Gayus Nilai Presiden Jokowi Tak Langgar Aturan dan Etika Soal UU KPK

Gayus Lumbuun
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma

VIVA - Mantan Hakim Agung Gayus Lumbuun turut menyoroti fakta Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi hasil revisi yang tidak ditandatangani Presiden Jokowi. Gayus menilai sikap Jokowi tersebut tidak ada yang salah tapi justru positif karena menghargai hubungan antara pemerintah dan DPR.

Peluang Jokowi Gabung ke Partai Selepas PDIP: Belum Konkrit, Belum Ada Tawaran Posisi Strategis

"Sesuai dengan ketentuan pasal 20 ayat (5) UUD 1945 yang menegaskan bahwa RUU tetap sah tanpa tanda tangan presiden dalam waktu 30 hari sejak RUU disetujui," kata Gayus kepada VIVA, Senin, 6 Juli 2020.

Baca juga: KPK Tetapkan Bupati Kutai Timur dan Istrinya Tersangka Suap

Jokowi Ajak 2 Cucunya Nonton Laga Timnas Indonesia Vs Filipina di Manahan

Menurut Gayus, langkah Jokowi itu merupakan bentuk pertanggungjawaban presiden kepada rakyat yang telah memilihnya secara langsung di mana pada saat itu sedang terjadi pergolakan yang kuat antara pro dan kontra terhadap pengesahan revisi UU KPK tersebut.

Selain itu, hal itu merupakan bentuk etika yang dilakukan oleh presiden untuk mengakomodasi kehendak rakyat termasuk presiden tidak menerbitkan Perppu untuk membatalkan UU KPK hasil revisi walaupun desakan muncul dari berbagai kalangan termasuk dari tokoh agama dan budayawan seperti Romo Magnis Suseno.

Penjelasan OIKN soal Heboh Aguan Investasi di IKN Demi Selamatkan Jokowi

"Menjadi ukuran dalam praktik etika ketatanegaraan dengan tidak menandatangani RUU tersebut merupakan wujud tanggung jawab seorang presiden sebagai negarawan," katanya.

Oleh karena itu, untuk ke depan jika ada persoalan serupa, Gayus memberikan dua rekomendasi atau solusi. Pertama, terhadap RUU dilakukan judicial preview yaitu diajukan lebih dahulu ke Mahkamah Konstitusi untuk dikaji apakah RUU tidak bertentangan dengan UUD 1945 sebagai mana yang dilakukan di negara-negara lain salah satunya seperti Perancis.

Kedua, mempertahankan peraturan yang berlaku saat ini dengan saran agar DPR RI tidak cepat mengajukan pembahasan tingkat II atau rapat paripurna. Sedangkan untuk pemerintah mempertimbangkan situasi masyarakat yang berkembang yang bisa terjadi sehingga pemerintah bisa menolak atau menyetujui RUU menjadi UU.

Sebelumnya, revisi Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sempat menjadi polemik di masyarakat. Namun kemudian, RUU itu sah menjadi UU lewat pengesahan di rapat paripurna DPR pada Selasa, 17 September 2019.

UU KPK hasil revisi itu lalu berlaku setelah 30 hari yaitu pada Kamis, 17 Oktober 2019, meskipun tidak ditandatangani oleh Presiden Jokowi. Dalam sebuah kesempatan, mantan Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan menganggap hal tersebut sebagai anomali karena sudah disetujui DPR dan pemerintah namun tidak ditandatangani presiden.

Bagir yang pernah menjadi Ketua Dewan Pers itu menilai sesuatu yang anomali tidak sesuai dengan asas atau prinsip umum pembentukan undang-undang yang baik. Menurutnya, presiden juga wajib menjelaskan alasan mengenai langkahnya tersebut.

Baginya, keputusan presiden itu tidak sesuai dengan praktik etika ketatanegaraan karena kepala negara di mana pun selalu mengesahkan UU yang sudah disepakati DPR.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya