LGBT Kota Padang, Hidup dengan Intimidasi dan Persekusi
- VIVAnews/Andri Mardiansyah
VIVA – Hujan tanya bernada intimidasi menderas ke arah dua perempuan berinisial PI dan AL di ruangan sebesar setengah lapangan badminton. Mendapat perlakuan intimidatif, keduanya hanya tertunduk lemas. Amarah pun ditahan. Terus diam dan menunduk pun tak menyurutkan perlakuan petugas Satpol PP untuk menghujat keduanya.
PI dan Al sejak dua tahun silam saling menjalin kasih. Mereka sepakat hidup bersama di sebuah rumah kontrakan sederhana karena saling cinta. Tapi pada Senin malam, 24 Desember 2018, sekitar pukul 22.30 WIB, petaka menghampiri mereka.
Keduanya berurusan dengan petugas Satuan Polisi Pamong Praja yang sejak lama mengincarnya. Satpol PP menangkap keduanya di sebuah tempat hiburan malam di kawasan pondok dengan dalih menjalankan Perda ketertiban umum dan ketentraman masyarakat (trantibum) nomor 11 tahun 2005.
Saat dijumpai pada Selasa siang, 25 Desember 2018 di Mako Satuan Polisi Pamong Praja Padang, keduanya tampak lusuh. PI dan AL hanya mengenakan jeans pendek dengan kaus oblong berbalut jaket usang. Semalaman keduanya tak bisa istirahat.
Sepanjang pemeriksaan, mereka bertubi-tubi mendapat perlakuan tak senonoh para petugas yang benci dengan pasangan lesbi. Lalu belakangan, keduanya mulai khawatir. Mereka takut pemeriksaan malam itu akan membawa mereka ke Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Andam Dewi di Kabupaten Solok. PSKW adalah tempat layanan rehabilitasi sosial bagi wanita penjaja seks yang terjaring Satpol PP.
Dihantui rasa cemas, keduanya tetap berusaha menceritakan kisah pahit mereka selama ditahan di Markas Satpol PP Kota Padang. Menurut keduanya, selama ditahan dan diperiksa, mereka kerap diperlakukan semena-mena. Bahkan mereka dikerubungi sejumlah oknum petugas dengan pertanyaan yang tidak pantas dan menghina.
"Kok suka sama sejenis. Itu nanti kalau main gimana cara mainnya. Bukannya Tuhan sudah menciptakan manusia itu berpasang-pasangan. Sudah berapa lama? Kalau main, pakai jari dan lidah juga?" kata PI meniru kalimat yang disampaikan petugas.
Menurut PI, hampir setiap petugas yang masuk ke ruang pemeriksaan melemparkan pertanyaan yang tak pantas dan merendahkan diri mereka. Amarah beberapa kali memuncak. Tapi keduanya tetap tak bisa berbuat apa-apa, selain diam dan membantah tudingan dengan halus. Hanya itu yang bisa dilakukan, ketimbang harus menggelandang di Panti Sosial Karya Wanita Andam Dewi.
"Bagi kami itu masalah pribadi. Cara bertanya mereka salah. Kami marah, tapi saya jawab tidak ada gitu. Mereka sama seperti mem-bully. Kami memang anak malam, kami tahu apa yang kami lakukan itu salah. Tapi harga diri kami masih ada. Pertanyaan itu yang wajar saja," ujar PI.
Semalaman itu, PI dan AL merasa dipermalukan dan direndahkan. Hak keduanya dan orientasi seksual mereka dihakimi "salah". Tapi selepas perundungan dan intimidasi di kantor Satpol PP Kota Padang, PI mengaku sudah tak berkomunikasi dengan AL.
PI (kanan) dan AL (tengah) saat diinterogasi di kantor Sat Pol PP Padang
Jera menghadapi intimidasi dan perundungan semalaman, masalah tak juga selesai. PI masih harus menghadapi amukan sang ibu yang menjemputnya di kantor Satuan Polisi Pamong Praja Kota Padang. Di rumah, PI langsung dilarang bertemu dengan siapa saja yang tidak dikenal ibunya. Bahkan, sang ibu melarang PI untuk keluar atau meninggalkan kawasan sekitar rumah.
"Sekarang saya cuma di rumah saja. Saya tidak boleh keluar rumah. Boleh pun tidak jauh-jauh. Kalau sempat keluar lama-lama, rambut saya dibotaki ibu. Rambut saya sudah beberapa kali dibotaki," kata PI.
Selain PI dan AL, perundungan juga pernah dialami oleh tiga waria di penghujung Desember 2018. Bahkan, perundungan itu dilakukan di area terbuka dan disaksikan oleh sejumlah warga dan siswa sekolah dasar.
Dengan kondisi kepala yang sudah plontos, ketiganya diperintahkan membuka baju, berlari kecil hingga jalan jongkok di lapangan yang berada tepat di samping kantor Sat Pol PP Padang. Selama perundungan berlangsung, banyak warga hingga anak-anak yang menyaksikan kejadian itu. Namun saat meminta data lengkap ketiga waria, petugas Sat Pol PP tak berkenan memberikan.
Petugas di ruangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) berkilah kalau data terkait dengan identitas tiga waria itu tidak ada. Menurut mereka, PPNS hanya mendata lokasi penangkapan, jumlah yang ditangkap, plus proses pembinaan yang akan mereka jalani.
Yanti, adalah warga jalan Tan Malaka yang melihat langsung perundungan tersebut. Menurutnya, perundungan tak harus dilakukan, apalagi di tempat umum dan disaksikan anak di bawah umur.
"Saya sempat melihat itu. Harusnya bentuk hukumannya tidak seperti itu. Sebaiknya dilakukan di dalam kantor saja, bukan di tempat umum. Saya tidak setuju dengan bentuk hukuman seperti itu. Tidak elok," kata Yanti.
Yadrison, Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Satpol PP Kota Padang kala itu tak menampik perlakuan semena-mena anak buahnya terhadap warga non heteroseksual. Namun berkali-kali dia memperingatkan, anggotanya tetap saja membandel. Oleh sebab itu, terkait peristiwa perundungan yang dialami PI dan AL, Yadrison mempersilakan keduanya melaporkan ke pihaknya.
“Bisa enggak dia menunjuk orang itu. Kalau bisa saya kasih sanksi sekarang juga. Jika terbukti, saya tindak. Kalau di sini ada sanksi fisik, bisa juga administrasi. Bisa saya skors dia. Bisa saya pindahin dia. Ini memang kebiasaan jelek ya, kalau ada tangkapan mereka masuk semua," tegas Yadrison.
Sementara itu, Al Amin yang baru saja didapuk menjadi Kepala Satpol PP Padang menggantikan Yadrison, menegaskan tidak akan menoleransi tindakan sewenang-wenang anggotanya yang berbuat di luar ketentuan.
Tapi bukannya membebaskan dan memulihkan nama baik warga non-heteroseksual, Al Amin berkeras tetap akan merazia LGBT di Kota Padang. Dia yakin tak melanggar HAM. Sebab baginya, LGBT berseberangan dengan norma adat dan agama Islam. Menurut Al Amin, razia akan terus digelar di lokasi yang ditengarai menjadi tempat berkumpul LGBT.
"Jadi, kalau seandainya ada kelihatan LGBT, kalau seandainya ada masyarakat yang melaporkan soal LGBT, ya kita telusuri dan kita lakukan penertiban. Kalau operasi rutin tiap malam kita laksanakan. Jadi hal-hal yang janggal, hal yang salah, tetap kita tertibkan," kata Al Amin.
Sepanjang Januari hingga Desember 2018, Satpol PP Kota Padang menangkap 24 orang lesbi. Delapan di antaranya dibina di Sat Pol PP Kota Padang dan 16 lainnya diserahkan ke Dinas Sosial Kota. Sedangkan warga lelaki suka lelaki (LSL) yang diamankan sebanyak lima orang dan waria sebanyak 25 orang.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kota Padang mengutuk dan menyesali aksi perundungan terhadap AL, PI dan ketiga waria tersebut. Menurut Direktur LBH Padang, Wendra Rona, tindakan dari Sat Pol PP Kota Padang terhadap warga yang diduga non-heteroseksual seperti lesbian, gay ataupun waria, sangat merendahkan martabat mereka sebagai manusia dan warga negara.
Indonesia, kata Wendra, sudah meratifikasi konvensi anti-toucher dan tindakan yang merendahkan martabat manusia. Jadi mestinya, perbuatan melecehkan dan mengintimidasi tak lagi digunakan dalam proses pemeriksaan. Apalagi selama ini, proses penangkapan dan pemeriksaan lebih sering dilakukan untuk mempermalukan warga LGBT.
“Nah, tindakan persekusi seperti ini, terlebih terhadap beberapa orang-orang yang diperlakukan dan dipermalukan, bahkan di hadapan anak-anak, merupakan tindakan yang mendiskreditkan mereka sebagai manusia,” kata Wendra Rona.
Untuk itu, kata Wendra, LBH mendesak Kepala Sat Pol PP serta Wali Kota Padang untuk dapat lebih memerhatikan situasi ini. Berangkat dari kasus ini, Wendra menilai, penangkapan warga non-heteroseksual bukan kejadian sekali dua kali di Kota Padang.
“Kita harap, peristiwa ini tidak terulang kembali dan harusnya ada pembenahan yang benar-benar menyeluruh di organ Pol PP agar Sat Pol PP lebih dipandang sebagai institusi yang humanis dengan mengedepankan pendekatan dan cara yang lebih persuasif. Bukan hanya mengedepankan cara-cara kekerasan baik fisik maupun verbal yang selama ini dipertontonkan,” ujarnya.
LGBT Objek Kekerasan
Dede Oetomo adalah pendiri sekaligus pembina GAYa NUSANTARA, sebuah yayasan yang memperjuangkan hak-hak LGBTIQ. Dia mengatakan kekerasan kerap dialami warga minoritas di Indonesia, termasuk juga kepada LGBT. Padahal di mata hukum, warga non-heteroseksual memiliki hak yang sama dengan kelompok mayoritas.
"Sebagai pengamat sosial, saya melihat masyarakat kita itu penuh dengan kekerasan. Dari dulu sudah berapa kali terjadi pembunuhan besar-besaran, tahun 1965 itu juaranya. Tapi setelah itu, kekerasan ada terus, terutama bagi mereka kelompok minoritas," kata Dede.
Terkait dengan adanya perundungan yang dialami PI dan AL selama berada di kantor Sat Pol PP Padang, Dede mengaku sangat menyayangkan peristiwa itu. Menurutnya, petugas Sat Pol PP tak bisa memperlakukan warga LGBT semena-mena meski dengan dalih-dalil agama dan penegakan perda.
"Semua punya aturan, maka yang harus dilakukan itu sesuai aturan dan jangan berbuat seenaknya. Yang dihukum itu adalah perilakunya, tapi jangan bertindak diskriminatif. Kalau urusan orientasi seksual, itu kan urusan pribadi mereka. Saya kadang-kadang berimajinasi, bagaimana kalau kita masuk ke rumah koruptor dan kita telanjangi, boleh tidak? Kan tidak bisa main hakim sendiri. Bukan wewenang Sat Pol PP sampai di situ," ujar Dede.
Petugas Sat Pol PP Padang Saat menggelar razia penyakit masyarakat di salah satu tempat hiburan malam.
Ke depan, Dede berharap warga non-heteroseksual tidak lagi mendapatkan perlakuan yang diskriminatif dan intimidatif, termasuk aksi perundungan dengan kekerasan. Oleh sebab itu, para pegiat di yayasannya kini rutin memproduksi kampanye edukasi di media sosial.
“Kita terus berupaya memperjuangkan kesetaraan melalui kampanye di media sosial, advokasi dengan pemerintah lokal dan memberikan pendidikan kepada masyarakat, kalau semua itu punya hak yang sama. Kita tidak memilki data statistik terkait berapa jumlah kasus kekerasan yang dialami kelompok minoritas dalam hal ini LGBT, namun kita berharap segala bentuk diskriminatif dan kekerasan kepada kelompok minoritas tidak terjadi lagi,” kata Dede.
LGBT Isu Sensitif di Sumatera Barat
Di Ranah Minang, lesbian, gay, biseksual dan transgender adalah isu sensitif. Baik masyarakat, pemerintah hingga tokoh adat dan agama menentang keras keberadaan LGBT. Bahkan bagi masyarakat Minangkabau, LGBT tak hanya bertentangan dengan norma adat dan agama, tapi juga merusak citra ranah yang memegang teguh kerangka filosofis adat, Basandi Syarak-Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK). Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah adalah kerangka untuk memahami keberadaan insan Minangkabau sebagai khalifah Allah di muka bumi.
Sementara itu, pada 2018, Perhimpunan Konselor VCT HIV Indonesia Wilayah Sumatera Barat mengestimasikan, pelaku lelaki seks dengan lelaki (LSL) atau gay di Sumatera Barat mencapai 14.469 orang. Hasil ini berdasarkan penelitian Perhimpunan Konselor VCT HIV di 4 titik di Sumatera Barat yakni Kota Padang, Kota Bukittinggi, Kota Solok, dan Kabupaten Solok. Responden penelitian berjumlah 147 orang LGBT pada rentang waktu Februari-April 2018.
Di Ranah Minang, hasil riset itu direspons beragam. Berbagai pertemuan, seminar hingga sosialisasi gencar dilakukan untuk menyikapi isu LGBT ini. Bahkan, pada Minggu pagi, 18 November 2018, pemerintah dan ribuan warga Kota Padang menggelar Deklarasi “Padang Anti Maksiat” untuk menyikapi isu LGBT.
Dalam sambutannya, Wali Kota Padang, Mahyeldi Ansyarullah, menyatakan pelaku maksiat dan LGBT, sangat tidak layak untuk tinggal di Kota Padang. Tak puas menggelar deklarasi, Pemerintah Kota Padang juga menambah jumlah personel Satpol PP agar setiap malam melakukan operasi rutin merazia warga non-heteroseksual.
“Setiap hari, setiap malam kita melakukan operasi. Tujuannya, agar daerah ini bersih. Mulai saat ini, saya ingatkan para pelaku maksiat untuk segera bertobat. Juga bagi para pembeking, saya tahu ada pembeking. Bertobat. Karena akan berhadapan dengan seluruh pihak. Tidak hanya pemerintah tapi juga aparat keamanan,” tegas Mahyeldi Ansyarullah.
Sepekan deklarasi di Kota Padang, Pemerintah Kota Pariaman mengubah Peraturan Daerah tentang Ketentraman dan Ketertiban Umum. Pada beleid (kebijakan) itu ditambahkan dua pasal, yakni pasal 24 dan pasal 25 yang disahkan dalam rapat paripurna DPRD Pariaman pada Selasa malam, 27 November 2018. Dua pasal itu, khusus merespons isu LGBT.
Deklarasi “Padang Anti Maksiat” untuk menyikapi maraknya perkembangan Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) di GOR Haji Agus Salim, Minggu pagi 18 November 2018.
Pada pasal 24, setiap orang dilarang berlaku sebagai waria dan melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan dan ketertiban. Sementara pada pasal 25, setiap orang laki-laki dan perempuan dilarang melakukan perbuatan asusila dengan sesama jenis dan melakukan perbuatan yang dimaksud dengan LGBT. Ganjaran bagi para pelanggar pun disiapkan, yakni denda uang sebesar Rp1 juta.
Perda yang berpotensi mendiskriminasi dan mengintimidasi LGBT ini pun turun hingga ke tingkat nagari (desa) dalam bentuk aturan. Mereka yang melanggar mendapatkan sanksi sosial, diusir, atau denda semen.
Wakil Ketua DPRD Pariaman Fitri Nora menyebutkan, dua pasal dalam perda trantibum itu lahir atas dasar pertimbangan meningkatnya kasus narkotika dan HIV AIDS, serta menjamurnya salon-salon kecantikan transgender di kawasan pasar.
Fitri mengklaim penambahan pasal khusus LGBT muncul setelah DPRD menerima laporan warga yang mengaku resah dengan keberadaan warga non-heteroseksual. "Cukup alot ya (pembahasannya). Ada sekitar tiga bulan dibahas sebelum kemudian disahkan," kata Fitri Nora.
Penambahan dua pasal dalam Perda Ketentraman dan Ketertiban Umum menuai pro dan kontra. Salah satunya dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang. Direktur LBH Padang, Wendra Rona, mengatakan dua pasal tambahan dalam perda tersebut harus dikaji ulang karena bisa menjustifikasi tindakan diskriminasi, kekerasan dan bahkan berujung persekusi.
“Kita belum membaca keseluruhan perda itu. Namun pemahaman sementara kita, perda itu merespons persoalan LGBT yang beberapa waktu lalu cukup memanas. Nah, apakah dengan munculnya perda tersebut dapat dirasa bisa menjadi jawaban persoalan yang memang yang dirasakan masyarakat? Atau jangan-jangan, perda ini justru akan memunculkan persoalan yang baru,” kata Direktur LBH Padang, Wendra Rona.
Menurut Wendra, penilaian terhadap kelompok LGBT tidak bisa dinilai dari fisiknya kecuali waria. Karena persoalan itu yang belum secara clear dan rentan untuk menjadi alat persekusi atau menuduh secara sepihak.
"Kekhawatiran kami lebih kepada itu. Jangan perda ini malah melegalisasi atau menjustifikasi tindakan kekerasan terhadap mereka,” ujar Wendra.
Menurut Wendra, warga non-heteroseksual adalah manusia yang mempunyai hak. Sebagai manusia dan warga negara, mereka, tegas Wendra, mempunyai hak mendapatkan perlindungan atas sikap diskriminatif. Oleh sebab itu, Wendra berharap pemerintah segera mengevaluasi dan mengkaji perda-perda yang mengatur tentang LGBT.
Sementara itu, Wakil Gubernur Sumatera Barat, Nasrul Abit, memastikan jika dalam waktu dekat akan ada regulasi khusus yang akan mengatur persoalan LGBT. Regulasi anti-LGBT itu berbalut Perda Ketahanan Keluarga. Draf perda saat ini masih dalam rancangan dan akan dibahas dalam waktu dekat dengan DPRD Sumatera Barat.
"Kita sedang rancang itu, nanti kita bahas dengan DPRD. Nama judulnya bukan Perda LGBT, tapi Perda Ketahanan Keluarga. Di dalamnya menyangkut itu, ada narkoba, LGBT, kenakalan remaja, dan miras. Akan kita rangkum jadi satu, termasuk juga soal ketertiban umum,” ujarnya.
Nasul Abit percaya, LGBT bukan sebuah penyakit. Tapi dia percaya LGBT berkembang di Padang lebih karena tren generasi muda. Khusus bagi yang sudah terjangkit HIV AIDS, Nasrul Abit mengimbau untuk sesegera mungkin berobat di puskesmas atau rumah sakit yang ada, agar bisa diobati untuk mencegah penularan.
Komnas HAM Turun Tangan
Pada 14 Februari lalu, Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik, datang ke kantor Gubernur Sumatera Barat untuk membahas wacana Perda LGBT dengan Wakil Gubernur Sumbar, Nasrul Abit. Ahmad menganggap diskusi ini penting karena Komnas HAM berkepentingan untuk memastikan celak praktik kekerasan, persekusi dan diskriminasi tidak menjadi ruh rancangan beleid tersebut.
Menurut Ahmad, wacana Perda LGBT diubah menjadi Perda Penguatan Rumah Tangga agar tak memicu kontroversi di kalangan masyarakat Sumbar. Untuk itu, kata Ahmad, penting bagi pemerintah provinsi untuk memastikan praktik kekerasan, persekusi dan diskriminasi tidak dilakukan Sat Pol PP di seantero Sumatera Barat.
“Saya kasih contoh kasus di berbagai tempat, di antaranya kasus Aceh Utara, di mana aparat penegak hukum melakukan persekusi. Wagub Sumbar setuju dan meyakinkan saya dan rombongan bahwa tujuan perda itu nantinya adalah upaya edukasi, upaya memperkuat nilai-nilai agama dan sosial budaya masyarakat,” kata Ahmad.
Ahmad Taufan tak menampik kalau masyarakat Minangkabau adalah masyarakat Islami yang memiliki filosofi “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”. Bahkan Ahmad mengaku kalau dirinya sangat menghormati filosofi itu. Sebab, tanpa filosofi, budaya masyarakat Minangkabau akan sirna.
Namun, terlepas dari itu, Ahmad juga mendorong tokoh-tokoh di Minangkabau untuk juga berbicara mengenai persektif hak asasi orang Minangkabau di tingkat nasional. Poin saya adalah agar perspektif HAM bisa lebih terbuka, beragam dan dinamis.
“Kalau dulu, ada banyak tokoh Minangkabau hadir memperkaya khasanah demokrasi dan tatanan negara modern di Indonesia, di antaranya Bung Hatta. Maka, saatnya tokoh-tokoh Minangkabau kembali tampil menyampaikan pikirannya, memperkaya khasanah pemikiran bangsa. Yang terpenting adalah jangan sampai ada kekerasan, persekusi, dan diskriminasi. Tiga kata itu sering selalu saya ulang dalam menjawab pertanyaan,” katanya.
Kembali ke sebuah rumah di bilangan sudut Kota Padang, PI diminta patuh pada orang tuanya. Didesak untuk mencari pasangan berbeda kelamin dengannya. Dipaksa begitu, dia hanya berusaha patuh. Dia tak mau rumah menjadi penjara kedua baginya setelah perundungan dan intimidasi melecehkan dirinya bersama kekasihnya AL di Kantor Satuan Polisi Pamong Praja Kota Padang.
Saban hari dia terus membatin. Apalagi jika sang ibu jadi memaksanya ikut ruqyah untuk bisa mengubah orientasi seksualnya. Bagi PI, kantor Satpol PP Kota Padang jadi tempat terakhir kebersamaannya dengan AL, sekaligus menjadi tempat kisah cinta yang terkubur oleh persekusi, intimidasi dan perlakuan diskriminatif.