Moratorium Izin Penyelenggara Umrah Dicabut, Ini Syarat Terbaru
- VIVA/Adi Suparman
VIVA – Kementerian Agama telah mencabut moratorium pemberian izin baru bagi Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU).
Kebijakan ini ditandai dengan terbitnya Keputusan Menteri Agama (KMA) No 28 tahun 2020 tentang Pencabutan atas KMA No 229 Tahun 2018 tentang Moratorium Pemberian Izin Baru Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah tertanggal 3 Februari 2020.
Dengan terbitnya KMA tersebut, masyarakat kini dapat kembali mengajukan izin baru sebagai PPIU setelah memenuhi persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam UU Nomor 8 Tahun 2019, tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah serta Peraturan Menteri Agama Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Perjalanan Ibadah Umrah.
Sistem pengawasan dan pembinaan membaik
Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU), Nizar, menyatakan bahwa pencabutan moratorium dalam rangka memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk bertindak sebagai PPIU.
Kebijakan mencabut moratorium ini juga dilandasi telah membaiknya sistem pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan perjalanan umrah.
"Pencabutan moratorium ini akan memberikan ruang berkembangnya dunia usaha bisnis syari'ah sehingga diharapkan dapat berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional," kata Nizar dalam keteranagnya di Jakarta, Kamis, 13 Februari 2020.
“Sistem perizinan dan pengawasan yang berbasis online sudah siap. Itu juga yang menjadi alasan untuk membuka kembali pemberian izin sebagai PPIU," tutur dia dilansir dari VIVAnews.
Namun, tidak semua masyarakat dapat mengajukan. Pemberian izin baru tidak berlaku bagi PPIU yang telah dicabut izinnya karena mendapat sanksi hukum terkait penyelenggaraan umrah dan haji khusus.
Izin baru juga tidak bisa diberikan kepada Biro Perjalanan Wisata (BPW) yang pernah melakukan pelanggaran hukum terkait penyelenggaraan umrah dan haji khusus
"Mereka yang telah dinyatakan melakukan pelanggaran hukum dan memiliki kekuatan hukum tetap tidak dapat mengajukan izin," katanya.
Menurut dia, ini upaya preventif dan pelindungan agar masyarakat terhindar dari perbuatan pihak-pihak yang tidak punya niat baik. Juga agar memberikan efek jera kepada mereka dan tidak ditiru oleh yg lain.
Ada 13 syarat yang harus dipenuhi
"Saya telah bersurat ke Kepala Kanwil Kemenag Propinsi seluruh Indonesia agar melakukan persiapan terhadap sarana dan sumber daya manusia berkaitan dengan dicabutnya moratorium ini," tutur Nizar.
Untuk mendukung pelaksanaan KMA tersebut, telah diterbitkan Keputusan Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah No 100 Tahun 2020 tentang Persyaratan Rekomendasi Izin Operasional sebagai Penyelenggara Perjalanan Ibadan Umrah (PPIU).
Direktur Bina Umrah dan Haji Khusus Arfi Hatim mengatakan, Kepdirjen ini harus menjadi panduan bagi Kantor Wilayah Kementerian Agama dalam memberikan rekomendasi penerbitan izin.
Karena itu, pihaknya akan segera menggelar sosialisasi kepada para Kanwil terkait substansi KMA dan Kepdirjen ini agar dapat dipahami dan dilaksanakan dengan baik.
“Dengan Kepdirjen ini, pemberian rekomendasi izin yang menjadi kewenangan Kanwil akan dilakukan secara obyektif, transparan, dan terukur,” ujar Arfi Hatim.
Kepdirjen ini mengatur syarat dan prosedur pemberian rekomendasi izin oleh Kepala Kanwil Kemenag Provinsi. Ada 13 syarat yang harus dilengkapi oleh BPW yang akan mengajukan permohonan rekomendasi izin.
Selain verifikasi dokumen persyaratan, kata Arfi, Kanwil juga harus melakukan peninjauan lapangan, cek rekam jejak pelanggaran hukum, dan koordinasi dengan instansi terkait sebelum menerbitkan izin rekomendasi izin operational sebagai PPIU.
"Surat rekomendasi izin operasional sebagai PPIU ditandatangani oleh Kepala Kanwil Kemenag Provinsi dan tidak bisa diwakilkan," tandasnya.
Moratorium izin Baru PPIU telah diberlakukan sejak 2018. Saat ini, PPIU yang memiliki izin dari Kemenag berjumlah 979 PPIU.
Persyaratan tersebut adalah:
1. Fotokopi akte notaris pendirian perseroan terbatas dan/atau perubahannya sebagai BPW,
2. Fotokopi KTP pemilik saham, komisaris, dan direksi. "Semuanya harus WNI dan beragama Islam," tandas Arfi.
3. Surat pernyataan bermaterai pemilik saham, komisaris, dan direksi bahwa perusahaan tidak pernah melakukan pelanggaran hukum terkait penyelenggaraan umrah dan haji khusus. 4. Pernyataan bermaterai bahwa tidak pernah dan tidak sedang dikenai sanksi atas pelanggaran hukum dalam penyelenggaraan umrah dan haji khusus.
5. Fotokopi sertifikat hak milik atau perjanjian sewa kantor paling singkat empat tahun yang disahkan notaris
6. Surat keterangan domisili perusahaan dari Pemerintah Farrah
7. Fotokopi pengesahan tanda daftar usaha pariwisata
8. Dokumen laporan kegiatan usaha paling singkat dua tahun sebagai BPW
9. Fotokopi sertifikat usaha jasa perjalanan wisata dengan kategori BPW yang masih berlaku
10. Struktur Organisasi BPW yang ditandatangani Direktur Utama dan dibubuhi cap perusahaan
11. Fotokopi Surat kontrak kerja karyawan BPW
12. Dokumen laporan keuangan perusahaan dua tahun terakhir yang diaudit akuntan publik yang terdaftar di Kementerian Keuangan dengan opinion Wajar Tanpa Pengecualian.
13. Fotokopi surat keterangan fiskal dan fotokopi NPWP atas nama perusahaan dan pimpinan perusahaan.