PNS Milenial Terpapar Radikalisme Ibarat Gunung Es

Sejumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) saat pulang kantor dari Balai Kota beberapa waktu lalu.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Aprillio Akbar

VIVA – Fenomena generasi muda atau milenial yang menjadi pegawai negeri sipil (PNS)/aparatur sipil negara (ASN) namun terpapar paham radikalisme seperti gunung es. Hal ini diungkapkan oleh Inspektur Wilayah III Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), Ahmad Rifai.

Wamendagri: Pemerintah Membutuhkan Pelayanan Publik Berkompetensi dan Berkarakter

"Baru satu bulan saja sudah ada 94 aduan. Itu belum yang di bawah-bawah. Jadi kehati-hatian di sini perlu dijaga," katanya di Jakarta, Selasa, 10 Desember 2019.

Berdasarkan hasil survei Alvara Research Centre dan Mata Air Foundation, Rifai mengatakan bahwa 19,4 persen PNS menyatakan tidak setuju dengan ideologi Pancasila dan 23,4 persen mahasiswa setuju dengan jihad untuk tegaknya negara Islam atau khilafah.

Teguh Pastikan ASN Netral di Pilgub Jakarta

Kemudian 18,1 persen pegawai swasta menyatakan tidak setuju dengan ideologi Pancasila. 9,1 persen pegawai BUMN menyatakan tidak setuju dengan ideologi Pancasila. 23,3 persen pelajar SMA setuju dengan jihad untuk tegaknya negara Islam atau khilafah.

"Sangat luar biasa ini fenomena gunung es. Itu riset tahun 2017. Bagaimana tahun ini setelah ada Pilpres? Itu belum diulang lagi data surveinya. Jadi sudah hampir keseluruhan lapisan masyarakat. Kita perlu tahu data-data terupdate supaya bisa mengantisipasi," ujarnya.

PDIP Pelototi Netralitas ASN hingga TNI-Polri di Pilkada Banten

Ia lalu mencontohkan adanya seorang PNS, tepatnya dosen IPB yang sekian puluh tahun mengajar ditangkap karena terpapar radikalisme. Padahal seorang doktor. Rifai mengatakan bisa dilihat semua dari cara mereka mengajarkan kepada milenial yang sedang ghiroh semangat keagamaannya.

"Jadi masuknya di pemikiran-pemikiran seperti itu. Inilah maksud pemerintah diatur supaya antara hak asasi manusia tapi juga tidak diskriminatif. Kan, karena sudah ada peringatan maka sedemikian besar anak muda dengan mudahnya transfer paham radikalisme," tegas Rifai.

Sekretaris Jenderal Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Rosarita Niken Widiastuti mengatakan baru satu bulan Surat Keputusan Bersama (SKB) 11 Menteri tentang pencegahan radikalisme ditandatangani ternyata sudah banyak laporan pengaduan yang masuk.

“Aduan ASN itu pengelolanya adalah Kominfo. Nah, sudah ada 94 pengaduan dalam satu bulan. Kan ditandatanganinya tanggal 11 November. Jadi satu bulan itu sudah 94 pengaduan,” kata Rosarita.

Menurut dia, pengaduan tersebut ada beberapa kategori yakni intoleran ada 33 aduan, anti ideologi Pancasila ada 5 aduan, radikalisme ada 13 aduan dan lainnya mengenai netralitas, ujaran kebencian, penyebar hoaks itu ada 19 aduan.

“Nah, anti NKRI itu ada 25 aduan. Kan aneh ya, kita hidup di NKRI tapi anti-NKRI,” ujarnya. Akan tetapi, Rosarita mengatakan pemerintah masih melakukan pendataan dari 94 aduan itu mana yang dikategorikan paling berat, ringan dan sedang.

Sebab, memang harus dilakukan analisis. Namun, tentu yang paling berat itu anti Pancasila dan anti-NKRI. “Itu sudah sangat berat, karena setia pada Pancasila, UUD RI 1945, NKRI dan pemerintahan yang sah itu merupakan kewajiban pertama dan ada dalam UU tentang ASN. Jadi dua hal itu,” jelas dia.

Menurut Sekretaris Deputi Sumber Daya Manusia Aparatur Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokasi (PANRB), Mudzakir, mengaku adanya SKB 11 Menteri untuk melindungi PNS atau ASN dari paham radikalisme dan intoleran.

"SKB ini untuk melindungi ASN dari bahaya terpapar ideologi ekstrem yang bisa mengancam integritas nasional kita, dan juga bahwa di situ ada mekanisme-mekanisme yang tidak bisa sembarangan seorang PNS dicap radikal dan dihukum," kata Mudzakir.

Ia pun mencoba mengklarifikasi misalnya SKB 11 Menteri terkait portal aduan terhadap PNS atau ASN yang terpapar radikalisme. Sebab, ada kesan pemerintah atau negara ingin membungkam.

"Di situ pembuat akun yang melaporkan itu harus clear, siapa yang melaporkan yaitu pembuatan akun diverifikasi dengan pembuatan imel dan juga nomor induk kepegawaian. Itu tidak bisa main-main," ujarnya.

Kedua, Mudzakir mengatakan dia juga harus melampirkan bukti baik itu foto, video, teks dan sebagainya untuk diupload selanjutnya nanti akan diverifikasi. Kemudian, terlapor pun masih diberikan pertahanan untuk upaya pembelaan.

Menurut dia, kalau mekanisme yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 disebutkan apabila ada PNS yang diduga melakukan pelanggaran disiplin berat misalnya, dalam hal ini melanggar kesetiaan terhadap Pancasila, UUD 1945, NKRI dan pemerintahan yang sah. Maka akan dibentuk tim pemeriksa.

"Nah di situ yang bersangkutan akan dipanggil, maka ada kesempatan untuk membela diri. Kalau misalnya keputusan itu dianggap tidak tepat, ada mekanisme untuk upaya hukum misalnya menggugat melalui PTUN," jelas dia.

Jadi, Mudzakir menegaskan tidak ada upaya pemerintah untuk membungkam atau melakukan kesewenang-wenangan baik dari sisi portal aduannya maupun mekanisme penjatuhan hukuman sesuai dengan peraturan pemerintah tentang disiplin PNS atau ASN.

"Dari SKB ini ada taskforce, nanti akan meneliti, memvalidasi laporan-laporan itu. Intinya, SKB 11 Menteri penguatan dari aturan yang sudah ada," ungkap Mudzakir.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya