Logo ABC

Bagaimana Papua setelah Dana dan Status Otsus Berakhir

Gubernur Papua Lukas Enembe (berkacamata) menemui anak-anak di Kabupaten Lanny Jaya.
Gubernur Papua Lukas Enembe (berkacamata) menemui anak-anak di Kabupaten Lanny Jaya.
Sumber :
  • abc

Bambang Darmono Letjen (Purn) Bambang Darmono mengatakan pembangunan di Papua harus sesuai dengan kebutuhan orang Papua.

Supplied: Detik

Namun, Letjen Purnawirawan Bambang Darmono, Kepala Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menilai, strategi yang diterapkan Presiden Joko Widodo terhadap Papua dalam hal penyaluran dana otsus telah "salah sasaran".

"Jangan kita membuat sesuatu yang di luar kebutuhan orang Papua. Contohnya ada Mall Jayapura. Bagi saya itu proyek yang bodoh," kata Bambang kepada Hellena Souisa dari ABC News.

"Pertanyaannya, apakah orang Papua sudah membutuhkan mall itu? Siapa yang datang ke mall itu? Ini membuat gap, seolah-olah ada kemajuan."

"Ngapain Pak Jokowi bicara mau buat tol delapan ribu kilometer? Untuk apa?" tambahnya.

Salah satu penyebab dana yang tidak tepat sasaran, menurut Bambang, adalah karena tidak ada badan yang didedikasikan untuk menangani Papua.

"Teman-teman di Papua perlu pendampingan. Dulu UP4B melakukannya, termasuk menjalankan fungsi pengawasan dan pengendalian pembangunan."

Namun Adriana Elisabeth, koordinator Papua Peace Network (PPN) sekaligus Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), mengingatkan bahwa dengan ekonomi Papua sebaiknya tidak diukur dengan ukuran yang sama dengan provinsi lain.

Adriana Elisabeth Karena karakternya yang berbeda, Adriana Elisabeth meminta pemerintah pusat tidak menggunakan ukuran yang sama seperti yang digunakan pada daerah lain untuk Papua.

Supplied: Adriana Elisabeth

"Kalau melihat Papua, kita harus sepakat dulu bahwa Papua ini bukan daerah "normal". Tidak bisa kemudian template di daerah yang normal dipakai juga di Papua," kata Adriana.

"Papua itu selalu dibayangkannya sama dengan daerah lain [di Indonesia]. Memang ada Undang-undang Otonomi Khusus, tapi realitanya implementasi otsus itu nggak berbeda sama sekali [dengan wilayah lain yang tidak berstatus otsus di Indonesia]."

Adriana mencontohkan, salah satu perlakuan sama yang dimaksud misalnya proposal dan mekanisme pencairan anggaran yang dipakai untuk Papua yang adalah template nasional untuk daerah lain.

Soal infrastruktur yang bertujuan membuka isolasi dan mendorong kegiatan ekonomi, Adriana mengkritik rencana pembangunannya yang tidak melibatkan orang Papua.

"Ketika saya tanya ke PUPR, apakah ketika membuat perencanaan untuk membangun infrastruktur [PUPR] bertanya pada masyarakat Papua mereka perlu apa sebenarnya, ternyata semua perencanaan datang dari pusat."

"Jadi template-nya masih pakai template nasional, tidak betul-betul berfokus pada bagaimana kondisi Papua yang memang daerah konflik, yang masih ada kontak senjata, yang relatif masih miskin, yang tidak punya akses kesehatan dan tidak punya akses pendidikan," ujarnya.

Elit lokal di Papua, menurut Adriana, juga mengeluhkan peran yang sebagian besar diambil pemerintah pusat.

"Kami tidak diberi otoritas secara penuh," tutur Adriana menirukan apa yang disampaikan kepadanya.

Belum dikelola dengan baik