Malam Dramatis Menyusun Naskah Proklamasi Kemerdekaan RI
- Ist
VIVA – Usianya sudah hampir 100 tahun, namun bangunan di Jalan Imam Bonjol Nomor 1 di kawasan Menteng, Jakarta Pusat itu masih berdiri kokoh dan tetap terawat baik. Di halamannya terpasang penanda "Museum Perumusan Naskah Proklamasi". Setiap tahun, ini tempat yang favorit dikunjungi masyarakat jelang dan selama perayaan HUT Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus
Tapi ini bukan sekadar museum. Seluas 1.138 meter persegi (m2) di atas lahan 3.914 m2, rumah megah bergaya art deco bertingkat dua karya arsitek Belanda itu menjadi saksi bisu dibuatnya naskah Proklamasi Kemerdekaan oleh para pendiri Republik Indonesia. Saat itu, semasa pendudukan Jepang, rumah ini dihuni Laksamana Muda Tadashi Maeda.
Walau menjabat sebagai Kepala Kantor Penghubung Angkatan Laut dengan Angkatan Darat Jepang, Maeda menaruh simpati akan perjuangan tokoh muda Indonesia yang ingin segera memerdekakan bangsa ini. Itu lah sebabnya Maeda menyediakan rumahnya untuk menjadi tempat membuat naskah proklamasi kemerdekaan RI.
Sebenarnya, langkah untuk segera menyatakan kemerdekaan Indonesia ini tidak mendapat restu dari rezim pendudukan Jepang - yang setelah menyerah di akhir Perang Dunia Kedua berkomitmen kepada Pasukan Sekutu untuk berlakukan status quo atas wilayah-wilayah yang masih "dikolonisasi" negara-negara Sekutu, termasuk Indonesia yang sebelum Jepang menjajah dikuasai Belanda.
Sikap "mendua" rezim kolonial Jepang soal persiapan kemerdekaan RI ini terus mengundang perdebatan menarik di kalangan cendekiawan dan pemerhati sejarah hingga kini. Namun, yang jelas, Soekarno, Hatta, dan para tokoh pro-kemerdekaan lainnya diterima Maeda untuk berkumpul di rumahnya untuk menyusun rencana mereka.
Laksamana Muda Tadashi Maeda
Mereka akhirnya berkumpul sepanjang Malam Jumat, 16 Agustus 1945. Ini merupakan saat-saat dramatis, menegangkan sekaligus menentukan bagi lahirnya negara baru, Indonesia. Dan proses ini terjadi jam demi jam di Rumah Maeda. Setidaknya, ada empat ruang penting di Rumah Maeda dalam mempersiapkan proklamasi kemerdekaan.
Pertama, terjadi di ruang tamu, yang disebut sebagai “Ruang Pertemuan.” Di ruang itu lah, pada Kamis malam Bung Karno, Bung Hatta, dan Ahmad Subardjo - yang belakangan menjadi Menteri Luar Negeri RI yang pertama - diterima Maeda di kediamannya sekitar pukul 22.00 WIB. Saat itu mereka baru pulang dari Rengasdengklok usai "diculik" oleh para pemuda yang menginginkan kemerdekaan Indonesia segera dicanangkan, mumpung terjadi vacuum of power atau "kekosongan kekuasaan".
Jepang memang masih memerintah Indonesia, tapi takluk kepada Sekutu di Perang Dunia Kedua sehingga harus tunduk kepada mereka, sehingga tidak punya kewenangan apapun terkait wilayah yang diperintahnya. Ini momen yang tidak boleh disia-siakan untuk memerdekakan Indonesia.
Berangkat dari situasi itulah, mereka menjelaskan kepada Maeda tentang bakal berlangsungnya pertemuan untuk persiapan menjelang Indonesia Merdeka. Namun Maeda juga punya pesan penting kepada mereka.
Maeda memberitahukan pesan Gunseikan - yaitu pemerintah militer Jepang: rombongan yang pulang dari Rengasdengklok harus menemuinya. Bertolak lah mereka dari rumah Maeda ke markas Gunseikan.
Bersama dengan Maeda dan juru bicara Angkatan Darat Jepang, Miyoshi Sunkichiro, mereka berangkat ke markas Gunseikan untuk bertemu dengan Mayor Jenderal Nishimura Otoshi. Dia menjelaskan bahwa pihak Jepang tidak dapat membantu, karena telah ada kesepakatan dengan pihak sekutu mempertahankan status quo di Indonesia. Itu sebabnya Mayjen Otoshi melarang adanya rapat yang akan dilangsungkan di rumah Maeda.
Tapi, mereka bergeming dan tetap pada tekad pencanangan Indonesia Merdeka harus dipersiapkan sesegera mungkin. Itu sebabnya, Bung Karno, Bung Hatta dan Ahmad Subardjo tiba kembali ke rumah Maeda.
Padahal saat itu jam sudah menunjukkan pukul 02.30 WIB, dini hari 17 Agustus 1945. Mereka menjelaskan kepada tuan rumah bahwa Kemerdekaan Indonesia harus diproklamirkan hari ini juga.
Maeda pun tidak kuasa menolak mereka. Mendukung pun tidak mungkin, karena sudah sudah ada instruksi jelas dari Gunseikan. Satu-satunya tindakan Maeda adalah meninggalkan mereka, naik ke kamar tidurnya di lantai dua.
Dia tinggalkan Bung Karno, Bung Hatta, dan Ahmad Subardjo dan yang lainnya di lantai bawah. Ini momen yang tidak disia-siakan.
Jam menunjukkan pukul 3 dini hari. Mereka bertiga langsung menuju ruang makan, duduk mengitari meja makan yang panjang. Ini menjadi ruangan kedua yang penting, yang oleh pihak museum dinamakan "Ruang Perumusan."
Naskah Proklamasi
Bung Karno lantas mulai mempersiapkan rancangan naskah proklamasi dengan tulisan tangan di atas kertas. Bung Hatta dan Subarjo duduk mengapit Bung Karno sambil menyumbangkan gagasan masing-masing secara lisan.
Draft di secarik kertas sudah mantap dituntaskan. Judulnya, "Proklamasi." Mereka bertiga sepakat kalimat awal yang dihasilkan adalah: "Kami Bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia."
Kemudian Bung Hatta menambahkan kalimat kedua, yang menyatakan soal peralihan kekuasaan. Akhirnya selesai lah konsep naskah proklamasi dengan beberapa coretan sebagai tanda pertukaran pendapat dalam merumuskannya.
Setelah selesai, naskah tersebut dibawa ke serambi muka untuk dibacakan di hadapan para tokoh yang telah menunggu. Ada sekitar 30 tokoh yang hadir, dari berbagai provinsi. Mereka, di antaranya, Ki Hadjar Dewantara, I Goesti Ketut Pudja, Oto Iskandar Dinata, Johanes Latoeharhary, Andi Pangerang, hingga GSSJ Ratulangi.
Konsep naskah proklamasi lalu dibawa ke serambi muka, yang sudah ramai oleh para hadirin. Ruangan itu lah yang kini dinamai pihak museum sebagai "Ruang Pengesahan". Di sana, Bung Karno membacakan rumusan pernyataan kemerdekaan yang telah dibuat itu secara perlahan-lahan dan berulang-ulang.
Lalu, dia bertanya kepada para hadirin, setuju atau tidak dengan rumusan yang baru saja dibacakan. Bung Hatta pernah mengungkapkan bahwa pertanyaan Bung Karno itu langsung disambut gemuruh para hadirin dengan jawaban, setuju!
Namun, Bung Karno menyahut, "Benar-benar saudara setuju?" Jawaban mereka sama, "Setuju!"
Lalu sempat timbul adu argumen soal siapa yang bakal menandatangani naskah proklamasi itu. Di tengah perdebatan, Soekarni maju.
Dengan suara lantang, dia berkata, "Bukan kita semua yang hadir di sini menandatangani naskah. Cukup dua orang saja yang menandatanganinya atas nama rakyat Indonesia, yaitu Soekarno dan Hatta."
Usul Soekarno itu akhirnya diterima para hadirin dengan tepuk tangan yang meriah. Proses yang tak kalah pentingnya pun berlanjut.
Usai dibacakan dan disetujui para hadirin, Bung Karno lalu meminta Sayuti Melik untuk mengetik naskah proklamasi itu. Sayuti Melik tidak sediri, tapi ditemani B.M. Diah.
Berdua mereka fokus menatap secarik kertas yang sedang diketuk Sayuti dengan hati-hati. Letaknya di suatu ruangan yang kecil di lantai bawah sebelah dapur. Ruangan itu kini dinamai "Ruang Pengetikan."
Tidak sekadar mengetik naskah Proklamasi, mereka berdua pun menyuntingnya menjadi lebih jelas dan padat. Itu sebabnya, saat mengetik, Sayuti tanpa ragu mengubah tiga kata.
Kata "tempoh" diubah jadi "tempo," lalu kata "wakil-wakil Bangsa Indonesia" berubah menjadi "Atas Nama Bangsa Indonesia." Diubahnya pula penulisan hari, bulan, dan tahun - dari format penanggalan Jepang menjadi penanggalan masehi.
Naskah Proklamasi yang telah diketik itu segera dibawa kembali ke tempat para hadiri berkumpul untuk ditandatangani. Cukup oleh dua nama, yaitu Bunga Karno dan Bung Hatta - yang kelak dikenal sebagai dua Tokoh Proklamator sekaligus Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia yang baru merdeka.
Di atas piano yang terdapat di bawah tangga rumah Maeda itu lah Naskah Proklamasi itu mereka tanda tangani sebelum dibacakan beberapa jam kemudian pada pagi hari, pada 17 Agustus 1945, di rumah Bung Karno di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta.