Pancasila Berpotensi Jadi Alat Gebuk Pemerintah Bungkam Lawan Politik

Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun saat berkunjung ke kantor VIVA di Jakarta
Sumber :
  • VIVA/Dhana Kencana

VIVA – Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun  menilai, dengan menjadikan Pancasila sebagai Undang-undang, berpotensi menjadi alat gebuk pemerintah untuk membungkam lawan-lawan politiknya. Hal ini diutarakan Refly merespons DPR yang tengah membahas Rancangan Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP).

Uskup Agung Jakarta soal PPN 12%: Kalau Pemerintah Sudah Memutuskan, Ikut di Dalam Arus Itu

"Pancasila yang seharusnya menjadi alat pemersatu bangsa, akan menjadi alat pemecah belah rakyat Indonesia," kata Refly dalam diskusi virtual yang Pengurus Pusat Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia (KBPII), kemarin.

Refly menjelaskan, mereka yang mendukung pemerintah dianggap sebagai Pancasilais, sedangkan mereka yang mengkritik pemerintah diposisikan sebagai anti Pancasila, tidak Pancasilais.

Ini Permintaan Puan ke Pemerintah Jelang Nataru 2025

"Padahal yang harus diwaspadai adalah mereka para koruptor sebagai tidak Pancasilais tapi berlindung di balik kekuasaan yang mengaku paling Pancasilais,” ungkap Refly.

Menurut Refly, saat ini masyarakat tidak butuh atau tidak perlu dengan RUU HIP. Alasannya karena dalam RUU HIP, terjadi reduksi dan degradasi makna Pancasila hanya menjadi ideologi dan dasar negara.

PPN Naik 12%, Ini 3 Solusi untuk Pekerja Hadapi Dampak Kenaikan PPN

"Padahal Pancasila memilik fungsi dan peran yang banyak, di antaranya sebagai falsafah pandangan hidup bangsa, sebagai filter terhadap nilai budaya asing yang tidak sesuai dengan budaya bangsa," paparnya.

Selain itu, Refly menjabarkan, nilai-nilai Pancasila sudah hidup dan berkembang dalam kehidupan bangsa Indonesai ratusan bahkan ribuan tahun sebelumnya, pada masa kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Majapahit.

Refly menambahkan persoalan utama pengamalan Pancasila bukan pada masyarakat tapi pada negara. Karena amanah pembukaan UUD 1945 tentang tujuan bernegara itu seharusnya tanggung jawab negara (eksekutif) bukan rakyat.

"Jadi untuk mewujudkan nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi dan kerakyatan dan keadilan sosial, maka itu kewajiban negara untuk memenuhi dan melaksanakan perintah konsitusi. Kewajiban warga negara adalah taat dan patuh terhadap hukum," ujar Eks Komisaris Utama Pelindo I tersebut.

Sementara itu, Ketua Umum PP KBPII, Nasrullah Larada, menegaskan bahwa RUU HIP ini menimbulkan pro kontra di masyarakat. Salah satunya adalah tidak dimasukkannya TAP MPRS No XXV Tahun 1966 tentang larangan komunisme di Indonesia.

Menurut Nasrullah, RUU HIP ini diharapkan tidak menimbulkan pertentangan di masyarakat dalam kondisi di mana masyarakat masih diliputi wabah Pandemi Covid 19. Karena jika sebuah RUU menimbulkan pertentangan di masyarakat, maka disitulah muncul banyak kemudharatan.

"KB PII sebagai bagian dari mata rantai Umat Islam, yang memiliki spirit membangun Indonesia jaya, merasa perlu terlibat dan melibatkan dalam merumuskan dan menentukan haluan dasar ideologi negara agar tidak bertentangan dengan kepentingan umat Islam," kata Nasurullah.

Baca juga: Wakil Ketua DPRD Depok Kritik Rekannya 'Manfaatkan' Swab Test Gratis

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya