Anggota DPR "Teriak" Minta Lockdown Cegah Penyebaran COVID-19

ANTISIPASI PENYEBARAN VIRUS CORONA
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Galih Pradipta

VIVA – Anggota DPR RI, Mardani Ali Sera melihat banyak masyarakat menganggap sepele wabah virus corona atau COVID-19. Nah, imbauan pemerintah juga tak terlalu kuat untuk diikuti publik termasuk perusahaan terkait social distancing.

How an App Became Indonesia's Essential Weapon Against Covid-19

Maka, anggota legislatif dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) ini menyarankan pemerintah agar memutuskan untuk lakukan lockdown parsial. Sebab, tiap hari kasus COVID-19 jumlahnya semakin bertambah.

Bismillah, pemerintah memutuskan memilih opsi rapid test dibanding melakukan lockdown, baik secara keseluruhan maupun parsial,” kata Mardani lewat Twitter yang dikutip Selasa, 24 Maret 2020.

Harvey Moeis Klaim Dana CSR Smelter Swasta Dipakai untuk Bantuan COVID-19

Untuk itu, Mardani tetap menyarankan lockdown parsial perlu diambil jika melihat fenomena yang berkembang di masyarakat. Karena, cara ini paling akhir ketika semua cara kurang efektif.

“Semata untuk mencegah korban yang semakin banyak. Memang, kebijakan lockdown cenderung tidak populer, tapi untuk saat ini tidak banyak alternatif pilihan yang tersedia. Kita berlomba dengan waktu. Pemda pasti bersedia membantu Pusat demi kesehatan warganya,” ujarnya.

SMP Negeri 8 Tangsel Lockdown Buntut Merebaknya Kasus Cacar Air dan Gondongan

Ia menjelaskan alasan mengusulkan agar pemerintah mempertimbangkan lockdown, di antaranya bahwa sampai saat ini kesadaran berbagai pihak masih kurang. Menurutnya, wacana social distancing dari pemerintah ke masyarakat tidak terlalu kuat.

“Karena hanya bersifat imbauan. Masyarakat masih menganggap sepele hal ini,” jelas dia.

Contoh kecil, Mardani melihat masih banyak pihak-pihak yang tidak mengindahkan imbauan pemerintah terkait Work from Home (WfH), utamanya perusahaan dan gerai usaha kepada karyawannya.

“Imbasnya ke penerapan social distancing yang belum maksimal. Seperti kemarin, KRL tetap penuh seperti biasa,” jelas dia.

Selain itu, Mardani menyebut beberapa ahli juga mengkhawatirkan penanganan Covid-19 di negeri ini. Soalnya, tingkat kematian di Indonesia saat ini lebih tinggi daripada rata-rata internasional (Asia Tenggara). Populasi yang amat besar dan diiringi dengan birokrasi yang efisien menjadi penyebabnya.

“Lebih baik terlambat daripada tidak sama sama sekali. Ungkapan ini menggambarkan keadaan negeri kita. Sebentar lagi sudah mulai memasuki bulan Ramadhan. Pemerintah akan kewalahan mengingat banyak masyarakat yang pulang ke kampung halaman. Penyebaran bisa massif,” ucapnya.

Saat ini, Mardani melihat paling utama membuat masyarakat untuk stay di rumah itu tidak cukup hanya imbauan tapi perlu keputusan jelas seperti lockdown. Setelah itu, rapid test dan penyiapan rumah sakit.

“Mengapa, kata dia, jika orang sudah tertular itu mereka masih bisa di rumah untuk menyembuhkan diri dan tidak menularkannya ke orang lain,” katanya.


Bukan hanya Mardani yang gregetan dengan penanganan wabah virus corona di Indonesia. Anggota DPR RI Fraksi Partai Gerindra, Fadli Zon bahkan mengirimkan surat terbuka untuk Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar mengambil upaya lockdown sementara demi mencegah dan memutus penyebaran virus corona atau COVID-19 di Indonesia. Sebab, jumlah yang terpapar dan meninggal dunia terus bertambah.

"Surat Terbuka untuk Presiden @jokowi: Menunda Lockdown, Memperbanyak Korban. Saran saya, lockdown sementara!," kata Fadli Zon lewat Twitter yang dikutip pada Selasa, 24 Maret 2020.

Isi dari surat terbuka yang dituliskan Fadli, selaku Wakil Ketua Umum Partai Gerindra untuk Presiden Jokowi ini mengingatkan bagaimana Pemerintah Cina yang sudah dua bulan lalu atau 23 Januari 2020, resmi mengisolasi (lockdown) Kota Wuhan yang terletak di Provinsi Hubei.

"Keputusan untuk mengunci kota itu dilakukan untuk mengontrol sekaligus membatasi penyebaran virus corona (COVID-19). Kasus COVID-19 ini, kita tahu memang pertama kali muncul dari kota tersebut. Sesudah Wuhan, Cina kemudian secara berturut-turut mengunci 15 kota besar lainnya," jelas dia.

Alhasil, Pemerintah Cina berhasil menekan rasio kematian akibat COVID-19 di bawah rata-rata global. Padahal, Cina meruapakn negara dengan populasi terbesar di dunia. Hingga hari Minggu kemarin, 22 Maret 2020 misalnya, total jumlah kasus corona yang dikonfirmasi Pemerintah Cina mencapai 81.093 kasus, dengan jumlah korban meninggal 3.270 orang. Artinya, tingkat kematian kasus Covid-19 di Cina sebesar 4 persen.

"Menyimak angka-angka itu, terus terang saya agak miris. Bandingkanlah angka-angka itu dengan jumlah kasus di Indonesia hari ini (Senin, 23 Maret 2020), yang mencapai 579, jumlah orang meninggal 49," ujarnya.

Dengan begitu, Fadli tanpa bermaksud mengecilkan meskipun secara jumlah angka tadi (di Indonesia) masih tergolong kecil. Namun, angka rasio kematian kasus Covid-19 di Indonesia ternyata mencapai sekitar 9 persen, tertinggi di dunia. Angka ini bukan hanya lebih dari dua kali lipat rasio kematian di Cina, namun juga lebih dari dua kali lipat rasio kematian Covid-19 di tingkat global.

"Pak @jokowi, dengan rasio kematian lebih dari dua kali lipat rasio global, seharusnya kita segera mengambil sikap lebih gesit dan presisi," katanya.

Berikut isi surat terbuka yang dituliskan Fadli Zon untuk Presiden Jokowi:

Surat Terbuka untuk Presiden @jokowi : MENUNDA LOCKDOWN, MEMPERBANYAK KORBAN.

Kepada YTH Presiden RI Pak @jokowi, hari ini, tepat dua bulan lalu, atau 23 Januari 2020, pemerintah Cina resmi mengisolasi (lockdown) Kota Wuhan yang terletak di Provinsi Hubei. Keputusan untuk mengunci kota itu dilakukan untuk mengontrol sekaligus membatasi penyebaran virus Corona (Covid-19).

Kasus Covid-19, kita tahu, memang pertama kali muncul dari kota tersebut. Sesudah Wuhan, Cina kemudian secara berturut-turut juga mengunci 15 kota besar lainnya. Karena kesigapan tersebut, per hari ini, saya membaca Wuhan sudah lima hari berturut-turut bebas dari kasus baru Covid-19. Kota itu mulai kembali hidup dan bangkit.

Di tingkat nasional, Komisi Kesehatan Nasional Cina juga menyatakan kini sudah tak ada lagi kasus Covid-19 baru yang berasal dari dalam negeri. Dari empat puluhan kasus baru, semuanya berasal dari para penumpang yang datang dari luar negeri.

Tentu saja semua itu pencapaian luar biasa. Tak heran jika pemerintah Cina mengekspresikannya sebagai sebentuk kemenangan. Apalagi, meski merupakan negara dengan populasi terbesar di dunia, Cina berhasil menekan rasio kematian akibat Covid-19 di bawah rata-rata global.

Hingga hari Minggu kemarin, 22 Maret 2020, misalnya, total jumlah kasus Corona yang dikonfirmasi pemerintah Cina mencapai 81.093 kasus, dengan jumlah korban meninggal 3.270 orang. Artinya, tingkat kematian kasus Covid-19 di Cina sebesar 4 persen.

Menyimak angka-angka itu, terus terang saya agak miris. Bandingkanlah angka-angka itu dengan jumlah kasus di Indonesia hari ini, yang mencapai 579, dengan jumlah orang meninggal 49.

Tanpa bermaksud mengecilkan, meski secara jumlah angka tadi masih tergolong kecil, namun angka rasio kematian kasus Covid-19 di Indonesia ternyata mencapai sekitar 9 persen, tertinggi di dunia. Angka ini bukan hanya lebih dari dua kali lipat rasio kematian di Cina, namun juga lebih dari dua kali lipat rasio kematian Covid-19 di tingkat global.

Sebagai catatan, hingga hari Minggu kemarin, jumlah kasus positif Covid-19 di seluruh dunia mencapai 318.228 orang dengan jumlah korban meninggal 13.671. Artinya, rasio kematian akibat Covid-19 di seluruh dunia ada di angka 4,29 persen.

Rasio kematian akibat Covid-19 di Indonesia juga lebih buruk dari Italia. Padahal, saat ini Italia merupakan negara dengan jumlah kematian terbesar di dunia, bahkan melebihi Cina. Jumlah korban meninggal di Italia per hari ini mencapai 5.476 orang, jauh di atas Cina yakni 3.270 orang. Dengan jumlah orang terinfeksi mencapai 59.138 orang, rasio kematian akibat Covid-19 di Italia mencapai 9,25 persen.

Menurut saya, ada dua sebab kenapa rasio angka kematian akibat Covid-19 di Indonesia lebih tinggi dari angka rata-rata dunia. Pertama, kita tak berhasil mendeteksi seluruh orang yang secara riil telah terpapar Covid-19, sehingga angkanya jadi ekstrem.

Jika kita menggunakan rasio kematian rata-rata secara global, yaitu 4,29 persen, maka dengan jumlah kematian 49 orang, maka seharusnya jumlah orang terinfeksi yang terdata berada di kisaran lebih dari 1.100 orang. Atau, lebih dari dua kali lipat data jumlah terinfeksi yang kita pegang sekarang.

Kedua, seandainya rasio kematian 9,3 persen tadi adalah riil, berarti tingkat penanganan kasus Covid-19 di Indonesia sejauh ini merupakan yang paling buruk di dunia. Pak @jokowi, dengan rasio kematian lebih dari dua kali lipat rasio global, seharusnya kita segera mengambil sikap lebih gesit dan presisi.

Jika kita masih bertahan denagn pola koordinasi yang telah diterapkan selama seminggu terakhir, bukan tak mungkin kita akan mengalami situasi yang lebih buruk dari Italia dalam beberapa minggu ke depan.

Sebagaimana yang banyak kita ketahui, salah satu sebab kenapa Italia kini mengalami kondisi lebih buruk dari Cina adalah karena pada mulanya mereka terlalu menganggap remeh wabah Covid-19. Mereka terlambat melakukan lockdown, sehingga pada akhirnya virus menyebar dengan cepat ke seluruh wilayah melebihi kapasitas perawatan yang bisa disediakan.

Saya khawatir kita sedang mengulangi kesalahan Italia. Sebagai catatan, saat kebijakan lockdown diberlakukan di Wuhan, jumlah orang yang terjangkit Covid-19 tercatat baru mencapai 495 orang. Bandingkanlah angka itu dengan jumlah orang terinfeksi di Indonesia yang saat ini telah mencapai 579 orang. Apalagi, dari 579 kasus tadi, sedikitnya 304 di antaranya berada di Jakarta. Ini adalah titik kritis untuk segera memulai sebuah kebijakan drastis.

Sayangnya, kebijakan drastis itu saya lihat tak segera muncul. Saya paham ada banyak sekali pro dan kontra terkait kebijakan lockdown, khususnya untuk Jakarta, yang kini menjadi episentrum wabah di tanah air. Mereka yang kontra umumnya berargumen kebijakan lockdown akan mempercepat terjadinya krisis ekonomi di Indonesia, mengingat Jakarta adalah urat nadi perekonomian kita.

Sebagai pembanding, mereka yang kontra biasanya menyebut Hongkong dan Shanghai yng juga tidak di-lockdown oleh Pemerintah Cina. Begitu juga dengan Singapura, yang berhasil menekan penularan Covid-19 tanpa lockdown. Namun, membandingkan diri dengan kasus Singapura, Hongkong dan Shanghai, saya kira tidaklah sepadan, tidak 'apple to apple' dalam menilai kebijakan lockdown.

Singapura, misalnya, memang tak perlu melakukan lockdown karena mereka bisa mengontrol sepenuhnya semua pintu masuk ke negaranya yang jumlahnya memang tak banyak. Terbukti, meski termasuk negara ASEAN pertama yang terpapar corona, sejauh ini jumlah korban meninggal di negara kota tersebut hanya 2 orang. Itupun, salah satunya pasien dari Indonesia.

Juga, jangan bandingkan wacana mengenai lockdown Jakarta dengan Hongkong dan Shanghai. Kedua kota itu tidak di-lockdown oleh Pemerintah Cina bukan karena posisinya sebagai pusat bisnis dan perekonomian, namun karena memang kedua kota itu bukan episentrum wabah corona. Di sisi lain, kita sama-sama melihat, Pemerintah Cina sejak awal sangat tegas segera me-lockdown Wuhan, kota yang menjadi episentrum wabah.

Artinya, dalam menyusun pertimbangan mengenai lockdown Jakarta, maka kasus Singapura, Shanghai dan Hongkong bukanlah pembanding yang tepat. Kasus lockdown kota Manila, atau New York, mungkin bisa dijadikan pembanding. Saya sepenuhnya memahami, dalam wacana lockdown kota Jakarta, dilema terbesar kita adalah Jakarta bukan hanya urat nadi bagi perekonomian dan politik nasional, tapi kini telah menjadi episentrum wabah Covid-19.

Di satu sisi, kebijakan lockdown dikhawatirkan akan memukul rakyat kecil yang menyandarkan pendapatannya pada kerja-kerja harian. Namun di sisi lain, jika tak dibuat kebijakan tegas seperti lockdown, dikhawatirkan kita tak akan bisa membatasi penyebaran virus ini ke depannya.

Namun, apapun pilihan kebijakan yang akan diambil Pemerintah, menurut saya ada satu hal yang ke depan akan sulit disangkal: dalam tiga hingga enam bulan ke depan, kedua krisis yang tengah kita alami saat ini, yaitu krisis Covid-19 dan krisis ekonomi. Pada akhirnya akan sampai di titik yang sama, dari manapun dimulainya. Dengan kata lain, mulai dari manapun, pada akhirnya kita akan sampai di titik yang sama. Jadi Pak @jokowi, Bapak akan mengatasi krisis ini mulai dari mana?

Bagi saya, jika demikian situasinya, kita seharusnya tak menunggu sampai jatuh korban dalam jumlah yang ekstrem baru kemudian melakukan lockdown. Ekses ekonomi, bagaimana pun jauh lebih kasat mata, sehingga lebih mudah dikontrol, daripada ekses penyebaran virus.

Kita yakin pandemi ini akan berakhir, dan Insya Allah akan berakhir. Tapi berapa lama, serta berapa besar korbannya, sangat tergantung kepada keputusan Bapak @jokowi hari ini, sebagai Presiden Republik Indonesia.

Ketua Gugus Tugas Covid-19 adalah orang yang andal, saya kenal beliau sejak pangkat Mayor. Tapi bagaimana pun, ia hanyalah pelaksana kebijakan. Begitu juga para kepala daerah, provinsi atau kabupaten/kota, mereka punya keterbatasan kewenangan. Jadi, Pak @jokowi jangan buang-buang waktu menunda lockdown karena nanti akan lebih banyak korban jatuh.

Gunakan anggaran bantuan sosial dan anggaran lain untuk membantu mereka yg terdampak, seperti pekerja harian, tukang ojek, sopir taksi, buruh, tani, pedagang kecil, dan seterusnya. Siapkan jaring pengaman sosial dengan mengalihkan belanja proyek-proyek pembangunan fisik yang tidak mendesak dan bisa ditunda.

Surat terbuka ini saya sampaikan karena saya yakin kita sama-sama menyayangi rakyat dan negara ini. Pemilihan Presiden sudah lewat, dan Pemilu yang akan datang masih lama. Seharusnya tak ada urusan kontestasi politik dalam menangani krisis Covid-19. Kalau saya mengkritisi kebijakan penanganan Covid-19, itu semata-mata dalam rangka tugas pengawasan agar berbagai kebijakan tersebut tepat dan cepat.

Sekali lagi, saran saya: lockdown sementara! Terima kasih.

Salam Indonesia Raya!
Dr. Fadli Zon, M. Sc
Anggota DPR_RI, Wakil Ketua Umum DPP @Gerindra

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya