Pemerhati Anak dan Sosiolog: Hukuman Kebiri Tak Seberat Derita Korban

Diskusi publik penerapan hukuman kebiri kimia bagi predator anak di Surabaya, Jawa Timur, pada Rabu, 28 Agustus 2019.
Sumber :
  • VIVAnews/Nur Faishal

VIVA – Hukuman tambahan kebiri kimia terhadap M Aris (20 tahun), terpidana perkara pencabulan dengan korban sembilan anak di Kota/Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, menjadi polemik.

Rekaman Berisi Ancaman Agus Buntung ke Korban dan Orangtuanya Tersebar, Ini Isinya...

Ada yang tak sepakat, karena dinilai melanggar HAM. Tetapi, ada yang berpendapat hukuman kebiri kimia tak seberat derita korban.

Aktivis perlindungan anak, Joris Lato, mengaku bertahun-tahun mendampingi anak-anak korban kekerasan seksual, baik pelaku orang lain maupun orang terdekat korban, dampak psikis maupun fisik yang dialami korban berkelanjutan.

Korban Ungkap Awal Mula Didekati Agus Buntung hingga Dipaksa ke Penginapan

Dia memberi contoh, anak yang dia dampingi masih mengeluh sakit perut dan kepala hingga sepuluh tahun setelah kejadian.

Ada juga korban yang didampingi hamil setelah digauli ayah kandungnya. “Sembilan puluh persen anak yang saya dampingi itu, mereka terkena penyakit menular seksual," kata Joris dalam diskusi publik 'Penerapan Hukuman Kebiri bagi Predator Anak' oleh Komunitas Media Pengadilan dan Kejaksaan di Surabaya, Jawa Timur, pada Rabu 28 Agustus 2019.

Indra Tersangka Pembunuh dan Pemerkosa Gadis Penjual Gorengan Ngaku Sadar dan Minta Ampun

Nah, merasakan pengalaman itu, Joris mengatakan, hukuman kebiri kimia yang diterapkan oleh penegak hukum, termasuk kepada terpidana Aris, tidak seberapa dibandingkan dengan derita yang harus ditanggung oleh korban. Apalagi, efek hukuman kebiri kimia maksimal hanya dua tahun.

Sosiolog pada Universitas Airlangga, Bagong Suyanto, menganalisis dari pemberitaan media massa atas pengakuan terpidana Aris yang menolak dihukum kebiri kimia.

"Dia (Aris) mengatakan, ‘Lebih baik saya mati, daripada saya tidak bisa ereksi’, itu pernyataan yang menurut saya sangat merekomendasikan cara berpikir pelaku yang patriarkis. Bagi dia, kejantanan itu soal nomor satu," ujarnya.

Dalam studi studi ilmu sosial, kata Bagong, akar masalah dari pemerkosaan selalu merujuk pada seberapa jauh pola pikir patriarki mengakar di masyarakat.

"Makin patriarkis, makin kita menoleransi (pelaku), makin kita menyalahkan korban, dan makin kita bersimpati pada pelakunya. Suasana itu sedikit saya tangkap, ketika orang merasa pelaku juga manusia," ujarnya. 

Menurut Bagong, polemik hukuman kebiri kimia sementara ini masih berkutat pada perspektif pelaku.

"Kenapa kita tidak mempertimbangkan dari perspektif korban. Saya kira itu penting. Saya mungkin agak bias, karena saya punya anak satu dan anak satu saya perempuan. Jadi, saya bisa membayangkan kalau itu terjadi (jadi korban)," katanya. 

Asisten Pidana Umum Kejaksaan Tinggi Jatim, Asep Maryono mengaku bahwa selama ini sedikit perkara pencabulan yang diterima Kejaksaan dari Kepolisian yang dikuatkan pendapat ahli dari perspektif korban.

"Untuk selanjutnya, kami akan berikan petunjuk untuk disertakan korban dalam mereka mempertimbangkan berat ringannya hukuman tuntutan pidana.” (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya