BPK RI Pecat CPNS Disabilitas di Sumbar Padahal Sudah Orientasi

Acara Pawai Menuju Disabilitas Merdeka.
Sumber :
  • VIVA/Muhamad Solihin

VIVA – Alde Maulana, seorang warga Kota Padang penyandang disabiltias dilaporkan diberhentikan sebagai calon pegawai negeri sipil (CPNS) lantaran dianggap tidak sehat secara jasmani dan rohani. Meski kemudian ia dinyatakan lulus menjadi CPNS BPK RI pada 24 Januari 2019 setelah mengikuti mengikuti seleksi CPNS BPK RI melalui formasi disabilitas.

Dalam Sel, Agus Buntung Akan Difasilitasi Shower dan Toilet Duduk yang Dibantu Pendamping

Pada 9 Maret 2020 di kantor BPK Perwakilan Sumbar, Alde Maulana menerima secara langsung salinan Surat Keputusan Nomor:73/K/X-X.3/03/2020 terkait pemberhentian dengan hormat sebagai calon pegawai negeri sipil.

Menurut Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang Wendra Rona Putra, dia sudah dinyatakan lulus dan kemudian diberhentikan. Alde Maulana diduga kuat menjadi korban diskriminasi terhadap penyandang disabilitas dalam pengabaian hak atas pekerjaan yang diduga dilakukan oleh BPK RI.

Polri Dinilai Telah Tangani Kasus Agus Buntung Secara Inklusif dan Partisipatif 

Berdasarkan Surat Keterangan Disabilitas kata Wendra, Alde merupakan penyandang disabilitas dengan raga lapang pandang kedua mata sebelah kiri buta 50 persen, lumpuh layu atau kaku tangan dan kaki sebelah kiri. 

“Namun demikian korban dapat melakukan aktifitas keseharian yang bisa dilakukan seperti berdiri, makan dan minum, mandi dan mencuci,” kata Wendra Rona Putra di Sumbar Jumat 29 Mei 2020.

LBH APIK Sebut Langkah Cepat Usut Kasus Agus Buntung Komitmen Serius Polri Tangani Kekerasan Seksual


Wendra menjelaskan, setelah dinyatakan lulus usai mengikuti seleksi CPNS BPK RI melalui formasi disabilitas, Alde kemudian diwajibkan mengikuti Diklat Orientasi ke-BPK-an di Medan pada bulan Maret 2019. 

Saat itu, korban sempat mengalami sakit berupa kejang-kejang sehingga tidak bisa mengikuti kegiatan selama dua hari. Hal ini terjadi karena dianggap ada aktivitas fisik berlebihan bagi korban berupa apel pagi dan apel sore tanpa adanya dispensasi bagi korban yang merupakan penyandang disabilitas. 

Pascaselesainya Diklat Orientasi, Alde pun kemudian kembali melanjutkan pekerjaannya di BPK Sumbar dan diminta oleh tim BPK Pusat untuk melakukan pemeriksaan di Rumah Sakit Gatot Soebroto Jakarta. 

Namun faktanya, pada 24 Februari 2020, saat BPK Perwakilan Sumatera Barat melaksanakan pelantikan dan pengambilan sumpah dan janji PNS golongan III di Auditorium lantai 4 Gedung A BPK Perwakilan Provinsi Sumatra Barat, Alde sama sekali tidak memperoleh undangan pelantikan dan pengambilan sumpah/janji PNS. 

“Saat itu  BPK perwakilan Sumbar menyampaikan bahwa orang dari BPK RI akan datang untuk menjelaskan soal status korban. Namun, pada 9 Maret 2020, yang bersangkutan malah menerima secara langsung Salinan Surat Keputusan Nomor:73/K/X-X.3/03/2020 bahwa pemberhentian dengan hormat sebagai calon pegawai negeri sipil. Pemberhentian dikarenakan korban dianggap tidak sehat secara jasmani dan rohani,” ujar Wendra.


Atas hal itu ujar Wendra, Alde sendiri telah melaporkan dugaan diskrminasi terhadap dirinya kepada Komnas HAM dan Ombudsman Perwakilan Sumatera Barat. Kasus ini kemudian diambil alih oleh Komnas RI dan Ombudsman RI. 


Meski kasus tersebut saat ini sudah diambil alih oleh Komnas HAM dan Ombudsman perwakilan Sumbar kata Wendra, namun LBH Padang tetap mengawal perkembangan kasus diskriminasi tersebut.

LBH Padang juga menilai bahwa tindakan BPK RI dan BPK Perwakilan Sumbar tergolong pada tindakan diskriminasi terhadap penyandang disabilitas terhadap hak atas pekerjaan. Didalm Pasal 143 huruf b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas berbunyi ”setiap orang dilarang menghalangi-halangi dan atau melarang penyandang disabilitas untuk mendapatkan hak atas pekerjaan”. Bahkan terdapat ancaman pidana bagi siapapun yang menghalang-halangi dan atau melarang disabilitas untuk mendapatkan hak-haknya. 

Kemudian tindakan tim BPK saat dilaksanakannya diklat orientasi tanpa memberikan dispensasi bagi korban untuk tidak mengikuti apel pagi dan sore tergolong pada tindakan diskriminasi. Dalam pelaksanaan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas berasaskan pada perlakuan khusus dan perlindungan lebih sebagaimana dijamin dalam Pasal 2 huruf k Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.


“Kita juga mendesak BPK Republik Indonesia untuk memulihkan hak korban dengan mengangkat dan melantik korban sebagai PNS di BPK Sumatera Barat. Dan, mendesak Komnas HAM RI dan Ombudsman RI mendorong proses penyelesaian konflik di luar pengadilan agar hak-hak korban sesegera mungkin untuk dipulihkan menjadi abdi negara,” tutup Wendra.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya