RUU Cipta Kerja, Jokowi Lemahkan Penegakan Hukum Lingkungan

KEBAKARAN HUTAN KAWASAN KAWAH PUTIH
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Novrian Arbi

VIVA – Presiden Joko Widodo melalui menterinya telah mengajukan draft Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). 

RUU Cipta Kerja yang disusun dengan pendekatan omnibus law diduga akan melemahkan penegakan hukum lingkungan yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU 32/2009). 

"RUU Cipta Kerja dinilai berupaya mengaburkan dan melemahkan beberapa ketentuan seperti pengawasan, penegakan hukum perdata dan pidana lingkungan hidup," kata Direktur Eksekutif  Indonesian Center for Environmental Law? (ICEL), Raynaldo Sembiring, dalam keterangan tertulisnya, Minggu 16 Februari 2020. 

Menurut dia, ketentuan pengawasan lini kedua yang dimiliki oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang sebelumnya diatur pada Pasal 73 UU 32/2009 dihapus. 

"Padahal dalam banyak kasus di daerah, Menteri LHK sering menggunakan kewenangan ini untuk menindak korporasi nakal," ujarnya.

Selain itu ketentuan mengenai strict liability yang diatur dalam Pasal 88 UU 32/2009 menjadi kabur akibat dihapusnya unsur ‘tanpa kesalahan’, dan dapat digiring menjadi perbuatan melawan hukum.

"Terlebih lagi dalam praktik di pengadilan, penerapan strict liability baru saja menemukan bentuk efektifnya dan berhasil memenangkan pemerintah dalam menjerat korporasi pembakar hutan,” tutur Raynaldo.

Sementara itu Kepala Departemen Advokasi Wahanan Lingkungan (Walhi), Zenzi Suhadi mengatakan penegakan hukum pidana akan menjadi ‘ompong’ karena baru dapat dilakukan dalam hal tidak dijalankannya sanksi administratif. 

"Padahal dalam UU 32/2009, polisi dan PPNS dapat langsung melakukan penyidikan dan memproses tanpa harus didahului sanksi administratif (kecuali untuk Pasal 100). Akibatnya, akan semakin banyak kejahatan korporasi yang tidak dapat segera dijerat," kata dia.

Zenzi menambahkan, "perubahan ketentuan pidana ini mengisyaratkan pemerintah akan berkompromi dengan korporasi, karena pidana akan tergantung dengan step pemerintah," ujarnya.

Tanpa evaluasi 

Selain itu, sambung Raynaldo, revisi ketentuan penegakan hukum dalam UU 32/2009 dilakukan tanpa adanya evaluasi yang komprehensif terhadap pelaksanaan penegakan hukum lingkungan di Indonesia. 

"Dalam catatan ICEL, ketentuan penegakan hukum dalam UU 32/2009 jauh lebih baik dibandingkan UU Lingkungan sebelumnya (1997). Saat ini RUU Cipta Kerja seperti kembali ke UU Lingkungan Hidup tahun 1997. Alasan perubahan juga tidak didukung oleh kajian teoretis dan praktik empiris yang kuat. Jika dipelajari, Naskah Akademik dengan RUU Cipta Kerja banyak yang tidak nyambung," tuturnya. 

Terhadap pelemahan penegakan hukum lingkungan dalam RUU Cipta Kerja ini, ICEL dan WALHI meminta pemerintah dan DPR untuk:

1.    Tidak mengubah, mengaburkan atau bahkan memperlemah ketentuan penegakan hukum lingkungan yang telah diatur dalam UU 32/2009.

Rapat Kerja Perdana dengan Komisi XII DPR RI, Menteri LH Paparkan Program Strategis 2025

2.    Melaksanakan penegakan hukum lingkungan dengan sebaik-baiknya sesuai dengan tujuan dan cita-cita perumusan UU 32/2009.

3.    Melakukan evaluasi terhadap ketentuan penegakan hukum lingkungan dalam UU 32/2009 secara komprehensif sebagai bahan utama dalam merumuskan kebijakan penegakan hukum lingkungan yang akan datang, jika hal ini tidak dapat dilakukan maka sebaiknya kembali kepada ketentuan dalam UU 32/2009.
 

Menteri Lingkungan Hidup Ancam Stop Restoran dan Hotel jika Buang Sampah Makanan ke TPA
Kantor Unilever Indonesia

Membangun Kota Hijau, Peran ESG dalam Perencanaan Properti

Komitmen ini menunjukkan bahwa keberlanjutan bukan hanya tentang memenuhi standar tertentu, tetapi juga tentang menciptakan masa depan yang lebih baik bagi semua pihak.

img_title
VIVA.co.id
23 November 2024