Kisah Sukses 'Penghuni' Kaki Gunung Wilis Gara-gara Sapi Perah
- VIVA.co.id/Nur Faishal
VIVA – Kesuksesan tak melulu bisa diraih di kota. Dari kaki gunung pun sukses bisa dicapai. Mita Khopiyah (36), warga Desa Penjor, Kecamatan Pagerwojo, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur, membuktikannya.
Karena, tekun dan ulet mengembangkan budidaya sapi perah, dia kini memiliki apa yang sulit dibeli oleh warga pelosok. Bersama suaminya, Slamet, Mita tinggal di sebuah rumah sederhana di RT 01 RW 02 Desa Penjor.
Desa itu berada di kaki Gunung Wilis. Menuju ke sana, butuh waktu lebih dari satu jam dari jalan raya, melewati hutan jati dengan lintasan berbukit-bukit.
Selain pohon jati dan mahoni, undakan sawah dan punuk bukit terpampang di mata sepanjang perjalanan. Di bagian belakang rumah Mita, berdiri kandang terbuka terbuat dari kayu dan atap asbes.
Beralaskan semen, kandang sapi tanpa dinding itu terlihat lebih bersih dari umumnya kandang sapi di desa-desa. Lima belas ekor sapi perah berada di kandang tersebut.
"Yang bisa diperah delapan (ekor)," kata Mita ditemui di kandang sapi perahnya pada Jumat, 18 Oktober 2019. Ia mengaku mulai beternak sapi perah sejak 2005. Saat itu sapi yang dia pelihara milik tetangga dengan sistem bagi hasil.
Separuh keuntungan untuk dirinya, setengahnya diberikan kepada pemilik sapi. "Waktu itu belum mampu beli sapi, kita pelihara sapi orang dengan sistem bagi hasil," ujarnya.
Mita baru mampu membeli sapi sendiri dua tahun kemudian. "Beli satu, terus kemudian dikembangkan lagi, dikembangkan lagi (beranak pinak), sampai sekarang. Yang ada di (kandang) rumah sekarang ada lima belas, yang produksi delapan. Ada lagi dipelihara saudara empat (ekor)," tutur dia.
Budidaya sapi perah Mita kian berkembang ketika ada program pembinaan Farmer2Farmer Frisian Flag Indonesia (FFI) sejak 2017.
"Dulu kita tidak tahu cara perahnya gimana, habis perah itu bagaimana, terus kita tahu penyakit mastitis dan cara mencegahnya. Di program ini saya juga bisa belajar sampai ke Belanda," papar Mita.
Saat ini, Mita mengaku dalam sehari delapan sapi perahnya mampu memproduksi susu murni sebanyak kurang lebih 90 sampai 100 liter. Dengan harga Rp5.700 per liter, sehari dia bisa mengantongi uang sekira Rp500 ribu.
"Keuntungan itu dipotong biaya konsentrat satu ton per bulan sebesar tiga juta rupiah. Kalau rumputnya punya (lahan) kami sendiri. Yang ngerjakan saya dan suami," ujarnya.
Mita mengaku butuh kesabaran untuk memetik hasil manis yang kini diraihnya. Awal mula beternak, dia menghemat diri dan rajin menabung.
"Sekarang alhamdulillah, dari sapi perah saya sudah beli tiga bidang sawah, beli mobil, sepeda motor, dan mencukupi kebutuhan sehari-hari," tandas wanita berjilbab itu.
Di Desa Benjor, selain Mita ada tiga warga lain yang juga mengembangkan sapi perah. Produksi sapi mereka ditampung oleh oleh Koperasi Bangun Lestari mitra FFI di Tulungagung. "Tahun ini kita sudah bisa kirim susu 48 ton," kata Ketua Koperasi Bangun Lestari, Muntohin.
DDP Supervisor FFI, Fajar Hari Setiabudi, mengatakan, kondisi geografis Desa Penjor dan beberapa desa lain di Tulungagung yang berada di lereng pegunungan cocok dengan ternak sapi perah. Sebab itulah, Tulungagung salah satu daerah yang dipilih FFI sebagai sasaran program Farmer2Farmer.
"Memang bagusnya sapi itu hidupnya kan di dataran tinggi atau di suhu di bawah 20 (derajat celsius), itu yang produksi (susunya) bisa maksimal, termasuk rumputnya. Karena rumput di sini kan lebih bagus dibandingkan rumput di dataran rendah. Kalau di dataran rendah dengan cuaca yang panas, sapi bisa mengalami distress. Produksi (susu) pasti turun," kata Fajar.