Perppu 1/2020 Buatan Jokowi Dianggap Sewenang-wenang
VIVA – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang gugatan terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 (Perppu 1/2020) di Gedung Mahkamah Konstitusi pada Selasa, 28 April 2020. Ada tiga pemohon perkara tersebut, yakni perkara nomor 23, perkara 24 dan perkara 25.
Adapun uji materi yang digugat terkait Pasal 2 Ayat (1) Huruf a Angka 1, Angka 2, dan Angka 3, Pasal 27 dan Pasal 28 Perppu 1/2020 tentang kebijakan keuangan negara dan stabilitas keuangan untuk penanganan pandemi COVID-19, atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional atau stabilitas sistem keuangan terhadap UUD 1945.
Pemohon perkara Nomor 23 dihadiri oleh Syaiful Bakhri, Zainal Arifin Hoesein, Ibnu Sina Chandranegara, Ahmad Yani dan Dewi Anggraini. Mereka merupakan kuasa hukum dari pemohon di antaranya Amien Rais, Muhammad Sirajuddin Syamsuddin (Din Syamsuddin).
Salah satu alasan permohonan pengujian yang dibacakan Pasal 28 Perppu 1/2020 dianggap bertentangan dengan Pasal 22 Ayat (1) UUD RI 1945, juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009. Bahwa, pemerintah dalam hal ini Presiden memiliki hak konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945 untuk menerbitkan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.
Akan tetapi, Dewi Anggraini yang membacakan alasan tersebut mengatakan bahwa saat ini tidak ada kondisi yang dikategorikan kegentingan yang memaksa, hanya ada ancaman virus corona, apakah ancaman virus corona telah dapat ditafsirkan Presiden sebagai hal ihwal kegentingan memaksa.
"Dalam upaya penanganan COVID-19, telah ada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, sehingga tidak sepatutnya dikeluarkan Perppu yang juga menangani COVID-19," kata Dewi saat membacakan isi gugatan saat sidang di MK.
Selanjutnya, Dewi menilai bahwa Pasal 28 Perppu Nomor 1 Tahun 2020 jelas telah membuat wewenang Presiden berlebihan dan berkembang menjadi kekuasaan absolut dan sewenang-wenang, namun berlindung dari kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945.
Hal ini sebagaimana dinyatakan dikatakan oleh sejarahwan, politisi dan penulis Inggris, John Emerich Edward Dalberg-Acton: power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely, yaitu kekuasaan cenderung korup dan sewenang-wenang, dan kekuasaan absolut membuat kerusakan dan kesewenang-wenang secara absolut juga.
"Berdasarkan hal tersebut menunjukkan bahwa Perppu 1 Tahun 2020 lebih mencerminkan constitutional dictatorship dibandingkan merespon keadaan darurat kesehatan," ujarnya.
Sementara Hakim Konstitusi, Wahiduddin Adams memberikan catatan terkait literatur yang dikutip tentang constitusional dictatorship. Menurut dia, yang digambarkan oleh pemohon nampaknya hal-hal negatif saja dari buku tersebut. Padahal penulis menyebutkan bahwa ada keniscayaan dalam keadaan tertentu, karena adanya persoalan-persoalan yang sangat terbats.
"Mungkin perlu dielaborasi secara komprehensif karena dikutip sedikit saja tentang constitutional dictatorship," ucapnya.