Riset IFJ-AJI: Kekerasan Masih Jadi Ancaman Serius Jurnalis Indonesia

Ilustrasi-Aksi menentang kekerasan terhadap jurnalis
Sumber :
  • ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat

VIVA – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia bekerja sama dengan International Federation of Journalists (IFJ) telah menggelar riset keamanan jurnalis dan kondisi kerja di Asia Tenggara.  

Respons Dasco soal Pernyataan Megawati Ada Pengerahan Aparat di Pilkada Jawa Tengah

Hasil riset yang diikuti 511 responden jurnalis dari Indonesia tersebut, menyebutkan kekerasan yang terjadi karena kerja-kerja jurnalistik masih menjadi ancaman terbesar bagi jurnalis di Indonesia.

Selain itu, intimidasi yang ditujukan tidak hanya kepada jurnalis tetapi juga kepada orang-orang dekat, termasuk keluarga serta kekerasan fisik adalah dua bentuk ancaman tertinggi lain yang menghambat kemerdekaan pers.

Sahroni Ungkap Alasan Ivan Sugianto Dekat dengan Aparat Polisi, untuk Bekingan?

Hal ini tergambar dalam riset yang menyoroti kebebasan pers di Asia Tenggara, yang dikerjakan oleh International Federation of Journalists (IFJ) dan Serikat Jurnalis Asia Tenggara (South East Asia Journalists Unions/SEAJU). AJI Indonesia adalah afiliasi IFJ dan merupakan bagian dari SEAJU.

Studi bertajuk Holding the Line: South East Asia Media Freedom Report 2019 ini diluncurkan pada 23 November 2019, yang juga menjadi momentum 10 tahun pembunuhan massal Ampatuan di Filipina yang menewaskan 58 orang, termasuk 32 jurnalis.

Seru! Hasan Basri Singgung Aparat Negara Cawe-cawe Untungkan Bobby Nasution: Jadi Aja Timses

Riset ini menunjukkan bahwa 67 persen dari total responden merasa tidak aman. Kekerasan, baik fisik dan non fisik tetap menjadi ancaman serius bagi jurnalis di Indonesia. 

Temuan ini selaras dengan serangkaian kekerasan terhadap jurnalis. Dalam kericuhan aksi demostrasi massa, pada 21-22 Mei 2019 di Jakarta misalnya, AJI Jakarta mencatat sedikitnya 20 jurnalis mengalami kekerasan di beberapa titik kerusuhan. Tingginya angka korban yang terjadi pada dua hari itu, menjadikan insiden ini sebagai kasus terburuk sejak reformasi.

"Tingginya angka kekerasan terhadap jurnalis ini disebabkan karena tidak adanya penanganan kasus oleh aparat. Apalagi jika kasus kekerasan ini melibatkan personel kepolisian. AJI meminta kasus kekerasan terhadap jurnalis harus diselesaikan dengan tuntas menggunakan delik Undang Undang Pers," kata Ketua Bidang Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Sasmito Madrim dalam rilis yang diterima VIVA, Senin 25 November 2019. 

Selain kekerasan fisik, bentuk ancaman lain yang terjadi saat ini, adalah doxing -pelacakan dan pembongkaran identitas jurnalis yang menulis tidak sesuai dengan aspirasi politik pelaku, lalu menyebarkannya melalui media sosial untuk tujuan negatif- juga dialami jurnalis. 

Selain itu, persoalan upah yang rendah dan kondisi bekerja, juga masih menjadi bentuk ancaman non fisik lain yang membayangi profesi jurnalis di Indonesia. Kendati jurnalis masih rentan terhadap kekerasan dan ancaman, studi menunjukkan, bahwa upaya pemerintah untuk melindungi jurnalis justru masih rendah. 

Selain itu, AJI mendorong perusahaan media agar menyediakan alat pelindung dan keselamatan kerja kepada jurnalis, sebelum menugaskan mereka meliput aksi-aksi di medan berbahaya. 

AJI juga mengingatkan perusahaan media, bahwa perlindungan dan keselamatan jurnalis serta penanganan kasus kekerasan, merupakan tanggung jawab perusahaan media. Karena itu, perusahaan sudah selayaknya menjadi garda terdepan dalam mendampingi korban hingga kasusnya selesai sesuai sesuai mekanisme Undang Undang Pers. Bukan sebaliknya perusahaan malah menghentikan proses pelaporan kasus dan menghambat penanganan kasusnya.

"Karena itu AJI mendorong Kapolri yang baru untuk menuntaskan kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis, baik pelakunya dari pihak non negara maupun negara. Hal ini penting supaya dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku kekerasan dan mencegah kasus serupa terulang kembali," tutur Sasmito Madrim. 

Hasil studi tersebut juga menyebutkan masalah serius lain yang mengancam kebebasan pers dan keselamatan jurnalis adalah impunitas. Skor Indonesia untuk impunitas dalam studi ini berada di angka 7,6. Peringkat disusun dari angka 1 hingga 10, dengan angka 10 adalah skor terburuk. 

Untuk pertanyaan tentang faktor negatif apa yang menggerakkan responden dalam menentukan skor tentang impunitas, studi menunjukkan pemerintah adalah faktor utama. 

Adapun skor untuk efektivitas sistem peradilan dalam menangani kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis adalah 7,5. Selain menyoroti mengenai bentuk ancaman terhadap jurnalis, studi juga membahas mengenai situasi kebebasan media. Di Indonesia, hasil riset menunjukkan bahwa situasi kebebasan media di Indonesia stagnan. 

Faktor utama yang mendorong hal ini adalah kepemilikan media. Selain itu, faktor lain seperti etika jurnalistik dan profesionalitas jurnalisme, kebijakan pemerintah dan legislasi, serta aktor politik dan negara juga memberikan pengaruh terhadap rendahnya kebebasan media di Indonesia.

Direktur IFJ Asia Pasifik Jane Worthington mengatakan bahwa peningkatan kekerasan terhadap jurnalis termasuk kekerasan online menunjukkan, bahwa situasi di level regional masih sangat mengancam bagi jurnalis dalam menjalankan pekerjaan. 

“Kita melihat jurnalis diserang, menjadi korban doxing, ditahan atau dituntut karena pencemaran nama baik, hanya karena para jurnalis ini bekerja melayani kepentingan publik.

Kami berharap riset ini dapat menjadi bagian dari advokasi untuk jurnalis dan serikat pekerja untuk terus melawan dan mendesak perubahan guna memperkuat kebebasan media dan demokrasi,” ujar Worthington.

Laporan pada tahun ini adalah laporan kedua yang diluncurkan dari kolaborasi IFJ dan SEAJU. Riset pertama diluncurkan tahun lalu. Pada 2019, riset terwujud berkat dukungan Media, Safety and Solidarity Fund (MSSF) dan the United Nations Educational, Scientific and Cultural Organisation (UNESCO). 

Pada Asia Tenggara, riset ini melibatkan 1.270 jurnalis dan pekerja media dari tujuh negara, yaitu Indonesia, Kamboja, Filipina, Malaysia, Thailand, Myanmar, dan Timor Leste.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya