Tiru Nabi Muhammad SAW, Jangan Tantang Corona Atas Nama Tauhid
- Haramain
VIVA – Pemerintah di hampir seluruh negara dunia telah mengeluarkan kebijakan untuk berdiam diri di rumah untuk meredam wabah Virus Corona atau COVID-19.
Bahkan negara-negara yang mayoritas penduduk beragama Islam seperti Arab Saudi, Indonesia dan lainnya telah mengeluarkan imbauan untuk tidak memaksakan diri melaksanakan ibadah di masjid. Di Jakarta malah pemerintah menunda pelaksanaan Salat Jumat hingga dua pekan ke depan.
Namun sayangnya, masih saja banyak masyarakat yang abai. Tetap saja tak mendengarkan imbauan itu, malah ada yang menentang dengan alasan berbagai macam, mulai dari takdir Allah dan sebagainya.
Hanya saja, tahukah Anda, menurut kisahnya, seorang baginda Nabi Muhammad SAW saja dan para sahabatnya bersikap arif dalam menghadapi wabah penyakit. Nabi tak pernah menantang penyakit atas nama tauhid.
Hal ini dikisahkan Guru Besar Filologi Universitas Islam Negeri atau UIN Jakarta, Oman Fathurahman dalam rangkaian tulisan panjangnya tentang sikap menghadapi wabah penyakit di dunia.
Berikut tulisan sang guru besar seperti kutip VIVA.co.id dari akun Twitter pribadinya, Jumat 20 Maret 2020.
"Sejarah mencatat, 3 kali pandemic terjadi akibat wabah mematikan: Wabah Yustinianus (plague of Justinian) 541-542 M, Maut Hitam (Black Death) 1347-1351, dan Wabah Bombay (Bombay plague) 1896-1897. Pandemic abad 6 terkait dengan kematian kl. 25rb sahabat Nabi
Sumber-sumber Arab mencatat dengan baik bagaimana Nabi Muhammad SAW dan para sahabat sikapi pandemic, bukan dengan menantangnya atas nama tauhid, atau atas nama "hanya takut pada Allah", tapi justru dengan ajarkan bahwa esensi agama adalah menjaga kemanusiaan. Itulah tauhid yang sesungguhnya.
Eropa pernah kelam akibat sikap fanatik sebagian umat beragama menyikapi the Black Death. Saat otoritas Eropa kehabisan ide atasi Wabah, masyarakat putus asa, dan mulai mengaitkan bahwa umat Yahudi adalah penyebabnya hingga Tuhan murka. Konflik terjadi, ribuan Yahudi dipersekusi.
Sebagian sarjana besar Muslim abad pertengahan alami wabah atau tha'un mematikan. Ibn Hajar al-'Asqalani (w. 1449 M) kehilangan 3 putrinya akibat tha'un: Fatimah, 'Aliyah, dan Zin Khatun si sulung yang bahkan sedang hamil. Apa yg ia lakukan? Menulis karya untuk jaga nyawa sesama.
Al-Asqalani tulis kitab "Badzl al-Ma'un fi Fadhl al-Tha'un". Ia jauh dari sikap "pasrah" menyerah pada takdir Allah. Pandangan dan sikap beragamanya rasional.
Karya ini telah ditahqiq oleh Ahmad Ishom Abd al-Qadir al-Katib, yang mengulas detil tentang tha'un: definisinya secara metafisis dan medis, jenis-jenisnya termasuk Black Death di Eropa, pandangan ahli medis, cara menghindarinya, hukum syahid bagi korban, dan tentang bagaimana Muslim harus menyikapi wabah.
Al-Asqalani bukan satus-satunya ulama besar yang terdampak tha'un pandemic. Abu Aswad al-Duwali (w. 688 M), penggagas ilmu nahwu terkemuka, bahkan wafat akibat tha'un. Ini bukti bahwa wabah pandemic tidak mengenal agama, ras, usia, gender, dan kelas sosial. Kita pun perlu melawan corona.
Pemerintah sudah memutuskan Indonesia darurat bencana akibat Korona. Social distancing sudah diterjemahkan oleh Presiden @jokowi sebagai "Bekerja dari rumah, belajar dari rumah, dan bekerja di rumah". Berbagai tokoh agama sudah berijtihad menunda ritual agama, tapi bukan menunda beragama.
Mari belajar dr sejarah, mari berguru dari para suhu masa lalu. Beragama yg paripurna bukan dengan cara mengabaikan keselamatan sesama, melainkan dengan menjaganya melalui berbagai cara. Bertauhid adalah meyakini bahwa Dia Maha Mutlak, Dia Mencipta, Dia juga Meniada. Jumah Berkah"
Virus Corona berdampak ke segala arah, termasuk Masjid Istiqlal yang jadi sepi jemaah. Lihat dalam video di bawah ini: