Ketua KPU: Sejak 2004 Sudah Ada Serangan ke Penyelenggara Pemilu

Ketua KPU Arief Budiman Saat Sidang Gugatan Pilpres 2019 di MK
Sumber :
  • VIVA/M Ali Wafa

VIVAnews - Komisi Pemilihan Umum menggelar Focus Group Discussion (FGD) mengenai hoax dalam Pemilu 2019. Dalam kesempatan itu, Ketua KPU, Arief Budiman, mengatakan, seiring adanya kemajuan teknologi serangan demi serangan juga dihadapi penyelenggara pemilu.

KPU: Idealnya Kepala Daerah Dilantik Setelah 13 Maret 2025

"Pemilu dari tahun ke tahun, pengalaman saya, sejak pemilu tahun 1999 sampai dengan tahun 2019. Jadi 20 tahun perjalanan pemilu kita. Saya bersyukur jadi bagian langsung dari proses pemilu 20 tahun terakhir. Itu memang perkembangan luar biasa," ujar Arief di kantornya, Jakarta Pusat, Selasa, 20 Agustus 2019.

Arief menjelaskan, pada 2004 sudah terjadi perang dan serangan yang digunakan terhadap teknologi yang digunakan lembaga negara khususnya KPU atau penyelenggara pemilu. Web KPU juga mendapat perlakuan yang sama.

Pilpres 2024 Dinilai Mulai Geser Demokrasi RI Jadi Otokrasi Elektoral yang Mengkhawatirkan

"Saya ingat betul web KPU, nama-nama partai itu berubah menjadi nama-nama buah, tapi enggak ada orang yang mencaci maki. Artinya partai A, partai B, partai semangka, partai pisang," katanya.

Arief memaparkan, serangan berlangsung ke tahun 2009, tidak sekadar tampilan, tapi mulai menyasar sistem. "Lalu Pemilu 2009, udah mulai nyerang itu bukan sekedar menyerang tampilan-tampilan, tapi sistem diserang sehingga tidak bisa terkirim," kata Arief.

Sibuk Politik, 2024 Jadi Tahun yang Penuh Guncangan bagi Krisdayanti

Masih kata Arief, memasuki tahun 2014, yang diserang tidak menyasar institusi, melainkan mulai individu penyelenggara pemilu. Email anggota KPU diserang berkali-kali.

"Tahun 2014 itu, serangan tidak lagi ke institusi, tapi sudah mulai menyerang individunya. Kalau dulu serang hasil di web, tapi 2014 itu email anggota diserang, jadi emailnya anggota KPU diserang, email saya itu diserang. Diperbaiki diserang lagi, akhirnya udahlah," tutur dia.

Sementara itu, pakar komunikasi politik, Henry Subiakto, mengatakan, selama proses pemilu 2019, memang hoax menjamur di Indonesia. Yang lebih banyak terkena hoax mayoritas adalah orang perkotaan.

"Kenapa di kota? Karena di kota ekonominya baik dan lebih banyak menggunakan media sosial," ujar Henry.

Celakanya, kata Henry, mahasiswa juga ikut terpapar hoax. Muncul akun-akun palsu yang menyerang pada tokoh.

"Masyarakat yang berpendidikan lebih banyak menjadi serangan hoax dan terkena hoax. Banyak akun palsu menuduh kandidat presiden," tuturnya.

Bahkan, Henry mencontohkan, di Amerika saja, Barack Obama juga menjadi korban fitnah dari hoax. Ada foto yang diedit, Obama memegang pantat dari istri Donald Trump, padahal hanya memegang pinggang.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya