Pancasila Berpotensi Jadi Alat Gebuk Pemerintah Bungkam Lawan Politik

Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun saat berkunjung ke kantor VIVA di Jakarta
Sumber :
  • VIVA/Dhana Kencana

VIVA – Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun  menilai, dengan menjadikan Pancasila sebagai Undang-undang, berpotensi menjadi alat gebuk pemerintah untuk membungkam lawan-lawan politiknya. Hal ini diutarakan Refly merespons DPR yang tengah membahas Rancangan Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP).

Dari Sungai hingga Laut, Dampak Polusi Plastik pada Ekosistem Perairan

"Pancasila yang seharusnya menjadi alat pemersatu bangsa, akan menjadi alat pemecah belah rakyat Indonesia," kata Refly dalam diskusi virtual yang Pengurus Pusat Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia (KBPII), kemarin.

Refly menjelaskan, mereka yang mendukung pemerintah dianggap sebagai Pancasilais, sedangkan mereka yang mengkritik pemerintah diposisikan sebagai anti Pancasila, tidak Pancasilais.

Pengamat Ingatkan Pemerintah Harus Antisipasi Penyebaran Paham Khilafah saat Pilkada

"Padahal yang harus diwaspadai adalah mereka para koruptor sebagai tidak Pancasilais tapi berlindung di balik kekuasaan yang mengaku paling Pancasilais,” ungkap Refly.

Menurut Refly, saat ini masyarakat tidak butuh atau tidak perlu dengan RUU HIP. Alasannya karena dalam RUU HIP, terjadi reduksi dan degradasi makna Pancasila hanya menjadi ideologi dan dasar negara.

Isu Kelompok Rentan Mesti Bisa Dipertimbangkan Cagub dalam Programnya Jika Menang Pilkada

"Padahal Pancasila memilik fungsi dan peran yang banyak, di antaranya sebagai falsafah pandangan hidup bangsa, sebagai filter terhadap nilai budaya asing yang tidak sesuai dengan budaya bangsa," paparnya.

Selain itu, Refly menjabarkan, nilai-nilai Pancasila sudah hidup dan berkembang dalam kehidupan bangsa Indonesai ratusan bahkan ribuan tahun sebelumnya, pada masa kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Majapahit.

Refly menambahkan persoalan utama pengamalan Pancasila bukan pada masyarakat tapi pada negara. Karena amanah pembukaan UUD 1945 tentang tujuan bernegara itu seharusnya tanggung jawab negara (eksekutif) bukan rakyat.

"Jadi untuk mewujudkan nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi dan kerakyatan dan keadilan sosial, maka itu kewajiban negara untuk memenuhi dan melaksanakan perintah konsitusi. Kewajiban warga negara adalah taat dan patuh terhadap hukum," ujar Eks Komisaris Utama Pelindo I tersebut.

Sementara itu, Ketua Umum PP KBPII, Nasrullah Larada, menegaskan bahwa RUU HIP ini menimbulkan pro kontra di masyarakat. Salah satunya adalah tidak dimasukkannya TAP MPRS No XXV Tahun 1966 tentang larangan komunisme di Indonesia.

Menurut Nasrullah, RUU HIP ini diharapkan tidak menimbulkan pertentangan di masyarakat dalam kondisi di mana masyarakat masih diliputi wabah Pandemi Covid 19. Karena jika sebuah RUU menimbulkan pertentangan di masyarakat, maka disitulah muncul banyak kemudharatan.

"KB PII sebagai bagian dari mata rantai Umat Islam, yang memiliki spirit membangun Indonesia jaya, merasa perlu terlibat dan melibatkan dalam merumuskan dan menentukan haluan dasar ideologi negara agar tidak bertentangan dengan kepentingan umat Islam," kata Nasurullah.

Baca juga: Wakil Ketua DPRD Depok Kritik Rekannya 'Manfaatkan' Swab Test Gratis

Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad

DPR Kaji Penundaan Kenaikan PPN Jadi 12 Persen

Wakil Ketua (Waka) DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad mengatakan pihaknya masih memantau perkembangan rencana pemerintahan yang ingin menaikkan PPN jadi 12 persen pada 2025.

img_title
VIVA.co.id
29 November 2024