Logo BBC

15 Tahun Tsunami Aceh: Saya Yakin Anak Saya Masih Hidup

Saudah dan suaminya menunjukkan foto putra mereka, Muhammad Siddiq, yang tersapu gelombang tsunami pada tanggal 26 Desember 2004. - Hidayatullah
Saudah dan suaminya menunjukkan foto putra mereka, Muhammad Siddiq, yang tersapu gelombang tsunami pada tanggal 26 Desember 2004. - Hidayatullah
Sumber :
  • bbc

Seorang ibu yang kehilangan dua orang anaknya dalam bencana tsunami dahsyat di Aceh pada tahun 2004 yakin bahwa salah satu di antara mereka, putra bungsunya, masih hidup dan ia pun tak henti-hentinya mencari.

Hidayatullah, wartawan di Aceh yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, mencari keberadaan keluarga Saudah yang pernah menjadi narasumber BBC lima tahun silam.

Waktu itu, Saudah, warga Punge Blang Cut, Banda Aceh, yakin betul anaknya masih hidup sehingga terus berharap dan terus mencarinya.

Saudah menempati rumah di pinggir pantai dan di depan rumahnya, di lahan sekitar 200 meter persegi, terdapat dua unit kapal yang bersandar secara paksa setelah diseret gelombang tsunami Aceh tahun 2004, yakni Kapal Penjaga Laut dan Pantai (KPLP) dan kapal Administrasi Penjaga Laut Malahayati.

Saudah yang kini telah berusia 59 tahun, mengaku ingatannya mulai memudar, matanya kini telah mulai rabun karena dimakan usia. Namun ia masih ingat betul bagaimana gemuruh gelombang pasang tsunami menghantam badannya kala itu.

"Saat itu saya mendengar suara riuh, saya pikir itu hanya suara angin, tapi setelah keluar dari rumah terlihat jelas air setinggi rumah tingkat dua sedang bersiap untuk menghantam rumah dan apa yang ada di sekitarnya," kenang Saudah.

Saudah adalah seorang ibu dengan delapan orang anak. Dari kedelapan buah hatinya itu, dua orang menjadi korban tsunami 15 tahun silam, anak ketiga Titin Agustina dan putra bungsunya Muhammad Siddiq. Saat tsunami datang putra bungsunya masih berusia enam tahun.

"Begitu melihat air saya lari sambil menggendong Siddiq. Berkali-kali anak itu minta turun dari gendongan agar bisa berlari sendiri, tapi saya tidak pernah melepasnya dari pelukan, sampai hantaman air yang memisahkan kami," kisah Saudah dengan suara serak dan matanya yang mulai sembab.

Hampir sepanjang wawancara ia menangis, bahkan wawancara sempat dihentikan beberapa kali sambil menunggu Saudah menyeka air mata. Dalam gempa dan tsunami yang terjadi di Provinsi Aceh pada tahun 2004 lalu, sedikitnya 280.000 jiwa menjadi korban.

Rohmatin Bonasir Wartawan BBC News Indonesia

Saya bertemu Saudah secara tidak sengaja ketika mengambil gambar dua kapal yang terdampar di depan rumahnya menjelang peringatan 10 tahun tsunami Aceh. Ia duduk termenung di teras rumahnya yang bercat hijau. Dengan derai air mata, ia pun mengungkapkan derita dan kepedihan hati sejak kehilangan sang putra, Muhammad Siddiq, dari dekapan untuk selamanya.

Saudah mengaku menyesal mengapa ia tidak menuruti kemauan Siddiq untuk turun dari gendongan agar bisa berlari dari kejaran ombak. Rumahnya yang hanya berjarak beberapa ratus meter dari pinggir pantai juga hanyut.

Tak genap satu tahun pasca tsunami di atas tanah itu pula, Saudah bersama keluarga kembali mendirikan rumah meskipun lokasi itu rawan tsunami. Langkah tersebut dilakukan semata atas keyakinan putra bungsunya masih hidup dan suatu hari mungkin akan mencari keluarganya di tempat yang sama.

Apa yang ia ceritakan sekarang konsisten dengan penuturannya pada peringatan tsunami tahun 2014 lalu.

Korban-korban tsunami dimakamkan di belasan kuburan massal yang tersebar di seluruh Aceh. Pada tahun 2010, korban yang belum terindentifikasi mencapai 170.000 jiwa.

Menurut Asisten II Pemerintah Provinsi Aceh, Teuku Ahmad Dadek, hingga kini masih ada 70.000 nama yang belum diketahui nasibnya.

Setiap momentum peringatan tsunami yang menyapu daratan Aceh pada 26 Desember, Saudah dan keluarga selalu datang ke kuburan massal yang berada di kawasan pantai Lampuuk, Aceh Besar, untuk menziarahi anak ketiganya yang menjadi korban kala itu.

Mereka sekeluarga hanya datang berziarah ke satu tempat ini, karena alasan sebuah mimpi yang meyakinkan mereka bahwa anak ketiganya berada di area kuburan massal korban tsunami tersebut.

"Titin sering datang dalam mimpi adik-adiknya. Ia meminta kami untuk sering datang dan menjenguk dia di kuburan massal pantai Lampuuk, karena itu kami hanya datang ke satu tempat," kata Saudah.

`Masih ada harapan`

Saudah mengatakan jika masih hidup, anak bungsunya kini sudah berusia 21 tahun.

Sebuah foto pernikahan anak pertamanya di Medan, Sumatera Utara pada tahun 2003 merupakan satu-satunya dokumen yang ada Muhammad Siddiq didalamnya.

"Dulu kami sudah mencarinya ke mana-mana, sampai ke sebuah yayasan panti asuhan di Sumatera Utara, tapi belum berhasil menemukannya. Namun ayahnya pernah bermimpi kalau Siddiq masih hidup dan dia diasuh oleh seseorang di Jakarta," kata Saudah.

Saudah sekeluarga mengaku masih mencari keberadaan anak bungsunya sampai saat ini dan mengaku tak patah arang. Bahkan abang dan kakak kandungnya amat sangat sering berselancar di media sosial untuk mencari nama yang sama dengan adiknya.

"Dalam mimpi mama dan ayah masih sering menggendong kamu, bahkan baru-baru ini kamu datang kembali dalam mimpi sambil pulang ke rumah, keyakinan itulah yang kami pegang bahwa engkau masih hidup," harapnya.

Di usia yang semakin lanjut, Saudah dan keluarga tidak pernah menginginkan apapun lagi, selain sebuah harapan untuk kepulangan seorang anak.

"Jika kau masih hidup pulanglah anakku, mama dan ayah masih menunggu kedatanganmu. Kami begitu rindu dan ingin memeluk tubuhmu. Semoga Allah memperkenankan pertemuan kita sebelum mama dan ayah bertemu dengan ajal," isak tangis Saudah semakin tidak terbendung kala mengingat Siddiq.


- BBC