MK Pertanyakan Status Penggugat Perppu 1/2020 Buatan Jokowi
- VIVA/M Ali Wafa
VIVA – Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) mempertanyakan kapasitas pemohon terhadap gugatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 (Perppu 1/2020), tentang kebijakan keuangan negara dan stabilitas keuangan untuk penanganan pandemi COVID-19, atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional atau stabilitas sistem keuangan terhadap UUD 1945.
Dalam kedudukan hukum (legal standing), pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-undang, yaitu perorangan warga negara Indonesia dan pembayar pajak (tax payer).
Hakim Konstitusi, Wahiduddin Adams mengatakan secara umum maksud yang dikandung dalam permohonan para pemohon sudah dapat dipahami meskipun ada hal perlu penjelasan dan mengikuti rangka sistematika serta Peraturan Mahkamah Konstitusi.
"Kemudian, perlu elaborasi legal standing. Para pemohon mendalilkan sebagai perorangan WNI dan kapasitas bayar pajak atau tax payer," kata Wahiduddin saat sidang yang disiarkan melalui Youtube Mahkamah Konstitusi pada Selasa, 28 April 2020.
Selanjutnya, kata dia, pemohon mengutip bahwa hak konstitusional yang dikemukakan dalam angka 9 bagian kedudukan hukum. Menurut dia, perlu diperjelas kaitan kapasitas pemohon sebagai pembayar pajak dengan hak-hak konstitusional tersebut.
"Ini perlu diperjelas setidaknya walau ada putusan, tapi karena ragam karakteristik tiap-tiap perkara tidak dapat begitu saja disamakan," ujarnya.
Selain itu, Wahiduddin juga mempertanyakan hubungan status pemohon dengan Pasal 23, Pasal 23A dan Pasal 23E. Untuk materinya, masih bisa dipahami. "Tapi ini status pemohon yang disebutkan ini merupakan bukan hal-hal yang terkait klausul hak-hak konstitusional. Saya tidak akan lebih jauh, nanti pada posisi yang mencampuri substansi. Coba nanti dipertajam," jelas dia.
Terkait dengan legal standing itu, lanjut dia, korelasi antara beberapa profesi tertentu dengan kerugian konstitusional yang dialami atas ditetapkannya dan berlakunya Perppu harus dielaborasi satu persatu. Misalnya, ada yang menyebut posisi pensiunan, ada yang menyebutkan sebagai pegawai negeri sipil, dosen.
"Ini harus dielaborasi agar ada kaitan identitas profesi ini dengan kerugian konstitusionalnya, karena ini akan dilihat satu persatu legal standing dari perorangan itu," katanya.
Di samping itu, Wahiduddin menyarankan kepada para pemohon untuk memperkaya permohonannya dengan komparasi pada pengaturan di negara lain dalam menghadapi pandemi COVID-19. Misal, Amerika, Italia, RRC, Taiwan, Vietnam dan sebagainya. Karena, ada yang menyebut semacam berhasil dengan analisa tertentu.
"Sejauh mana dampak pengaturan di negara tersebut yang berpengaruh terhadap supremasi konstitusi kita. Saya yakin hal ini bisa diperkaya. Sejauh mana pengaturan mengenai perubahan postur anggaran mereka dalam keadaan ketatanegaraan yang boleh dikatakan abnormal ini," ucapnya.
Perppu 1/2020 digugat oleh sejumlah tokoh di antaranya Muhammad Sirajuddin Syamsuddin (Din Syamsuddin), Amien Rais dan Guru Besar Universitas Indonesia Sri Edi Swasono. Adapun uji materi yang digugat terkait Pasal 2 Ayat (1) Huruf a Angka 1, Angka 2, dan Angka 3, Pasal 27 dan Pasal 28 Perppu 1/2020.
Perppu 1/2020 yang digugat adalah tentang kebijakan keuangan negara dan stabilitas keuangan untuk penanganan pandemi COVID-19, atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional atau stabilitas sistem keuangan terhadap UUD 1945.
Sementara, kuasa hukum pemohon ini yang hadir dalam sidang di Gedung Mahkamah Konstitusi dengan nomor perkara 23 di antaranya Syaiful Bakhri, Zainal Arifin Hoesein, Ibnu Sina Chandranegara, Ahmad Yani dan Dewi Anggraini.
Dalam petitumnya, pemohon meminta kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa dan mengadili permohonan ini untuk memutuskan menerima dan mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya.
Selanjutnya, menyatakan Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, 2 dan angka 3, Pasal 27 dan Pasal 28 Perppu 1/2020 bertentangan dengan UUD RI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Dan, memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Atau jika Majelis Hakim Konstitusi Republik Indonesia mempunyai keputusan lain, mohon putusan yang seadil-adilnya, ex aequo et bono.