Polisi Kenapa Biarkan Massa Sumpah Serapahi Mahasiswa Papua
- VIVAnews/Banjir Ambarita
VIVA – Amnesty International Indonesia menanggapi tindakan represif dan diskriminatif oleh aparat Kepolisian dan beberapa kelompok massa terhadap sejumlah mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur, ditambah dengan insiden kericuhan di Manokwari, Papua.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid mengatakan, hal ini menjadi bukti rendahnya penghormatan terhadap HAM Papua, sekaligus memburuknya situasi HAM di Papua.
“Ini adalah sinyal rendahnya penghormatan terhadap hak asasi manusia Papua, sekaligus sinyal memburuknya situasi HAM Papua. Kejadian di Surabaya, memperlihatkan bagaimana aparat negara dan kelompok non-negara bersama-sama melakukan tindakan-tindakan represif dan diskriminatif bernuansa kebencian rasial dan permusuhan terhadap mahasiswa Papua," kata Usman lewat keterangan tertulis pada Senin malam, 19 Agustus 2019.
Usman menambahkan, polisi pun membiarkan lontaran kata-kata bernada penghinaan rasial seperti menyebut orang Papua sebagai monyet, anjing, dan babi. Seharusnya, Kepolisian mencegah tindakan persekusi yang dilakukan oleh massa dan menindak tegas pelaku.
"Ironisnya, aparat justru ikut mengepung asrama dan melakukan penggunaan kekuatan yang berlebihan dengan menembakkan gas air mata, mendobrak pintu gerbang asrama dan melakukan penangkapan sewenang-wenang. Inilah yang kemudian mendorong lahirnya protes dan kemarahan orang Papua di Manokwari dan juga wilayah lainnya," ucapnya.
“Kami menyesalkan adanya tindakan pembakaran gedung DPRD di Manokwari dan meminta semua pihak yang ingin melakukan protes terkait insiden Surabaya, untuk menyampaikannya secara damai. Kami meminta aparat keamanan di Manokwari untuk menggunakan pendekatan persuasif dan juga tidak menggunakan kekuatan secara tidak proporsional seperti yang terjadi di Surabaya," kata dia.
Dijelaskan Usman, pihak-pihak yang melakukan kekerasan harus diseret ke meja hijau dan diadili sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Tindakan Kepolisian di asrama mahasiswa Papua, yang berlokasi di Surabaya, melanggar aturan internal mereka sendiri, misalnya Peraturan Kapolri Nomor 1/2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam tindakan Kepolisian. Apalagi, mengingat mahasiswa dalam asrama tidak melakukan aksi perlawanan atau menyerang aparat yang membahayakan jiwa petugas atau orang lain.
"Kasus seperti ini bukan pertama kali terjadi di Surabaya. Kejadian serupa juga terjadi di tempat-tempat tinggal bersama mahasiswa Papua di Malang, Jawa Timur hingga Semarang, Jawa Tengah. Sayangnya, tidak ada tindakan dari aparat keamanan dan pemerintah setempat untuk menghentikannya," paparnya.
Lebih lanjut, disampaikan Usman, Amnesty International Indonesia mengkhawatirkan penggunaan gas air mata kepada para mahasiswa Papua yang berada di dalam ruangan. Dari berbagai temuan Amnesty International di negara lain, penggunaan gas air mata kepada kerumunan orang dalam ruangan tertutup bisa berakibat fatal.
"Penggunaan kekuatan polisi dengan gas air mata ini bersifat berlebihan dan tidak diperlukan (excessive and unnecessary use of force), karena ditujukan secara tanpa pandang bulu terhadap semua orang yang ada di dalamnya. Aparat penegak hukum hanya boleh melakukan tindakan kepada individu yang bermasalah secara hukum," ujarnya.
Usman menegaskan, Amnesty International percaya tindakan-tindakan kekerasan dan kebencian rasial terhadap orang-orang Papua tersebut juga dapat berkontribusi pada eskalasi lingkaran kekerasan, termasuk terhadap aparat keamanan sendiri maupun warga yang lainnya di Papua.
"Tindakan hukum terhadap mereka yang jelas-jelas melakukan penghinaan rasial dan aparat yang melakukan tindakan sewenang-wenang kepada mahasiswa Papua di Surabaya, penting untuk memastikan insiden tersebut tidak digunakan sebagai dalih untuk melakukan aksi kekerasan di tempat lain," kata dia.