Kritik Penguji soal Disertasi Zina Halal: Terlalu Subyektif
- tvOne
VIVA – Abdul Aziz, mahasiswa program doktoral Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, sudah meminta maaf perihal disertasi kontroversialnya terkait pemikiran intelektual muslim asal Suriah, Muhammad Syahrur, soal Milk al-Yamin yang membolehkan zina tanpa menikah.
Selama seminggu disertasi ini mengguncang publik dan memicu polemik. Abdul Aziz yang juga dosen di Fakultas Syariah Institut Agama Islam Surakarta menjalani sidang doktoralnya pada 28 Agustus 2019. Ada tiga profesor dan empat doktor sebagai promotor dan penguji dalam sidang itu.
Tujuh promotor dan penguji ini sempat mengeluarkan rilis pada 30 Agustus 2019 lalu. Disebutkan Abdul Aziz sudah melakukan penelitian secara obyektif dan sesuai aturan-aturan akademik.
Sebagai peneliti, Abdul Aziz dituntut mampu mendeskripsikan pandangan dan penafsiran Syahrur bahwa Milk al-Yamin tidak hanya bisa dilakukan terhadap budak, tapi juga semua orang yang diikat dalam kontrak seksual. Pendapat ini yang dikritisi Abdul Aziz, baik dari sisi linguistik maupun pendekatan gender. Diakui para penguji, kritik Abdul Aziz masih belum sempurna dan komprehensif, sehingga promotor dan penguji mempertanyakannya.
Dikutip VIVAnews dari rilis tersebut, salah satu promotor, Prof Khoiruddin Nasution mengkritik Abdul Aziz. Menurut Khoiruddin, soal Milk al-Yamin versi Syahrur yang dideskripsikan Abdul Aziz dalam disertasinya, konsep itu dikontekstualkan dalam kehidupan kontemporer sekarang dengan beberapa perkawinan yang bertujuan memenuhi kebutuhan biologis, yakni nikah al-mut'ah, nikah al-muhallil, nikah al-'irfi, nikah al-misyar, nikah al-misfar, nikah friend, nikah al-musakanah (samen leven).
Nikah-nikah semacam itu, kata Khoiruddin, saat ini umum dilakukan orang-orang Eropa, termasuk Rusia, di mana Syahrur hidup lama. Secara hermenutika konteks inilah yang dianggap menginspirasi Syahrur. Jenis-jenis nikah ini telah ada dalam tradisi muslim dan hukum kontraversial. "Ada ulama yang membolehkan, dan ada muslim yang mengamalkan. Sebaliknya, ada ulama yang mengharamkan," kata Khoruddin.
Dalam disertasinya, imbuh Khoruddin, Abdul aziz mengkritik konsep Syahrur dengan menyebut ada bias-bias subjektivitas pencetusnya. Di antara bias itu barangkali Syahrur ingin mengubah hukum zina yang didasarkan pada sentimen pribadinya, bukan atas pembuktian. Sebab persyaratan pembuktian zina sangat ketat. Syahrur ingin menunjukkan agar jangan mudah menghukum orang berzina.
"Sayangnya dalam abstrak, Abdul Aziz tidak menulis kritik tersebut. Malah menyebut konsep Syahrur sebagai teori baru dan dapat dijadikan justifikasi keabsahan hubungan seksual non marital. Kalimat terakhir ini yang menjadi bagian dari keberatan tim penguji promosi, sehingga meminta Abdul Aziz menyempurnakan abstrak agar sesuai dengan isi disertasi," kata Khoiruddin.
Promotor dan penguji lainnya, Dr.phil Sahiron MA menilai pandangan Syahrur terhadap Milk-al Yamin cukup problematik. Problemnya terletak pada subyektivitas penafsir yang berlebihan yang dipengaruhi wawasannya tentang tradisi kultur dan sistem hukum keluarga di negara-negara lain, sehingga memaksa ayat alquran agar sesuai dengan pendangannya.
Alhasil ayat-ayat tentang Milk al-Yamin yang dahulu ditafsirkan sebagai budak dipahami Syahrur dengan setiap orang yang diikat kontrak hubungan seksual. Bagi Syahrur, sama dengan budak pada zaman dulu yang dimanfaatkan tuannya untuk berhubungan seksual, orang-orang yang diikat kontrak untuk hubungan seks apapun bentuknya, marital atupun non marital, halal.
Penafsiran Syahrur dianggap terlalu subyektif, sehingga mengenyampingkan makna obyektif dalam ayat alquran. Analogi budak dan orang yang diikat kontrak terlalu simplisistik karena hanya memandang satu aspek perbudakan, yakni seksualitas. "Padahal sisi lain yang harus diperhatikan dari perbudakan yang sudah ada jauh sebelum turunnya ayat soal Milk al-Yamin, yakni martabat kemanusiaan yang oleh ayat alquran sangat dijunjung tinggi," katanya.