Soal Ratna Sarumpaet, yang Baru Bebas dari Penjara karena Kasus Hoax
- reporter
VIVA – Ratna Sarumpaet, aktivis hak asasi manusia (HAM) sudah menghirup udara segar usai permohonan pembebasan bersyaratnya dikabulkan. Ia divonis dua tahun penjara atas kasus penyebaran berita bohong alias hoax.
Ratna keluar dari Lapas Perempuan Klas II A Pondok Bambu, Jakarta Timur pada Kamis, 26 Desember 2019. Ia menginap di hotel prodeo selama 15 bulan sejak Oktober 2018. Kini, Ratna bebas setelah mendapat remisi Hari Raya dan 17 Agustus dari Kementerian Hukum dan HAM.
Nah, siapa sih Ratna Sarumpaet yang ternyata juga pernah tidur di balik jeruji besi pada era Presiden Soeharto dan bagaimana sepak terjangnya dalam memperjuangkan hak asasi manusia maupun karyanya di bidang seniman?
Seniman
Ratna lahir di Tarutung, Tapanuli Utara pada 16 Juli 1949 (70 tahun). Ia seniman yang banyak menggeluti dunia panggung teater, juga aktivis organisasi sosial. Ternyata, memang Ratna punya darah aktivis hak-hak wanita dari ibunya.
Ratna merupakan anak dari pasangan Saladin Sarumpaet, Menteri Pertanian dan Perburuhan dalam kabinet Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan Julia Hutabarat, seorang aktivis hak-hak wanita.
Saat remaja, ia pindah ke Jakarta untuk belajar dan menyelesaikan sekolah menengahnya di PSKD Menteng. Dalam biografinya, Ratna sangat percaya diri karena pernah menikmati menulis puisi dan membacanya dengan suara keras.
Pada 1969, ia belajar arsitektur di Universitas Kristen Indonesia. Di sinilah, Ratna melihat penampilan Kasidah Berzanji oleh suatu kumpulan yang dipimpin oleh W.S. Rendra, sehingga ia memutuskan keluar dari universitas dan bergabung dengan grup tersebut.
Tahun 1974, ia mendirikan Teater Satu Merah Panggung, yang melakukan adaptasi karya-karya asing, seperti Rubaiyat Omar Khayyam serta Romeo and Juliet dan Hamlet karya William Shakespeare. Terakhir, Ratna memainkan peran tituler.
Meski sukses dalam karya-karya di bidang seni, namun Ratna harus cerai dengan suaminya Ahmad Fahmy Alhady. Dari pernikahan ini, ia dikaruniai empat orang anak, yaitu Mohamad Iqbal (1972), Fathom Saulina (1973), Ibrahim (1979) dan Atiqah Hasiholan (1982).
Tahun 1991, Ratna mulai sebagai sutradara dengan serial televisi Rumah Untuk Mama yang disiarkan di stasiun televisi milik pemerintah TVRI. Pada tahun ini juga, ia mengadaptasi Antigone suatu tragedi oleh penulis Prancis Jean Anouilh, dalam latar Batak.
Aktivis
Ratna memilih kesenian sebagai alat perjuangan ketika kuliah di Fakultas Teknik Arsitektur dan Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia. Memang, banyak karya yang dilahirkan Ratna berpihak pada orang-orang kecil dan marginal.
Selain itu, ia mengupas secara terbuka masalah-masalah kemanusiaan, kebenaran dan keadilan serta mempertanyakannya secara frontal ke hadapan pemerintah. Ia juga mendirikan Satu Merah Panggung.
Baca juga:
2 Pelaku Penyiraman Air Keras ke Novel Baswedan Ditangkap
Hujan Lebat Bakal Guyur Wilayah Ini saat Malam Tahun Baru
Di tengah kesibukannya sebagai aktivis HAM, Ratna berhasil menulis sembilan naskah drama yang membuatnya terkenal dalam bidang tersebut. Nah, naskah yang ditulis itu seluruhnya memprotes ketidakadilan pemerintah yang cenderung menindas kaum kecil dan kelompok minoritas. Di era 90-an, Ratna dikenal karena terlibat sebagai aktivis dalam kasus Marsinah dan membela penderitaan rakyat Aceh yang terjebak dalam perang antara TNI dan GAM.
Selain itu, ia mendirikan Ratna Sarumpaet Crisis Centre (RSCC) yang konsisten membantu mereka yang membutuhkan dalam persoalan apa pun, mulai dari kelaparan, korupsi, KDRT dan lain-lain.
Dipenjara era Soeharto
Saat kampanye Pemilu 1997, Ratna bersama kelompok teaternya bergabung dengan kampanye Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Saat itu, ia sempat dikurung kepolisian di sepanjang Jalan Warung Buncit karena mengusung keranda bertuliskan 'Demokrasi'. Akhirnya, Ratna dan kawan-kawan sempat ditangkap dan diinterogasi selama 24 jam.
Pada akhir 1997, Ratna memutuskan melakukan perlawanan karena lelah dijadikan objek intimidasi aparat. Maka, ia menghentikan sementara kegiatannya sebagai seniman.
Setelah itu, Ratna menggalang 46 LSM dan organisasi pro demokrasi di rumahnya dengan bentuk aliansi bernama Siaga. Sebagai organisasi pertama yang secara terbuka menyerukan agar Soeharto turun, Siaga menjadi salah satu organisasi paling diincar oleh aparat.
Menjelang Sidang Umum MPR pada Maret 1998, ketika pemerintah mengeluarkan larangan berkumpul bagi lebih dari lima orang, Ratna bersama Siaga justru menggelar sebuah Sidang Rakyat 'People Summit' di Ancol.
Lagi-lagi, kegiatan ini dikepung aparat dan Ratna bersama kawan-kawannya ditangkap serta ditahan dengan banyak tuduhan salah satunya makar. Akhirnya, Ratna ditahan di Polda Metro Jaya.
Sepuluh hari terakhir berada di LP Pondok Bambu, gerakan mahasiswa dan rakyat yang mendesak agar Soeharto turun terus memuncak. LP Pondok Bambu dijaga ketat karena mahasiswa mengancam ingin bebaskan Ratna. Setelah 70 hari dalam kurungan, sehari sebelum Soeharto resmi lengser, Ratna dibebaskan.
Kemudian pada 2013, Ratna bersama MKRI pernah menuntut Susilo Bambang Yudhoyono dan Budiono lengser dari jabatannya sebagai presiden dan wakil presiden lantaran dinilai belum bisa menyelesaikan banyak hal. Dia kembali jadi sorotan pada akhir 2016 lantaran disebut sebagai salah satu tokoh makar terhadap negara bersama dengan sembilan tokoh lainnya, namun dia dibebaskan saat itu.
Dan pada September tahun lalu, namanya mencuat lagi karena kasus penyebaran berita hoax. Ratna yang saat itu menjadi pendukung pasangan calon presiden dan wakil presiden Prabowo-Sandiaga mengaku dikeroyok di Bandara Husein Sastranegara Bandung. Hal itu membuat Prabowo dan Gerindra membelanya.
Ketika dilakukan penyelidikan, ternyata lebam di wajah Ratna akibat sisa operasi pengencangan kulit, bukan karena pengeroyokan. Akibat menyebarkan kabar hoax, Ratna dihukum dua tahun penjara. Namun 15 bulan dibui, dia bebas setelah mendapat remisi dari Kementerian Hukum dan HAM.
Rilis Buku
Usai menghirup udara segar pada 26 Desember 2019 lalu, Ratna mengaku siap untuk kembali melanjutkan kegiatannya. Bahkan, selama di dalam penjara, Ratna menulis sebuah buku yang rencananya akan dirilis pada bulan Januari mendatang. Selain itu. dia juga akan membuat sebuah pertunjukan teater dan membuat film.
"Ada buku yang belum saya selesaikan waktu di tahanan, itu akan saya selesaikan bulan ini, insya Allah bulan depan terbit. Kalau selebihnya sih enggak kepikiran dulu. Mungkin mau bikin teater, mungkin mau bikin film,” kata Ratna di kediamannya di kawasan Bukit Duri, Jakarta Selatan.
Buku tersebut adalah buku autobiografi tentang bagaimana Ratna Sarumpaet melihat dunia. Buku yang belum diketahui judulnya itu menjadi pembuktian tentang sikapnya selama ini.
"Ini buku autobiografi tentang bagaimana melihat Indonesia melalui kacamata saya selama ini. Orang kan selalu mikir kenapa si Ratna ini aneh sendiri, cerewet sendiri. Saya ingin luruskan. Saya ingin kita punya satu pemahaman dengan apa yang saya lihat,” tuturnya.