BJ Habibie dan Sejarah Referendum Timor Timur

Presiden ketiga RI BJ Habibie
Sumber :
  • Dok. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/kye/ama.

VIVAnews - Presiden RI ketiga Bacharuddin Jusuf Habibie menghembuskan napas terakhirnya Rabu, 11 September 2019, pada pukul 18.05 WIB. Banyak kenangan juga warisan yang ditinggalkan sosok yang dikenal sebagai ahli pesawat terbang tersebut di masa hidupnya, salah satunya adalah soal referendum Timor Timur.

Blak-blakan, Presiden Cile Sebut Netanyahu Penjahat Perang

Saat ia menjadi presiden, ada masalah yang sangat krusial yaitu soal otonomi Provinsi Timor Timur. Atas usul PBB, Presiden Habibie mengadakan jajak pendapat yang diselenggarakan 30 Agustus 1999 di bawah pengawasan UNAMET (United Nations Mission for East Timor) dan diikuti oleh penduduk Timor Timur.

Hasilnya diumumkan di New York dan Dili pada tanggal 4 September 1999 yang diikuti oleh 451.792 penduduk Timor Timur. Sebesar 78,5% penduduk Timor Timur menyatakan menolak otonomi khusus yang ditawarkan Indonesia.

Palestina Sebut Keanggotaan Penuhnya di PBB Jadi Kunci Stabilitas Timur Tengah

Dengan mempertimbangkan hal tersebut, maka MPR RI dalam Sidang Umum MPR pada 1999 mencabut TAP MPR No. VI/1978 dan mengembalikan Timor Timur seperti pada 1975. Dalam bahasa lain, Provinsi Timor Timur lepas dari Indonesia dan menjadi Negara Timor Leste.

Kebijakan Habibie tersebut pada akhirnya menjadi titik akhir perang antara militer Indonesia melawan kelompok pro kemerdekaan Timor Timur yakni Fretilin (Frente Revolucionaria de Timor-Leste Independente) yang berlangsung sejak 7 Desember 1975. Ketika itu ABRI menggelar operasi militer besar-besaran yang dinamai Operasi Seroja.

PBB Tunjuk Alumni IPB Yurdi Yasmi Jadi Direktur FAO

Dilansir dari situs wawasansejarah.com, sebelum merdeka Timor Timur sempat menjadi wilayah yang dikuasai oleh beberapa negara. Negara pertama yang menduduki Timor Timur adalah Portugis pada 1520, kemudian Spanyol tiba pada 1522.

Pada tahun 1613, Belanda menguasai bagian barat pulau itu. Namun kekuasaan direbut Inggris pada 1812-1815.

Setelah Inggris pergi, Belanda dan Portugis memperebutkan hegemoni kekuasaan atas Pulau Timor. Portugis akhirnya memperoleh kedaulatan atas wilayah bagian timur setelah melakukan perjanjian dengan Belanda pada 1860 dan 1893, perjanjian terakhir hanya bertahan sampai 1914. Selama Perang Dunia II Timor berada dalam kekuasaan Jepang.

Setelah Jepang kalah dari Sekutu, Provinsi Timor Timur tetap berada dalam pendudukan Portugis sampai tahun 1975. Selama dalam kontrol Portugis, salah satu partai politik utama Timtim, Frente Revolucionária Timor Leste Independente (Fretilin) mendapat banyak kontrol atas wilayah tersebut dan pada bulan November 1975 mendeklarasikan kemerdekaannya sebagai Republik Demokratik Timor Leste.

Pada 7 Desember 1975 pasukan Indonesia yang didukung Amerika dan Australia menduduki wilayah tersebut. Di tahun berikutnya Indonesia mendeklarasikan Timtim sebagai bagian integral dari negara tersebut sebagai Provinsi Timor Timur (Timtim).

Pada tahun-tahun berikutnya muncul konflik antara pendukung kemerdekaan Timor Leste dan pemerintah Indonesia serta pendukung integrasi Timtim. Sampai pada tahun 1991, terjadi apa yang disebut pembantaian Santa Cruz.

Ketika itu, tentara Indonesia melepaskan tembakan ke 4.000 pelayat pro-kemerdekaan di sebuah pemakaman yang sedang mengubur seorang siswa muda yang dibunuh oleh tentara. Seorang jurnalis foto Inggris memfilmkan peristiwa yang menyebabkan lebih dari 200 orang tewas. Rekaman tersebut disiarkan di televisi di negara-negara Barat dan untuk pertama kalinya pemerintah Amerika Serikat mengutuk kekerasan di Indonesia.

Bekas provinsi ke-27 itu membuat Indonesia menjadi bulan-bulanan dunia internasional. Banyak pihak yang menggunakan isu Timtim sebagai salah satu sarana memukul dan mempermalukan bangsa Indonesia di percaturan internasional.

Pelaksanaan Referendum

Tujuh bulan setelah BJ Habibie memegang tampuk kekuasaan atau tepatnya 19 Desember 1998, Perdana Menteri Australia, John Howard, mengirim surat kepada Presiden Habibie. Ia mengusulkan untuk meninjau ulang pelaksanaan referendum bagi rakyat Timtim.

