Kasus Dugaaan Kekerasan Seks UII Yogyakarta, 30 Korban Siap Perkarakan
- bbc
Lebih jauh, R mengatakan bahwa kampus perlu membuat regulasi tentang pelecehan seksual di lingkungan kampus.
"Khawatirnya ketika ada korban yang lapor, tapi kampus tidak menanganinya dengan serius, kan sedih bagi korbannya," kata dia.
Dia berharap, kasus pelecehan ini bisa menjadi titik balik bagi kampus untuk membuat aturan pencegahan dan penanganan pelecehan seksual di kampus.
Regulasi antikekerasan seksual di kampus sedang digodok
Ketua Tim Pencari Fakta UII Yogyakarta, Syarif Nurhidayat, mengatakan bahwa aturan "yang spesifik" tentang pelecehan seksual sedang digodok.
"Pada dasarnya di UII secara internal sudah ada aturan yang mengcover adanya tindakan tersebut dan kita kalau ada peristiwa [pelecehan seksual] bisa menanganinya dengan norma-norma yang ada, tapi dalam rangka untuk memperkuat, sekarang dalam proses penyusunan peraturan yang sifatnya spesifik berkaitan dengan pelecehan dan kekerasan seksual, atau yang kita sebut dengan ketentuan asusila," ujar Syarif.
Akan tetapi, Paul dari UII Bergerak menegaskan mahasiswa perlu dilibatkan dalam perumusan kebijakan itu agar tercipta kebijakan yang pro terhadap penyintas.
Dia menegaskan UII bergerak akan terus menekan kampus untuk transparansi atas tim pencari fakta dan pelibatan mahasiwa dalam pembuatan regulasi.
"Karena pengalaman di UGM regulasi yang dibuat dipangkas habis-habisan oleh pihak rektorat yang tidak berpihak sama sekali kepada korban dan kita nggak tahu perkembangannya sampai sekarang ini seperti apa," kata dia.
Seperti diberitakan, kekerasan seksual yang dialami salah satu mahasiwa Universitas Gadjah Mada pada 2017 silam telah membuat rektorat UGM membuat regulasi anti pelecehan seksual di kampus.
Sayangnya, ketika disahkan, rumusan regulasi kekerasan seksual setebal 21 halaman yang terdiri dari 11 bab dan 36 pasal, dipangkas hanya menjadi enam lembar dengan 18 pasal. Pasal-pasal yang memihak penyintas dihapus sehingga regulasi itu justru memihak pelaku kekerasan seksual.
Maraknya kekerasan seksual di kampus yang terus berulang, menuai desakan bagi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk membuat regulasi pencegahan kekerasan seksual di kampus sehingga kampus menjadi tempat yang aman bagi mahasiswa.
Plt Dirjen Dikti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyebut akan membentuk tim perumus aturan tersebut, bersamaan dengan regulasi penanggulangan radikalisme dan perundungan di kampus.
Sebelumnya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim menegaskan "tidak ada ruang abu-abu" bagi pelaku kekerasan seksual, seraya menambahkan pelaku yang bersalah melakukan kekerasan seksual di kampus, harus segera dikeluarkan.
"Bagaimana pemerintah pusat bisa memberikan payung hukum untuk melindungi anak-anak ini, itu suatu hal yang kami kaji," ujar Nadiem Makarim.
"Kami belum menentukan instrumennya mana. Yang paling penting, adalah hasil akhirnya. Harus kita temuin instrumen yang hasil akhirnya bisa benar-benar melindungi, untuk mencegah itu terjadi dan juga memastikan ada hukuman atau keadilan bagi yang melakukan," cetusnya.