Alasan Amien Rais dan Din Syamsuddin Gugat Perppu Corona COVID-19

Amien Rais.
Sumber :
  • IG Amien Rais

VIVA – Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin dan Amien Rais bersama Guru Besar Fakultas Ekonomi (FEUI) Universitas Indonesia Sri Edi Swasono menggugat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 ke Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK). Perppu tersebut  tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona COVID-19.

Bertemu Prabowo, GAVI Janji akan Perkuat Kerja Vaksin dengan Indonesia

Dari laman resmi MK, ketiga tokoh ini mengajukan gugatan pada Selasa, 14 April 2020. Adapun uji materi yang digugat terkait Pasal 2 Ayat (1) Huruf a Angka 1, Angka 2, dan Angka 3, Pasal 27 dan Pasal 28 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2020.

Perppu 1/2020 yang digugat ini tentang kebijakan keuangan negara dan stabilitas keuangan untuk penanganan pandemi Corona COVID-19, atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional atau stabilitas sistem keuangan terhadap UUD 1945.

Prabowo Sebut Indonesia Bakal Jadi Anggota GAVI, Kucurkan Dana Rp 475 Miliar Lebih

Adapun alasan permohonan pengujian ini bahwa hak-hak konstitusional para pemohon yang dimiliki, dijamin dan dilindungi oleh konstitusi (UUD 1945), telah dilanggar dan dirugikan dengan berlakunya ketentuan yang terdapat dalam Pasal 2 Ayat (1) huruf a Angka 1, 2 dan 3, Pasal 16, Pasal 23, Pasal 27 dan Pasal 28.

Di antaranya Pasal 2 Perppu 1/2020 bertentangan dengan Pasal 23 dan Pasal 23A UUD 1945. Pertama, dalam menghadapi permasalahan pandemi COVID-19, pemerintah memandang terjadi keadaan genting terhadap dua aspek kehidupan sekaligus, yakni aspek kesehatan dan aspek ekonomi.

PM Singapura Positif Covid-19 Setelah Kunker ke Beberapa Negara

Sebagai respon terhadap hal tersebut, pemerintah mengeluarkan tiga regulasi sekaligus yang salah satunya adalah Perppu Nomor 1 Tahun 2020. Secara umum, Perppu tersebut mengatur dua hal yang dianggap mengalami kondisi kedaruratan sekaligus yakni mengatur aspek kesehatan warga negara dan aspek perekonomian negara.

"Adapun aspek perekonomian negara dibagi lagi menjadi dua, kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan. Sehingga, secara substansial bahwa Perppu 1/2020 mencakup tiga hal sekaligus yaitu penanganan COVID-19, kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan," begitu alasan yang tertera dalam gugatan seperti dilansir situs MK pada Jumat, 17 April 2020.

Padahal, hakikat keuangan publik/anggaran negara adalah kedaulatan rakyat sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945. Artinya, rakyat merupakan pemilik dari setiap rupiah anggaran negara sehingga rakyat harus menentukan atau menyetujui, dari mana sumber uang (pendapatan) dan untuk apa uang digunakan (belanja) termasuk besaran pajak yang ditarik oleh penguasa, haruslah dilakukan dengan persetujuan rakyat.

"Dalam sistem demokrasi di Indonesia, persetujuan rakyat ini dilakukan melalui wakil rakyat yang ada di DPR. Hal tersebut dikonstruksikan dalam rumusan Pasal 23 UUD 1945," demikian bunyi alasan permohonan uji materi Perppu 1/2020.

Selanjutnya, Pasal 2 Ayat (1) huruf a angka 1, angka 2 dan angka 3 Perppu 1/2020 mengatur tentang pemberian kewenangan bagi pemerintah untuk dapat menentukan batas defisit anggaran di atas 3 persen terhadap UU APBN sampai dengan tahun 2022. Pengaturan tersebut bertentangan dengan karakter priodik UU APBN yang diatur dalam Pasal 23 Ayat (1) UUD 1945.

Alasanya, Pasal 2 Ayat (1) huruf a angka 1, 2, dan 3 Perppu 1/2020 tidak menentukan batas maksimal presentasi PDB (produk domestik bruto), sehingga membuka peluang bagi pemerintah untuk menentukan presentasi PDB terhadap defisit anggaran tanpa batasan. Dan, hal ini dapat berimplikasi pada membengkaknya pos pembiayaan APBN, termasuk meningkatnya jumlah rasio utang (baik dalam negeri atau luar negeri).

Alasan kedua, PDB tanpa batas maksimal ini berlaku sampai tahun anggaran 2020. Artinya, ketentuan ini mengikat tiga UU APBN sekaligus yakni UU APBN TA 2020, UU APBN TA 2021, dan UU APBN TA 2020. Maka, hal ini secara nyata bertentangan dengan Pasal 23 Ayat (1) UUD 1945. Bahwa, APBN ditetapkan setiap tahun karena presentasi defisit terhadap PDB akan menentukan nilai pos pembiayaan dalam APBN justru dibuat terbuka di atas 3 persen sampai tahun anggaran 2022.

Apalagi, UU APBN Tahun Anggaran 2021 dan 2022 juga belum ada produk hukumnya sehingga penetapan APBN setiap tahun menjadi tidak bermakna apapun. Manakala selisih antara pendapatan dan belanja dibuat terbuka tanpa batas maksimal, dan menjangkau dua UU APBN yang belum ada produk hukumnya sama sekali.

Selain itu, ketentuan Pasal 2 Ayat (1) huruf a angka 1, 2, dan 3 Perppu 1/2020 ini secara langsung membatasi daya ikat kewenangan DPR untuk memberikan persetujuan APBN, khususnya berkenaan dengan defisit anggaran menjadi terbatas pada batas minimum 3 persen. Sementara, Pasal 23 Ayat (2) dan Ayat (3) UUD 1945 menentukan bahwa UU APBN harus mendapat persetujuan rakyat melalui wakilnya (DPR).

Persetujuan DPR ini dianggap teramat penting karena mencerminkan kedaulatan rakyat. Jika DPR tidak menyetujui rancangan UU APBN, maka pemerintah tidak punya pilihan selain menggunakan UU APBN tahun sebelumnya. Tapi, Pasal 2 Ayat (1) huruf a angka 1, 2, dan 3 Perppu 1/2020, menihilkan arti penting persetujuan DPR.

Cek berita-berita terkini mengenai update pandemi Corona melalui pantau Corona VIVA.co.id.

Baca juga: Tak Tahan Ekonomi AS Dibantai Corona, Trump Bikin Pedoman 'Sakti'

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya