Dibanding Beri Grasi ke Napi Koruptor, Jokowi Diminta Lakukan Ini
- ANTARA Foto/Agus Bebeng
VIVA – Presiden Joko Widodo atau Jokowi memberikan grasi kepada terpidana kasus korupsi mantan gubernur Riau Annas Maamun. Keputusannya itu membuat kecewa sejumlah pihak.
Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Bukhori Yusuf mengatakan bahwa keputusan Jokowi tidak bisa diterima. Alasan kemanusiaan yang disampaikannya Jokowi meski dijamin oleh Undang-udang Dasar (UUD) 1945 untuk memberikan grasi kepada Annas, menurut dia, sangat subyektif.
"Alasan yang sangat subyektif, yang kemudian tidak bisa diterima semua pihak. Alasan kemanusiaan itu kan subyektif," kata dia dalam diskusi di Jakarta, Minggu, 8 Desember 2019.
Menurut Buhkori, banyak narapidana di lembaga pemasyarakatan (lapas) yang juga menderita sakit dan berusia lanjut, bahkan lebih tua dibanding Annas. Misalnya, dia mencontohkan, terpidana terorisme Abu Bakar Baasyir yang usianya juga sepuh.
Menurut dia, grasi yang diberikan Jokowi karena ada pertimbangan dari Mahkamah Agung (MA) tidak bisa diterima. Dia bahkan mengatakan, banyak masyarakat kecewa kepada MA lantaran dianggap tidak pro terhadap pemberantasan korupsi karena kerap meringankan hukuman koruptor.
"Kita lihat track putusan MA (atas kasasi kasus korupsi). Berapa putusan diskon lewat KPK, kasasi? Sudah 18 selama tiga tahun terakhir," ujarnya.
Akibat grasi dari Jokowi, Annas yang seharusnya baru bebas pada 3 Oktober tahun 2021, akan bebas setahun lebih cepat. Dia akan menghirup udara segar pada 3 Oktober 2020.
Perbaiki fasilitas penjara
Sementara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta Jokowi lebih baik memperbaiki fasilitas penjara dibanding memberikan grasi kepada narapidana koruptor karena alasan kemanusiaan.
"Itu lebih elegan daripada karena alasan kesehatan, dikurangi masa jabatannya. Cara itu lebih elegan, yaitu memperbaiki sarana penjara," kata Wakil Ketua KPK Saut Situmorang.
Dia menuturkan, perbaikan yang bisa dilakukan, seperti menyediakan fasilitas kesehatan, olahraga hingga komunikasi khusus dengan keluarga untuk napi lanjut usia. Dengan begitu, kebutuhan fisik maupun psikologis mereka tetap terpenuhi tanpa harus mengurangi hukumannya.
Menurut Saut, pemerintah bisa melakukan itu. Terpenting adalah komitmen untuk melakukan penegakan hukum dalam memberantas korupsi, bukan malah memberi grasi kepada koruptor.
"Kita tidak punya uang? Ada kon, uang ada. Tinggal bagaimana kita mau buat seperti itu atau tidak?" ujar Saut.