Wacana Darurat Sipil, Jokowi Panik COVID-19
- Pixabay
VIVA – Koalisi Masyarakat Sipil menilai upaya Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam menerapkan pembatasan sosial berskala luas perlu didampingi adanya kebijakan darurat sipil untuk mengatasi penyebaran virus corona atau COVID-19 adalah langkah yang salah.
Ketua Advokasi YLBHI, Muhammad Isnur mengatakan langkah Presiden Jokowi menerapkan pendekatan darurat sipil sebagai tanda bahwa pemerintah panik dan frustasi dengan kegagalannya menekan laju pandemi COVID-19 di Indonesia.
Bukan cuma itu, Isnur melihat negara ingin lepas dari kewajiban hukum untuk menjamin hak-hak dasar masyarakat dengan menerapkan darurat sipil. Menurut dia, berbeda jika pemerintah mengeluarkan penetapan bencana yang diatur Pasal 8 UU Nomor 24 Tahun 2007.
"Dan penetapan darurat kesehatan masyarakat, dimana negara terikat kewajiban hukum untuk menjamin ketersediaan sumber daya yang diperlukan," kata Isnur melalui keterangan tertulis pada Selasa, 31 Maret 2020.
Isnur menegaskan penetapan darurat sipil justru membahayakan keamanan dan kesehatan warga. Dalam beberapa kasus, sudah terjadi penangkapan penyebaran hoaks. Maka, tindakan ini justru menempatkan mereka yang ditangkap dalam kumpulan orang dan tidak menerapkan pembatasan jarak fisik.
"Sejarah menunjukkan bahwa pendekatan represi tidak pernah berhasil menanggulangi persoalan kesehatan publik, dan menjamin keberlanjutan karena penyebaran virus tetap dapat terjadi di dalam rumah selama 24 jam. Dan, tidak mungkin aparat keamanan sanggup mengawasi 200 juta lebih manusia selama 24 jam," ujarnya.
Hentikan darurat sipil dalam penanganan COVID-19
Oleh karena itu, Isnur mengatakan Koalisi Masyarakat Sipil mendesak pemerintah yang dipimpin Presiden Jokowi supaya menghentikan rencana darurat sipil dalam penanganan wabah COVID-19 di Indonesia.
Selanjutnya, kata dia, Koalisi Masyarakat Sipil mendesak pemerintah segera bentuk Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur tentang tata cara penentuan dan pencabutan status darurat kesehatan masyarakat, serta penanggulangan kedaruratan masyarakat.
Kemudian, segera tetapkan status darurat kesehatan masyarakat dan berlakukan karantina wilayah.
"Jadikan ahli kesehatan masyarakat sebagai pucuk pimpinan penanganan COVID-19 dengan pelibatan seluas-luasnya sektor terkait dan juga daerah," jelas dia.
Darurat sipil tak libatkan tim kesehatan
Menurut Isnur, darurat sipil dipimpin penguasa darurat sipil yaitu Presiden Republik Indonesia dengan dibantu oleh suatu badan yang terdiri dari Menteri Pertama, Menteri Keamanan/Pertahanan, Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, Menteri Luar Negeri, Kepala Staf Angkatan Darat, Kepala Staf Angkatan Laut, Kepala Staf Angkatan Udara dan Kepala Kepolisian Negara.
"Jelas sekali tidak ada pejabat kesehatan masyarakat di dalamnya. Kalau pun pejabat tersebut dilibatkan, jelas sekali darurat sipil dibuat bukan untuk ancaman kedaruratan kesehatan masyarakat," kata Isnur.
Kata dia, tidak ada satu pun alasan yang diberikan Undang-Undang (Perppu) 23 Tahun 1959 yang terpenuhi untuk diterapkan dalam penanganan penyebaran wabah COVID-19 saat ini. "Bencana yang terjadi bukan bencana alam dan hidup negara tidak dalam keadaan bahaya. Hidup rakyat Indonesialah yang berada dalam bahaya!," ucapnya.
Sebelumnya, Presiden Jokowi meminta untuk mempertegas kebijakan pembatasan aktivitas sosial. Bahkan, untuk memperkuat itu harus diiringi dengan kebijakan darurat sipil.
Pembatasan aktivitas sosial, saat ini sudah masif dilakukan terutama oleh aparat keamanan. Seperti membubarkan pesta-pesta yang mengumpulkan orang banyak, hingga aktivitas nongkrong di kafe yang kerap dilakukan sejumlah muda mudi.
"Saya minta pembatasan sosial berskala besar, physical distancing, dilakukan lebih tegas, lebih disiplin dan lebih efektif lagi sehingga tadi juga sudah saya sampaikan perlu didampingi kebijakan darurat sipil," jelas Presiden dalam rapat kabinet terbatas, Senin 30 Maret 2020.
Darurat sipil diberlakukan, mengingat virus corona kini sudah mewabah, menjadi pandemik global dan bahkan sudah menyebar ke banyak daerah. Pusat persebaran tidak lagi hanya Jakarta dan sekitarnya, tetapi sudah meluas hingga ke seluruh Jawa dan luar Jawa.