Prosedur OTT Wahyu Setiawan oleh KPK Dipertanyakan
- ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
VIVA – Tim Satgas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melakukan operasi tangkap tangan (OTT) kepada mantan Komisioner KPU RI, Wahyu Setiawan. Namun, OTT yang dilakukan KPK terhadap Wahyu malah dipertanyakan dan banjir kritikan.
Karena Undang-undang baru sudah berlaku, yakni Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).
Wahyu ditangkap KPK terkait kasus dugaan suap pergantian antarwaktu (PAW) calon anggota legislatif dari PDI Perjuangan, yaitu Harun Masiku untuk periode 2019-2024. Diduga Wahyu meminta uang sebesar Rp900 juta untuk lobi meloloskan Harun menggantikan Riezky Aprilia.
Prosedur tangkap tangan dipertanyakan
Pakar hukum pidana Chairul Huda mengatakan, sejak berlakunya UU baru KPK, maka seluruh proses hukum yang dilakukan KPK itu harus mengacu kepada beleid tersebut.
“Yang perlu kita tanyakan atau kritisi lebih jauh, bagaimana tiba-tiba bisa melakukan OTT? Boleh jadi sebelumnya ada penyadapan karena KPK melakukan OTT sebelumnya ada penyadapan,” kata Huda saat dihubungi VIVA pada Senin, 13 Januari 2020.
Dia mengaku mendapat informasi surat perintah penyelidikannya tanggal 20 Desember 2019, bertepatan dengan pelantikan Komisioner KPK yang baru periode 2019-2023. Dengan begitu, bagaimana mungkin komisioner yang sudah berakhir masa tugasnya menandatangani surat perintah penyelidikan.
“Harusnya tidak lagi berwenang karena sudah ada komisioner baru yang akan dilantik pada hari yang sama, pada waktu surat penyelidikan itu ditandatangani,” ujarnya.
Menurut dia, dalam regulasi baru juga menyebutkan bahwa penyadapan itu harus izin dari dewan pengawas (dewas). Sementara dewan pengawas pada waktu dilakukan penyadapan kasus Wahyu itu belum terbentuk.
“Jadi OTT ini patut dipertanyakan, landasan hukum dan buktinya apakah diperoleh secara sah atau tidak. Kalau didasarkan pada penyadapan yang tidak atas izin dewan pengawas, maka tidak sah karena UU sudah berlaku,” ujarnya.
Harusnya, kata dia, KPK menunggu jangan melakukan tindakan apapun apabila dewan pengawas belum diangkat dan dilantik sebagaimana Undang-undang KPK yang baru. Sehingga, tidak terjadi pertentangan dengan regulasi tersebut.
Aneh bin ajaib
Menurut Huda, OTT yang dilakukan KPK terhadap Wahyu sangat aneh bin ajaib. Karena, masih beranggapan bahwa Komisioner KPK adalah penegak hukum. Padahal, kata dia, menurut UU KPK yang baru, tidak lagi sebagai penegak hukum.
“Dia (Komisioner KPK) cuma pejabat administratif saja. Jadi, tidak berwenang kalau sudah ada penetapan terhadap komisioner yang baru, apalagi di hari pelantikan (Komisioner KPK Firli Bahuri Cs), kan konyol sekali,” kata Huda.
Harusnya, kata dia, Ketua KPK periode 2015-2019 Agus Rahardjo dan kawan-kawan menolak tidak bisa menandatangani surat perintah penyelidikan tersebut karena mau ada pelantikan Komisioner KPK yang baru.
“Ajukan kepada komisioner yang baru, itu baru benar,” ujarnya.
Baca juga:
Pengakuan Istri Tega Bunuh Hakim Jamaluddin
Imbas Banjir Jakarta, Penyewa Mal Ingin Temui Anies dan Minta Ini
Rawan digugat praperadilan
Meski Huda menilai ada kesalahan yang dilakukan KPK dalam OTT terhadap Wahyu, tapi perlu diuji apakah sah atau tidaknya melalui gugatan praperadilan. Namun, dari fakta-fakta yang ada dan informasi diterima bahwa penangkapan tersebut penuh kejanggalan.
“Pertama adalah dilakukan OTT. Tidak mungkin OTT dilakukan seperti menangkap copet di pasar, teriakin orang kan. Pasti sebelumnya ada penyadapan. Nah, kalau penyadapan atas perintah dan izin siapa? Sementara ada UU yang baru yang menentukan penyadapan harus lewat izin dewan pengawas,” ujarnya.
Menurut dia, ada celah bagi Wahyu yang ditetapkan sebagai tersangka untuk mengajukan gugatan praperadilan terhadap KPK. Terlepas dari fakta bahwa benar ada transaksi suap menyuap.
“Tapi persoalannya ada prosedur hukum yang harusnya ditaati. Menegakkan hukum itu harusnya menaati aturan hukum. Firli dkk harus segera melakukan pembenahan,” ujarnya.
Evaluasi OTT
Pakar hukum pidana Hibnu Nugroho mengatakan, KPK perlu melakukan evaluasi terhadap OTT. Menurut dia, segala ketentuan kegiatan penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan KPK harus sesuai dengan perintah UU KPK yang baru.
“Sehingga, perkara OTT terhadap Komisioner KPU mesti dievaluasi, baik dalam aspek tata kelola manajemen termasuk aspek UU yang baru,” kata Hibnu saat dihubungi VIVA.
Menurut dia, segala upaya paksa baik penyadapan, penggeledahan dan penyitaan barang bukti harus mendapatkan izin dari Dewas KPK sebagaimana amanat UU KPK yang baru.
“Materinya lama tapi sistem hukum yang baru, itu harus dibedakan antara substansi perkara dan hukum formalnya karena hukum formal itu untuk melindungi hak-hak masyarakat,” ucap dia.