Deretan Kebijakan Jokowi Paling Kontroversial Sepanjang 2019

Presiden Joko Widodo.
Sumber :
  • VIVA/Muhamad Solihin

VIVA – Tahun ini menjadi periode kedua Presiden Joko Widodo (Jokowi) memimpin Republik Indonesia hingga 2024 mendatang. Mantan gubernur DKI Jakarta ini pun telah mengeluarkan sejumlah kebijakan yang menjadi kontroversi sepanjang 2019. 

Dukungan Jokowi ke Ridwan Kamil Disebut Lebih Kuat daripada Anies ke Pramono

Kebijakan yang paling disoroti pada era kepemimpinan Jokowi tahun 2019, di antaranya soal kenaikan tarif iuran Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan Timur dan program kartu pra kerja.

Selain itu, Jokowi juga membuat kaget masyarakat karena memberikan grasi atau pengurangan masa hukuman bagi terpidana perkara korupsi. Kemudian, menandatangani surat presiden (Surpres) mengenai revisi Undang-undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dia juga menolak mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) KPK setelah UU KPK disahkan dalam rapat paripurna DPR RI periode 2014-2019.

Jokowi hingga SBY Bakal Ramaikan Kampanye Akbar RK-Suswono Sabtu Besok

Selain itu, keputusan Jokowi dalam mengangkat sejumlah menteri dan staf khusus pada Kabinet Indonesia Maju untuk periode lima tahun ke depan juga disoroti publik. Untuk lebih lengkapnya, mari simak sejumlah kebijakan Jokowi yang memancing kontroversi tersebut:

Tarif iuran BPJS naik

Lagi, Jokowi Endorse Paslon Respati-Astrid dengan Blusukan di Proyek Rel Layang Warisan Gibran

Presiden Jokowi menyetujui kenaikan iuran BPJS Kesehatan per 1 Januari 2020. Hal itu sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 tentang perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.

Alasan iuran BPJS naik untuk meningkatkan kualitas dan kesinambungan program jaminan kesehatan. Maka perlu disesuaikan beberapa ketentuan dalam Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang BPJS Kesehatan. Dalam Pasal 29 disebutkan bahwa peserta penerima bantuan iuran (PBI) jaminan kesehatan dan penduduk yang didaftarkan oleh pemerintah daerah menjadi sebesar Rp42.000 per bulan dari sebelumnya Rp25.500.

Dalam Pasal 34 disebutkan bahwa iuran bagi peserta pekerja bukan penerima upah (PBPU) meningkat menjadi Rp42.000 per orang per bulan dari sebelumnya Rp25.500 untuk ruang perawatan kelas III. Iuran peserta kelas II juga naik menjadi Rp110.000 dari sebelumnya Rp51.000. Sedangkan, untuk kelas I menjadi Rp160.000 dari sebelumnya Rp80.000. 

Petugas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan memberikan informasi kepada warga

Ketentuan dalam Pasal 34 ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2020. Dengan adanya aturan kenaikan iuran BPJS Kesehatan, pemerintah daerah langsung teriak salah satunya Pemerintah Kabupaten Bekasi. Sebab, Pemerintah Kabupaten Bekasi butuh suntikan dana sebesar Rp75 miliar pada APBD 2020 untuk meng-cover 579.944 penerima bantuan iuran (PBI) di Pemerintah Kabupaten Bekasi.

Sementara Mantan Sekretaris BUMN, Muhammad Said Didu menilai kebijakan naiknya iuran BPJS Kesehatan bertolak belakang dengan janji Jokowi saat kampanye Pemilu Presiden. 

“Iuran BPJS naik, listrik naik, subsidi akan dikurangi, tunjangan kinerja pegawai beberapa institusi ditunda pembayarannya adalah contoh kebijakan yang bertolak belakang janji saat kampanye," katanya.

Program Kartu Pra Kerja

Pada kampanye Pemilu Presiden 2019, Jokowi kembali memamerkan program kartu sakti kepada masyarakat, di antaranya Kartu Indonesia Pintar sampai Kuliah (KIP Kuliah), Kartu Sembako Murah dan Kartu Pra Kerja. Khusus Kartu Pra Kerja, Jokowi mengatakan bahwa kartu ini tidak langsung didapatkan masyarakat yang baru lulus jenjang pendidikan karena harus sesuaikan dengan APBN yang diukur tiap tahunnya.

Prabowo Subianto sebagai rival Jokowi saat Pemilu Presiden 2019 pun menyindir program kartu sakti tersebut. Menurut dia, dalam kondisi keuangan Indonesia seperti sekarang, bagi-bagi kartu dan berikan bantuan dana ke rakyat dirasa tak mungkin.

Wacana pengangguran yang akan diberikan Kartu Pra Kerja berisi sejumlah dana sambil menunggu masa kerja, ia menilai itu tidak dapat dilakukan dalam kondisi ekonomi Indonesia saat ini karena tidak ada cukup dana untuk melakukan itu. "Pengangguran kita kasih kerjaan, bukan dibagi duit. Kalau itu (dibagi duit), namanya bohong. Karena duitnya enggak ada," ujarnya.

Sementara Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pemerintah telah menyiapkan anggaran khusus untuk mendukung program Kartu Pra Kerja sebesar Rp10 triliun dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2020. "Kita akan mendesain (APBN) 10 triliun untuk Kartu Pra Kerja," kata Sri Mulyani.

Sedangkan Jokowi menegaskan bahwa Kartu Pra Kerja bukan berarti pemerintah akan menggaji pengangguran seperti isu yang berkembang luas di tengah masyarakat. Jokowi menuturkan bahwa program Kartu Pra Kerja tersebut dialokasikan untuk anak bangsa berusia 18 tahun. Yang menjadi target dari program ini adalah mereka yang sedang mencari pekerjaan, bukan pengangguran. 

Mantan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyambut baik program Jokowi terkait Kartu Pra Kerja yang bakal dimulai Januari 2020. Yang penting, program ini harus bisa dikelola dengan baik, tidak salah sasaran, dan bebas dari kepentingan politik pihak mana pun.

Pemindahan Ibu Kota

Presiden Jokowi telah memutuskan ibu kota rencana akan pindah dari Provinsi Jakarta ke Provinsi Kalimantan Timur, yakni sebagian Kabupaten Penajem Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara. Biaya yang dibutuhkan untuk membangun ibu kota baru mencapai Rp466 triliun.

Jokowi mengatakan, rencana pemindahan ibu kota sudah digagas lama, bahkan sejak era Presiden Soekarno. Alasan dipindah karena beban Jakarta sangat berat sebagai pusat pemerintahan, bisnis, keuangan, perdagangan, jasa, pangkalan udara serta pelabuhan laut yang terbesar di Indonesia.

Selain itu, Jokowi tidak bisa terus-menerus membiarkan beban Jakarta dan Pulau Jawa semakin berat terutama dalam hal kepadatan penduduk, kemacetan lalu lintas, polusi udara. Nah, sahabat Jokowi, yakni Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok selaku mantan Gubernur DKI sempat menolak rencana pemindahan ibu kota negara dari DKI Jakarta ke Kalimantan Timur.

Desain ibu kota baru.

Secara pribadi, Ahok menilai rakyat masih susah sehingga untuk apa menghabikan dana besar hanya gara-gara Jakarta macet, lalu ibu kota pindah. “Jadi kan ini bukan karena ada masalah lalu lari dari masalah, itu pendapat saya. Kalau sini macet ya diatasi dong macetnya. Beli aja bus yang banyak, gratiskan,” kata Ahok.

Mantan Menteri Koordinator Perekonomian, Rizal Ramli menyindir rencana pemindahan ibu kota oleh Jokowi. Menurut dia, pelayanan masyarakat masih belum terselesaikan seperti BPJS Kesehatan.

“Untuk bayar BPJS aja enggak sanggup, kok mindahkan Ibu Kota baru. Pak Jokowi sing eling, bayar BPJS dulu. Naikkan dulu pertumbuhan ekonomi hingga di atas 5 persen dulu. Naikkan gaji guru honorer dulu, baru bicara pemindahan ibu kota,” ujarnya.

Revisi UU KPK dan tolak terbitkan Perppu KPK

Di akhir jabatan periode pertama Jokowi, DPR bersama pemerintah merevisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Akhirnya, ada tujuh poin yang disetujui dan disahkan dalam revisi UU KPK dalam rapat paripurna DPR.

Tujuh poin itu adalah kedudukan KPK sebagai lembaga penegak hukum berada pada rumpun kekuasaan eksekutif, pembentukan dewan pengawas, pelaksanaan penyadapan melalui izin Dewan Pengawas. Kemudian penerbitan SP3 (penghentian penanganan perkara), koordinasi kelembagaan, mekanisme penggeledahan, penyitaan sampai sistem kepegawaian yang mengharuskan semua personalia KPK berstatus aparatur sipil negara (ASN).

Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif menyesalkan disahkannya revisi UU KPK. Menurut dia, UU 30/2002 tentang KPK yang baru disahkan tidak sesuai dengan janji Presiden Jokowi yang ingin perkuat lembaga antirasuah itu. Ia menilai UU KPK malah mengebiri kewenangan komisioner KPK. Apalagi, komisioner KPK bukan lagi penyidik dan penuntut umum dalam UU yang baru.

"Beliau (Jokowi) mengatakan bahwa (KPK) akan diperkuat, tetapi kenyataannya komisioner KPK bukan lagi penyidik dan penuntut umum. Jadi kewenangan komisioner seperti saya, saya tidak bisa lagi memerintahkan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. (Kewenangan) Ini hilang," kata Laode.

Sementara Wakil Ketua KPK Saut Situmorang sempat ingin melawan setiap upaya pelemahan pemberantasan korupsi karena menyangkut kepentingan seluruh rakyat Indonesia. Jokowi sebelumnya mengatakan akan mempertimbangkan menerbitkan Perppu KPK. Namun Jokowi tidak mau menerbitkan Perppu tentang KPK. 

Alasannya, karena menghormati proses judicial review yang tengah berjalan di Mahkamah Konstitusi (MK). Tapi baru-baru ini dia kembali mengatakan bahwa mau melihat lebih dahulu implementasi UU KPK yang baru. 

Beri grasi ke koruptor

Komitmen Presiden Jokowi memerangi kejahatan korupsi di Indonesia masih dipertanyakan. Sebab, Jokowi memberikan grasi terhadap terpidana kasus korupsi suap alih fungsi hutan di Riau, yakni mantan Gubernur Riau Annas Maamun.

Tentu, KPK kecewa dengan keputusan Jokowi yang memberikan pengurangan masa hukuman kepada Annas melalui Keputusan Presiden Nomor 23/G Tahun 2019 tanggal 25 Oktober 2019. 

“Kita tetap menghormati keputusan itu. Beliau sudah menjelaskan secara jelas pertimbangan potongan hukuman. Pokoknya kita tidak mau ikut campur, meski kita kecewa,” kata Wakil Ketua KPK Basaria Pandjaitan.

Annas Maamun

Annas dihukum 7 tahun penjara pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung karena terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan korupsi kasus alih fungsi lahan kebun kelapa sawit di Kabupaten Kuantan Singingi, Riau. Dengan grasi yang diberikan Presiden Jokowi, hukuman Annas dikurangi satu tahun dari semula 7 tahun menjadi 6 tahun, sehingga Annas akan bebas pada 3 Oktober 2020 dari semula 3 Oktober 2021.

Wakil Ketua KPK Saut Situmorang menyarankan Jokowi perbaiki sarana di penjara daripada memberikan grasi kepada narapidana koruptor. Sebab, cara itu lebih elegan daripada karena alasan kesehatan terus dikurangi masa tahanannya.

“Perbaikan sarana penjara bisa dilakukan dengan menyediakan fasilitas kesehatan, olah raga hingga komunikasi khusus dengan keluarga untuk napi yang sudah uzur,” kata Saut.

Penunjukan sejumlah menteri, wakil menteri dan staf khusus

Jokowi telah mengumumkan 34 nama menteri Indonesia Maju untuk periode 2019-2024 di halaman Istana Merdeka, Jakarta Pusat pada 23 Oktober 2019. Ada tiga menteri yang menjadi sorotan karena pernah diperiksa KPK, yakni Menteri Pemuda dan Olahraga Zainuddin Amali; Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Tansmigrasi Abdul Halim Iskandar serta Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziah.

Direktur Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM Zainal Arifin Mochtar mengatakan nama-nama itu belum tentu terlibat korupsi di masa lampau. Tapi, ia menyayangkan presiden tidak mau melibatkan KPK untuk mengecek latar belakang orang-orang yang dipilih menjadi menteri.

“Kalau saya sebagai dosen, saya memberi nilai D (terkait komposisi kabinet). Saya lihat ini lemah banget,” kata Zainal.

Selain itu, Jokowi juga melantik 12 nama wakil menteri. Salah satu wakil menteri yang diangkat dari relawan Jokowi, yaitu Ketua Projo Budi Arie Setiadi menjadi Wakil Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi.

Selanjutnya, Jokowi mengumumkan tujuh nama anak muda yang diangkat menjadi Staf Khusus Presiden. Tapi, ketujuh anak milenial yang jadi Staf Khusus Presiden tidak diberikan tugas khusus oleh Jokowi saat diumumkan.
Tujuh anak muda yang jadi Staf Khusus Presiden, yaitu Angkie Yudistia, Aminuddin Ma’ruf, Adamas Belva Syah Devara, Ayu Kartika Dewi, Putri Indahsari Tanjung, Andi Taufan Garuda Putra dan Gracia Billy Mambrasar.

Presiden Joko Widodo bersama tujuh Staf Khusus dari kalangan milenial.

Sementara, tiga orang wajah lama yakni Anak Agung Gde Ngurah Ari Dwipayana, Sukardi Rinakit dan Diaz Hendropriyono. Sedangkan, dua orang lainnya wajah baru, yaitu Arif Budimanta dan Dini Shanti Purwono.

Nah, Ketua DPP Partai Demokrat Jansen Sitindaon bingung kenapa para Staf Khusus Presiden periode kedua Jokowi ini tidak memiliki tugas kekhususan. Seharusnya, kata dia, Jokowi mengganti juga namanya bukan lagi Staf Khusus Presiden.

"Baru tahu 'staf khusus' tanpa kekhususan. Staf Umum dong namanya. Harusnya gajinya juga yang umum-umum aja. Bukan khusus 51 juta! Tapi terserah kalian aja deh. Negara kan kalian punya. Atur sesuka hati aja. Kalian buat sesuka hati kalian ajalah," ujarnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya