan, kita sangat menghargai ekspresi dari anak-anak yang mensuarakan suara rakyat. Tapi yang tidak kita inginkan adalah munculnya tindakan-tindakan yang uncontrolled tadi," katanya.

Pola pengamanan aksi yang mengakibatkan terjadinya chaos dan korban jiwa, terang Moeldoko, akan dievaluasi. Karena harusnya pengamanan bisa dilakukan secara proporsional, terukur. Juga pengamanan harus profesional, dilakukan berdasarkan tahapan-tahapan dalam SOP yang berlaku.

"Terhadap hal-hal yang di luar itu ditanyakan tadi, akan kita evaluasi, di mana letaknya titik krusialnya di mana sehingga terjadi peristiwa seperti itu," jelas mantan Panglima TNI itu.

Dia tidak ingin menuding, siapa yang salah dengan peristiwa kerusuhan tersebut. Termasuk di tingkatan pengamanan. Sebab, ada rantai komando yang harus dilihat untuk dievaluasi. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya