Asal Mula Nama Indonesia
- ANTARA FOTO/Bayu Pratama S
VIVA – Setiap perayaan hari ulang tahun Republik Indonesia pada 17 Agustus, bendera merah putih sebagai simbol negara berkibar di mana-mana. Berbagai diskusi maupun talkshow tentang sejarah nasional kembali mendapat perhatian besar masyarakat.
Tidak saja mengulas kembali bagaimana negeri ini meraih kemerdekaannya, namun juga bagaimana negara kepulauan dari Sabang sampai Merauke dan dari Miangas sampai Rote ini bernama Indonesia.
Sejumlah literatur sejarah telah memuat asal-mula penamaaan Indonesia ini. Salah satunya karya dari Harry Kawilarang, pemerhati sejarah yang menulis “Mengindonesiakan Indonesia”, yaitu serial buku yang terdiri dari 12 volume yang mengulas berbagai perjuangan mewujudkan kemerdekaan Indonesia selama 1900-1958.
Dalam volume pertama dari serial itu, Harry turut menyoroti perihal “Bermulanya istilah Indonesia sebagai Sebuah Bangsa.” Bab di buku ini menunjukkan bahwa penamaan negara Indonesia ini ternyata memiliki sejarah yang panjang, jauh sebelum Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 dan jauh pula sebelum para pemuda dari berbagai suku dan pulau mengikrarkan “Satu Tanah Air, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa, yaitu Indonesia” dalam bentuk “Sumpah Pemuda” pada 28 Oktober 1928.
Dalam buku itu memang ditulis bahwa nama Indonesia pertama kali muncul dari tulisan seorang ahli etnologi asal Inggris, George Samuel Windsor Earl, dan ilmuwan Skotlandia James Richardson Logan, dalam artikel mereka di suatu jurnal ilmiah pada 1850.
Namun, munculnya nama Indonesia itu juga berasal dari penelaahan yang panjang dan, tentu saja, kata Indonesia tidak bisa menjadi nama negara bila tidak dipopulerkan oleh kaum intelektual muda maupun mahasiswa asal Indonesia itu sendiri yang akhirnya dikenal sebagai tokoh-tokoh pendiri bangsa.
Beragam Nama
Dalam bukunya, Harry menuturkan bahwa, jauh sebelum bangsa-bangsa Barat masuk, gugusan nusantara dikenal dengan beragam nama. Dalam literatur kuno, orang China menyebutnya Nan-hai, yang berarti kepulauan laut selatan. Lalu catatan kuno bangsa India menamai Dwipantara atau Kepulauan Tanah Seberang, sedangkan bangsa Arab menyebutnya Jaza’ir al-Jauri atau Kepulauan Jawa.
Lalu saat koloni Eropa masuk, nama kepualauan ini pun lain lagi, yaitu Kepulauan Hindia atau Hindia Timur. Ini tak lepas dari anggapan bangsa-bangsa Barat saat itu, bahwa Asia hanya terdiri dari Bangsa Arab, Persia, India dan Cina. Bagi orang-orang Eropa ketika itu, wilayah yang terbentang luas dari Persia (Iran) hingga Cina (Tiongkok) dinamai Hindia. Maka karena berada di wilayah timur, maka wilayah ini dinamai Hindia Timur (East Indies).
Ada pula yang menyebutnya Kepulauan Melayu. Lalu, saat Belanda menjajah kepulauan ini, namanya lebih dikenal dengan sebutan Hindia Belanda. Ketika pasukan pendudukan Jepang berkuasa selama 1942-1945, nama yang dipakai adalah To-Indo.
Semasa pendudukan Belanda, sejumlah kalangan pun mencarikan nama yang lebih tepat ketimbang Hindia Belanda. Eduard Douwes Dekker (1820-1887), pria asal Belanda yang dikenal dengan nama Multatuli dan terkenal dengan novel satir berjudul Max Havelaar, yang mengecam kesewenang-wenangan pemerintahannya atas rakyat pribumi di Hindia Belanda, sempat mengusulkan nama baru.
Bagi Multatuli, wilayah kepulauan ini lebih tepat dinamai Insulinde. Artinya, Kepulauan Hindia. Namun, nama ini kurang populer.
Cucu adik Multatuli itu yang justru membuat momentum baru beberapa puluh tahun kemudian. Dia adalah Ernest Francois Eugene Douwes Dekker, pria keturunan Belanda namun lahir di Pasuruan pada 1879 dan wafat di Bandung pada 1950, yang lebih dikenal dengan nama Danudirja Setiabudi.
Ki Hadjar Dewantara, Ernest Douwes Dekker, dan Tjipto Mangoenkoesoemo (Tiga Serangkai) tahun 1914 saat diasingkan di Negeri Belanda (Sumber: Pranata (1959) Ki Hadjar Dewantara : Perintis perdjuangan kemerdekaan Indonesia, Daerah Khusus Ibukota Jakarta: Balai Pustaka, p. 40)
Wartawan dan aktivis politik itu belakangan dikenal pula sebagai pejuang kemerdekaan dan pahlawan nasional. Setiabudi dikenal sebagai Tiga Serangkai - yang bersama Tjipto Mangoenkoesoemo dan Ki Hadjar Dewantara mendirikan Indische Partij (Partai Hindia). Itu adalah partai politik pertama di Hindia Belanda, yang didirikan pada 25 Desember 1912.
Dalam bukunya, Harry mengungkapkan bahwa pada tahun 1920-an Setiabudi mempopulerkan nama untuk Tanah Air kita, yang tidak mengandung unsur kata “India” atau Hindia, yaitu Nusantara. Ini adalah istilah yang telah lama ada, namun tenggelam berabad-abad lamanya.
Setiabudi mengambil nama itu dari Pararaton. Itu naskah kuno zaman Kerajaan Majapahit yang ditemukan di Bali pada abad ke-19, lalu diterjemahkan oleh JLA Brandes dan diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom pada 1920. Sejak digaungkan kembai oleh Setiabudi itu lah nama nusantara terus menggema hingga kini selain Indonesia untuk menyebut negeri ini.
Lalu bagaimana nama Indonesia itu muncul?
Dalam buku “Mengindonesiakan Indonesia”, Harry menyebut bahwa ini tak lepas dari peran seorang ahli etnologi asal Inggris, George Samuel Windsor Earl. Saat menulis artikel berjudul “On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian, Malayu-Polinesian Nation” untuk majalah ilmiah tahunan di Singapura, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA), pada 1850 Earl mengajukan dua pilihan nama untuk menyebut Hindia Belanda, Indunesia atau Melayunesia.
Earl mulanya merujuk “Indunesians” yang menerangkan penduduk kepulauan nusantara, termasuk ciri etnografis yang merupakan bagian dari rumpun Polinesia yang berkulit sawo matang. Earl lalu mempermasalahkan bahwa penduduk di gugusan kepulauan nusantara ini tidak dapat disamakan dengan penduduk pulay Ceylon, yang kini disebut Sri Lanka, Maldives atau Laccadives di Samudera Hindia dari ras India.
Namun, James Richardson Logan, teman Earl yang juga pengelola jurnal JIAEA, dalam artikelnya di majalah itu yang berjudul “The Ethnology of the Indian Archipelago” pada tahun yang sama mengubah nama Indunesia dengan mengganti huruf u dengan huruf o. Alasannya, agar pengucapannya lebih baik, sehingga berubah menjadi Indonesia.
Sejak itu lahir lah istilah Indonesia. Bagi Logan, itu adalah nama yang tepat dalam menyebut Kepulauan Hindia Timur itu, karena sebagian besar penghuninya adalah dari ras Melayu, yang kemudian berbaur dengan ras Polinesia.
Istilah Indonesia kemudian dipakai para cendekiawan lainnya. Sebut saja antropolog Prancis, E.T. Hamy pada 1877 dan antropolog Inggris A.H. Keane pada 1880. Etnolog Jerman, Adolf Bastian, menulis buku berjudul “Indonesian oder die Inseln des Malayrischen Archipel (terbitan 1884-94). Namun istilah Indonesia saat itu hanya populer di kalangan ilmuwan Barat untuk menjelaskan geografi, antropologi, dan etnologi bagi masyarakat kepulauan yang terbentang di antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik serta Benua Asia dan Australia itu.
Bagaimana kata Indonesia Dipopulerkan?
Kata Indonesia baru mulai dipopulerkan secara politis, dalam arti “Hindia” yang harus merdeka dari penjajahan, oleh sejumlah tokoh nasional selama 1903-1913. Mereka, di antaranya, Abdul Rivai, Kartini, Abdoel Moeis, Ki Hadjar Dewantara, Setiabudi, Tjipto Mangoenkoesoemo, Sam Ratulangi, dan lain-lain. Lalu dilanjutkan oleh para mahasiswa dan pemuda baik yang ada di nusantara maupun saat sedang belajar di Belanda.
Nama Indonesia mulai santer sebagai identitas dengan bobot politis yang sama dengan Hindia di kalangan mahasiswa asal nusantara yang belajar di Kota Leiden, Belanda, semasa Perang Dunia Pertama sekitar tahun 1917. Dalam bukunya, Harry menyebut bahwa Sam Ratulangi semasa menjadi aktivis dalam kelompok peduli Indonesia di Belanda, giat mempopulerkan nama itu Tanah Air.
Salah satu peran Ratulangi adalah saat bersama Roland Tumbelaka mendirikan perusahaan asuransi di Bandung dengan nama “Assurantie Maatschappij Indonesia” pada 1925. Ini adalah contoh pertama yang diketahui dari kata "Indonesia" yang digunakan dalam dokumen resmi, ungkap Mirjam Kunkler dalam bukunya, “Constitutionalism, Islamic Law, and Religious Freedom in Post Independence Indonesia.”
(Sam Ratulangi pada saat akan memberi pidato di Volksraad (1927))
Muhammad Hatta, yang akhirnya dikenal sebagai salah satu Bapak Proklamator RI, saat belajar dan menjadi aktivis mahasiswa di Belanda mengubah nama perhimpunan mahasiswa Indiesche Vereeniging menjadi Perhimpoenan Pelajar Indonesia pada 1922. Majalah organisasi itu yang tadinya bernama Hindia Poetra, berganti jadi Indonesia Merdeka.
Partai Komunis Hindia-Timur, yang didirikan pada 1919, juga ikut ganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1924. Lalu, pada 4 Juli 1927, berdiri pula Perserikatan Nasional Indonesia (PNI), dan menjadi Partai Nasional Indonesia setahun kemudian, yang salah satu pendirinya adalah Ir. Soekarno, Proklamator dan Presiden pertama Republik Indonesia.
Sejak saat itu penyebutan Indonesia terus populer dan berhasil memupus nama Hindia Belanda untuk menyebut nama bangsa dari sekumpulan suku dan budaya di nusantara ini hingga menjadi nama negara kesatuan berbentuk republik sejak diproklamasikan Bung Karno dan Bung Hatta pada 17 Agustus 1945.