Membaca Karakter Gunung Merapi Meletus
- Twitter @bpptkg
VIVA – Gunung Merapi meletus pada Minggu siang, 17 November 2019 pukul 10.46 WIB. Letusan tercatat menyeburkan awan panas setinggi 1.000 meter (1 km) di seismogram dengan amplitudo maksimum 70 mm dan durasi 155 detik. Dengan demikian, status Gunung Merapi hingga saat ini Waspada atau Level 2 sejak 21 Mei 2018.
Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG), Hanik Humaida, mengimbau masyarakat tidak perlu khawatir. Karena, Gunung Merapi yang meletus kali ini masuk ke kategori eksplosif kecil.
Ia juga menjelaskan bahwa letusan Gunung Merapi ada lima karakter. "Gunung Merapi yang meletus sekarang ini adalah karakternya. Gunung Merapi itu kan punya banyak karakter erupsi. Ada lima karakter erupsi Gunung Merapi. Nah, sekarang ini adalah masuk karakter erupsi Gunung Merapi yang eksplosif kecil," ungkapnya.
Dapur magma
Hanik menerangkan bahwa sebelum meletus Gunung Merapi mengalami peningkatan aktivitas kegempaan. Rinciannya, pada 15 dan 16 November, seismograf BPPTKG mencatat gempa rata-rata vulkano-tektonik dalam (VTA) 15 kali sehari, dan multiphase (MP) 75 kali sehari.
Sedangkan, pada 17 November 2019, Hanik merinci sejak pukul 00.00 hingga 11.00 WIB tercatat terjadi gempa VTA sebanyak 3 kali, gempa VTB 4 kali, dan MP 16 kali.
"Peningkatan kegempaan ini diduga mencerminkan akumulasi tekanan gas di bawah permukaan kubah yang berasal dari dapur magma di kedalaman lebih dari 3 km," papar dia.
Hanik menerangkan akibat letusan Gunung Merapi, hujan abu dilaporkan terjadi di sekitar G. Merapi dengan arah dominan ke sektor Barat sejauh 15 km dari puncak yaitu di sekitar wilayah Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang.
Hanik mengungkapkan melihat kondisi Gunung Merapi, BPPTKG memprediksi letusan serupa masih bisa terus terjadi. Hal ini sebagai indikasi bahwa suplai magma dari dapur magma masih berlangsung.
"Ancaman bahaya letusan ini berupa awan panas yang bersumber dari bongkaran material kubah lava dan lontaran material vulkanik dengan jangkauan lebih dari 3 km berdasarkan volume kubah yang sebesar 416.000 m3 berdasarkan data drone 30 Oktober 2019," jelas Hanik.
Ia menambahkan hingga saat ini BPPTKG Yogyakarta merekomendasikan area dalam radius 3 km dari puncak Gunung Merapi agar tidak ada aktivitas manusia. Masyarakat dapat beraktivitas seperti biasa di luar radius 3 km dari puncak Gunung Merapi.
Gempa Sleman
Sementara itu, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika atau BMKG mengungkapkan, Gunung Merapi meletus dipengaruhi oleh Gempa Sleman yang terjadi kemarin, Sabtu 16 November 2019 dengan magnitudo 2,7 yang berpusat di sekitar Gunung Merapi.
Kepala Bidang Mitigasi Gempabumi dan Tsunami BMKG, Daryono, menjelaskan bahwa gempa tersebut sangat dekat dengan puncak Merapi, di mana episenternya terletak pada koordinat 7,63 LS dan 110,47 BT di darat pada jarak 10 kilometer arah selatan dari puncak Merapi pada kedalaman 6 kilometer.
"Jadi episenter gempa ini sangat dekat dengan puncak Merapi. Peristiwa ini mirip dengan erupsi Merapi pada 14 Oktober 2019 lalu yang juga didahului oleh serangkaian aktivitas gempa tektonik yang berpusat di sekitar Merapi," tutur Daryono.
Aktivitas peningkatan vulkanisme, lanjut dia, memang sensitif dengan guncangan gempa tektonik. Secara tektovolkanik aktivitas tektonik memang dapat meningkatkan aktivitas vulkanisme, dengan syarat gunung api tersebut sedang aktif, yakni kondisi magma sedang cair dan kaya akan produksi gas.
"Dalam kondisi seperti ini erupsi gunung api mudah dipicu oleh gempa tektonik. Catatan Gunung Merapi pada 2001 dan 2006 menunjukkan bahwa sebelum terjadi erupsi juga didahului oleh aktivitas gempa tektonik," ujar Daryono.
Gempa tektonik, katanya, dapat meningkatkan stress-strain yang dapat memicu perubahan tekanan gas di kantong magma sehingga terjadi akumulasi gas, yang kemudian memicu terjadinya erupsi. Namun demikian perlu ada kajian empiris untuk membuktikan kaitan ini.
"Data lain yang serupa di luar negeri juga menunjukkan bahwa erupsi Gunung Unzen di Jepang dan erupsi Gunung Pinatubo pada 1990 juga dipicu oleh gempa tektonik," lanjut Daryono.