Jika Mau Pulangkan WNI Eks ISIS, 7 Poin Ini Perlu Dipertimbangkan
- vstory
VIVA – Presiden Joko Widodo (Jokowi) menolak rencana pemulangan warga negara Indonesia (WNI) eks ISIS dari Suriah ke Indonesia. Namun, itu merupakan pandangan pribadi Jokowi karena keputusan soal itu masih harus dibahas dalam rapat terbatas.
Direktur Eksekutif The Indonesian Democracy Initiative (TIDI) Arya Sandiyudha melihat dengan dasar studi perbandingan negara-negara demokrasi menghadapi internasional, Indonesia bukan satu-satunya yang menghadapi dilema. Tapi, banyak negara dunia juga mengalami hal sama.
“Maka wajar kalau Presiden Jokowi juga dilematis dan meski sudah menyatakan pendapatnya, namun menyebutkan masih akan membicarakan di rapat terbatas,” kata Arya kepada VIVA pada Kamis, 6 Februari 2020.
Arya mengatakan, Amerika Serikat dan negara-negara di seluruh dunia berhadapan dengan pertanyaan yang sama, yakni apakah warga negara mereka yang bergabung dengan ISIS atau organisasi teroris dan kembali ke negara asal diizinkan.
“Banyak kasus di Barat baik pria, wanita dan anak-anak meninggalkan rumah mereka untuk bergabung dengan ISIS atau organisasi teroris serupa di Suriah atau Turki, mereka ingin pulang,” ujar pengamat politik internasional ini.
Tujuh catatan untuk pemerintah
Arya mengatakan, ada tujuh catatan berdasarkan studi perbandingan kebijakan negara-negara demokrasi dunia. Pertama, tren keinginan mereka untuk kembali ini bertepatan dengan kekalahan yang diderita ISIS di wilayah Suriah dan Irak, terutama yang semakin lemah kendalinya.
“Pemerintah RI perlu memeriksa apakah motif kembalinya hanya karena kalah perang atau perubahan keyakinan dan kesadaran secara mendasar?" katanya.
Kedua, di Amerika Serikat misalnya, Arya mengatakan, sempat berargumen bahwa negara-negara harus mengambil kembali mereka daripada membiarkannya bebas untuk bertindak di luar sana.
“Pemerintah RI perlu menganalisa bagaimana dampak dari ditolaknya mereka. Apakah mereka nanti jadinya akan terus terjebak dalam lingkungan teroris, mengipasi api pemberontakan global, dan menjadi magnet bagi warga dunia, termasuk jalur komunikasi dengan warga negara asalnya,” ujarnya.
Arya menambahkan, banyak negara-negara lain yang lebih khawatir dengan ancaman eks ISIS yang kembali nanti berpotensi melakukan terorisme secara domestik. Pemerintah RI perlu mempelajari ini.
“Sel-sel terorisme domestik sekarang pun banyak berasal dari alumni-alumni atau veteran perang besar di masa sebelumnya, seperti perang Afghanistan dan lainnya,” ujar dia.
Lebih lanjut Arya mengatakan, belajar dari kasus AS dan negara-negara Barat, mereka memilih untuk memeriksa fakta spesifik tentang personel yang terlibat ISIS. Kelima, kebijakan pilihan untuk mencabut atau memberikan kembali kewarganegaraan.
“Dalam hukum AS, individu dapat kehilangan kewarganegaraannya apabila bergabung dengan tentara atau kelompok bersenjata asing. Namun, AS belum berusaha mencegah pejuang asing kembali dengan menghapus kewarganegaraan mereka. Jadi setiap negara memiliki kebijakan yang berbeda mengenai mereka yang kembali,” tuturnya.
Keenam, Arya bilang, Resolusi Dewan Keamanan PBB terkait tanggung jawab negara sedunia untuk bertanggung jawab menanggulangi terorisme. Ketujuh, respons negara beragam biasanya didorong oleh politik keamanan dalam negeri masing-masing.
“Catatan ini menurut saya layak dipertimbangkan pemerintah RI untuk menimbang posisi Indonesia secara utuh, baik tanggung jawab domestik atau internasional dalam menghadapi isu ini. Presiden Jokowi dan pemerintah Indonesia harus menimbang segala aspek dengan hati-hati demi mengatasi risiko dan dampak dari warga negara yang terlibat ISIS,” ucapnya.