KPK Usik Dewan Pengawas Usulan DPR
- ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
VIVA – Pro kontra revisi undang-undang (RUU) nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus terjadi. Dan, salah satu yang paling gencar menolak adalah KPK.Â
Salah satu yang diprotes KPK adalah adanya usulan dewan pengawas KPK dalam RUU tersebut yang dipandang akan melemahkan pemberantasan rasuah. Apalagi, dewan pengawas sebagaimana dalam draf tersebut akan dipilih lagi oleh DPR.
Tugas dewan pengawas juga akan meliputi teknis detil penyidikan, seperti penyadapan, penggeledahan dan penyitaan. Sebab harus ada izin dewan pengawas dalam melakukan upaya paksa tersebut.
Juru Bicara KPKÂ Febri Diansyah mengatakan, bila tujuannya pengawasan jauh sebelum DPR mewacanakan ini, KPK sudah memiliki sistem pengawasan sendiri.
"Mekanisme pengawasan internal di KPK ada di direktorat pengawasan internal. Di Direktorat Pengawasan Internal itu ada dewan pegawai, di dewan pertimbangan pegawai itulah itu bila ada dugaan pelanggaran etik berat di sana bahkan lebih dari itu, ini tidak ditemukan di lembaga lain, pimpinan KPK bisa kena pelanggaran etik. Ada komite etik dari unsur eksternal dan internal. Intinya yang ingin saya sampaikan, adagium lama gak mungkin lah atasan bisa kena pengawasan internal, ternyata di beberapa kasus di KPK, mekanisme itu berjalan sampai menyentuh pucuk pimpinan yang tertinggi," kata Febri dalam forum ILC yang disiarkan tvOne, Selasa malam, 10 September 2019.Â
Febri lebih jauh menyadari DPR miliki wewenang dalam mengubah ataupun merevisi undang-undang. Namun di luar normatif fungsionalnya, dia mempertanyakan alasan DPR mengusulkan adanya dewan pengawas dipilih lagi oleh DPR. Ditambah, tugasnya nanti dia akan masuk atau berkaitan erat dengan teknis-teknis penanganan perkara.Â
"Apa sebenarnya konsep dewan pengawas di rancangan undang-undang yang menjadi inisiatif DPR tersebut?" kata Febri.Â
Febri menilai, perlu rumusan yang jelas dalam merancang mengenai konsep-konsep yang baik itu. Apalagi masalah penyadapan, yang notebene menjadi salah roh KPK dapat melakukan kerja penindakan dengan baik.
"Kemudian bicara soal penyadapan. Ada norma yang mereduksi dan membatasi soal penyadapan yang dilakukan. Bukan soal proses pengawasannya. Kalau kita mau lihat, lembaga mana saja yang memiliki kewenangan penyadapan. KPK memiliki kewenangan penyadapan, polisi, jaksa, lembaga intelijen juga memiliki wewenang penyadapan. Kalau risiko, misal risiko penyimpangan, pelanggaran-pelanggaran HAM, ada dan melekat pada kewenangan penyadapan itu. Kenapa tidak dibahas secara komperehensif, misalnya terkait kewenangan terhadap proses penyadapan dengan alur yang ada. Kenapa hanya penyadapan yang dilakukan KPK yang menjadi perhatian dalam konteks ini," ujarnya menegaskan. [mus]