Rektorat Sensor Pers Kampus UGM, Majalah Balairung Tak Terima

Wisdom Park UGM
Sumber :
  • U-Report

VIVA – Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa (BPPM) Balairung mendapat intervensi dari Rektorat Universitas Gadjah Mada (UGM) dalam proses jurnalistik yang dilakukannya. Pihak Rektorat UGM diduga melakukan penyensoran isi majalah terbitan Balairung.

Gantikan Ganjar Pranowo, Basuki Hadimuljono Jadi Ketum PP Kagama

Lewat website yang dikelolanya yaitu www.balairungpress.com, redaksi Balairung menuliskan sebuah editorial 'Perihal Keterlambatan Majalah Balairung edisi 55' yang diunggah pada 18 Agustus 2019.

“Kami berusaha sebaik mungkin untuk menyajikan produk jurnalistik yang berkualitas dan berkiblat pada kaidah serta kode etik jurnalistik, salah satunya adalah independensi. Sayangnya, majalah yang beredar saat ini bukan merupakan versi asli atau sebenar-benarnya, melainkan hasil penyensoran dan intervensi pihak kampus,” sebagaimana dikutip dari editorial Balairung.

Mantan Rektor UGM Ichlasul Amar Meninggal Dunia

Dalam editorial itu diceritakan pula dampak dari penyensoran, majalah Balairung harus diubah kontennya. Perubahan ini di antaranya melingkupi judul, dua laporan utama. Selain itu halaman pertama dan rubrik “Gores” juga ikut diubah karena tudingan terlalu provokatif.

Sebelum direvisi, Balairung menampilkan ucapan selamat datang pada mahasiswa baru UGM. Balairung menuliskan “Selamat datang mahasiswa biasa di kampus yang biasa-biasa saja”. Dalam ucapan selamat datang itu, Balairung menggunakan latar belakang foto demonstrasi terkait kasus pelecehan seksual terhadap Agni, mahasiswi UGM saat KKN. Karena keberatan pihak rektorat UGM, latar belakang ucapan selamat datang itu pun diubah.

Mantan Ketua Dewan Pers dan Rektor UGM, Ichlasul Amal Meninggal Dunia

Pada rubrik ‘Gores’, Balairung menampilkan ilustrasi masyarakat terdampak penggusuran dan berhadapan dengan pihak berkerah putih yang menghendaki penggusuran demi kelangsungan perputaran modal. Ilustrasi di dalam majalah itu terdapat gambar simbolis yang melambangkan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. 

 “Pada majalah hasil revisi, kami telah menghapus gambar simbolis terkait,” penjelasan Balairung di dalam editorial itu.

Dalam editorial itu pula diceritakan pihak Balairung melakukan dua kali proses negosiasi dengan rektorat UGM. Negosiasi tak mencapai kesepakatan. Balairung harus cetak ulang 4.000 eksemplar majalah yang seharusnya sudah didistribusikan. Kendati berat, mereka harus mengubah isi dan konten demi kelangsungan penerbitan, baik secara administratif maupun sumber daya manusia.

“Inilah yang menyebabkan Majalah BALAIRUNG mengalami keterlambatan terbit. Pada akhirnya, mau tidak mau, kami merasa perlu untuk memenuhi tuntutan pihak kampus agar dapat menjalankan tujuan utama kami,” lanjut isi editorial Balairung.

Balairung dalam editorialnya juga menuding rektorat UGM telah melakukan pelanggaran Undang Undang Nomor 40 tahun 1999. Di dalam pasal 1 undang-undang itu, berbunyi “Penyensoran adalah penghapusan secara paksa sebagian atau seluruh materi informasi yang akan diterbitkan atau disiarkan, atau tindakan teguran atau peringatan yang bersifat mengancam dari pihak manapun, dan atau kewajiban melapor, serta memperoleh izin dari pihak berwajib, dalam pelaksanaan kegiatan jurnalistik.”

Sementara itu pihak Balairung hingga saat ini belum berkenan untuk diwawancarai. Namun Balairung mempersilakan untuk mengutip isi editorial mereka sebagai bagian dari jawaban atas penyebab penyensoran tersebut.

Sementara itu Kepala Humas dan Protokoler UGM, Iva Ariani mengatakan saat ini UGM masih mengaku masih memelajari masalah terkait penyensoran Balairung  itu.

"Menurut saya ini masalah komunikasi saja," kata Iva.
 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya