Revisi UU KUHP, Pasal Penghinaan Presiden Akan Jadi Delik Aduan
- VIVA/Eduward Ambarita
VIVA – Pemerintah dan DPR RI telah sepakat menyetujui revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) untuk dibawa ke sidang paripurna. Dalam revisi KUHP tersebut, tetap ada pasal mengenai penghinaan terhadap presiden.
Anggota Komisi III, Arsul Sani, membantah pasal ini merupakan pasal karet. Menurut Arsul, meski pasal ini sempat dibatalkan di Mahkamah Konstitusi, namun penghinaan terhadap presiden harus tetap diatur. Hal itu agar tidak ada orang yang dengan mudah menghina seorang kepala negara.
"Kita kan harus menetapkan, jadi kita sepakat untuk tetap diatur supaya demokrasi kita, kritik kita itu tetap menjaga kultur kesantunan masyarakat kita. Tidak kemudian seenak perutnya bisa ngata-ngatain presiden," kata Arsul, Kamis, 19 September 2019
Dalam revisi KUHP ini, Arsul menambahkan, pasal penghinaan presiden akan menjadi delik aduan sehingga baru dapat digunakan apabila presiden atau kuasa hukumnya membuat laporan atau mengadukan penghinaan tersebut. Hal itu, kata Arsul, untuk menghindari aparat penegak hukum seenaknya melakukan penangkapan untuk cari muka di depan presiden.
"Kami atur sekarang supaya penegak hukumnya itu tidak, katakan lah cari muka ke presiden kemudian nangkep-nangkepin orang, kemudian nyari-nyari orang, kami atur. Ini tidak lagi menjadi delik biasa, tetapi menjadi delik aduan. Siapa yang bisa ngadu? Ya pak presidennya atau kuasa hukumnya. Jadi ini jadi delik aduan," ujarnya.
Ketika disinggung apa perbedaan pasal penghinaan presiden dengan pasal penghinaan orang biasa karena keduanya sama-sama delik aduan, Arsul menjawab, perbedaan tersebut terletak pada lama hukumannya.
"Pertanyaannya kemudian, ngapain kalau itu jadi delik aduan kan sudah ada pasal penghinaan yang berlaku untuk semua orang. Itu tetap beda. Kalau menghina orang biasa seperti Arsul Sani, ya pake itu, ancaman pidananya yang berbeda. Tapi kami buat tetap ancamannya di bawah 5 tahun," ujarnya. (ase)