Merespons permintaan PM Australia itu, pemerintah NKRI menggelar sidang kabinet di Bina Graha pada 27 Januari 1999. Menteri Luar Negeri Ali Alatas mengumumkan hasil keputusan sidang yang memakan waktu lebih dari lima jam itu, bahwa Indonesia akan lepas tangan dari Timtim jika mereka menolak opsi penyelesaian konflik Timor Timur yaitu tawaran otonomi khusus yang diperluas.

Presiden Habibie membahas lebih dalam tentang nasib Timtim dengan Perdana Menteri Australia, John Howard, pada 27 April 1999. Habibie mengungkapkan akan melaksanakan penentuan pendapat untuk mengetahui kemauan sebenarnya rakyat Timtim, tetap berintegrasi atau memisahkan diri dari Indonesia. Rencana awal referendum akan dilaksanakan pada tanggal 8 Agustus 1999.

Sebagai implementasi dari pernyataan Habibie, Ali Alatas dan Menlu Portugal, Jaime Gama, bersama Sekretaris Jendeal PBB Kofi Annan menandatangani kesepakatan pelaksanaan referendum pada 8 Agustus 1999 di Timor Timor. Di sisi lain, Indonesia tetap bertanggung jawab pada keamanan pelaksanaan referendum tersebut. Sidang Umum PBB menerima dengan bulat kesepakatan itu pada 7 Mei 1999.

Presiden Habibie kemudian membentuk tim pengamanan implementasi penentuan pendapat tentang  status Timtim pada 11 Mei. Presiden menunjuk Menko Polhukam Feisal Tanjung sebagai penanggung jawab, dengan anggota Menhankam Jenderal Wiranto, Menlu Ali Alatas, Mensesneg Muladi, Mendagri Syarwan Hamid, dan Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara ZA Maulani.

Selanjutnya pada 17 Mei 1999, Presiden Habibie mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 43/1999 tentang Tim Pengamanan Persetujuan RI-Portugal di Timtim. Keppres itu dimantapkan dengan Instruksi Presiden (Inpres) No. 5/1999 tentang Langkah Pemantapan Persetujuan RI-Portugal.

Melalui Mensesneg Muladi, pemerintah Indonesia meminta PBB memajukan penentuan pendapat, dari 8 Agustus menjadi tanggal 7 Agustus 1999. Alasannya karena pada tanggal 8 Agustus 1999 merupakan hari minggu dan banyak umat Katolik melakukan peribadatan.

Sejak 1 Juni 1999, bendera biru PBB mulai berkibar di tanah Timor Timur. PBB meresmikan misinya di Timor Timur (UNAMET) pada 3 Juni 1999. Misi itu diketuai oleh Ian Martin.

Pada 26 Juni 1999, Sekjen PBB Kofi Annan merespons permintaan perubahan jadwal pelaksanaan yang sebelumnya diajukan Indonesia dan memutuskan menunda pelaksanaan jajak pendapat di Timtim, dua minggu dari tanggal yang ditentukan, sehingga rencana berubah menjadi tanggal 21 Agustus.

Untuk menyukseskan referendum sejak tanggal 16 Juli-8 Agustus mulai diadakan pendaftaran pemilih. Secara umum, hari pertama pendaftaran berlangsung aman, kecuali di Kecamatan Zumalai, Kovalima, terjadi kerusuhan yang mengakibatkan satu korban tewas dan lima luka-luka.

Di tengah-tengah masa pendaftaran referendum, PBB kembali mengubah keputusan pelaksanaan referendum menjadi tanggal 30 Agustus 1999.

Hari referendum pun tiba, pada 30 Agustus 1999 dilaksanakan referendum dengan situasi yang relatif aman dan diikuti hampir seluruh warga Timtim. Sekjen PBB menyampaikan hasil referendum kepada Dewan Keamanan PBB pada 3 September 1999.

Hasilnya 344.580 suara (78,5%) menolak otonomi, 94.388 (21%) suara mendukung otonomi, dan 7.985 suara dinyatakan tidak valid. Hasil referendum tersebut kemudian diumumkan secara resmi di Dili pada 4 September 1999. Pada 30 Oktober 1999, bendera Merah Putih diturunkan dari bumi Timor Leste dalam upacara yang sangat sederhana dan tanpa adanya liputan.

Terkait kebijakan Habibie soal referendum itu, tokoh Katolik, Franz Magnis Suseno, mencatat sebagai sebuah keberanian. Setelah lebih dari 20 tahun diduduki, Habibie berani menawarkan kepada rakyat Timor Timur untuk menyatakan pendapat mereka dan Indonesia merelakan mereka mencapai kemerdekaan.

Sedangkan Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa, Tony Rosyid, mencatat, kendati Habibie orang baik, pintar dan hebat, toh bangsa ini pernah tak menghendaki tokoh kelahiran Parepare 25 Juni 1936 ini jadi presiden. Ini terjadi di tahun 1999. Laporan Pertanggungjawaban Habibie sebagai presiden ditolak di sidang MPR. Satu-satunya faktor, jika boleh dibilang begitu, adalah lepasnya Timor Timur dari Indonesia. Tak ada ruang dan kesempatan bagi alumni ITB ini untuk mencalonkan diri jadi presiden. Habibie berbesar hati, dan menyadari kegagalannya. Tak terlihat upaya untuk "ngotot" mencalonkan diri. Dan memang, tampak Habibie bukan tipe manusia yang ambisius untuk menjadi presiden.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya