Nasib PSK saat Lokalisasi Sunan Kuning Diubah Jadi Wisata Religi
- VIVA.co.id/Dwi Royanto
VIVA – Pemerintah Kota Semarang akan menutup kompleks lokalisasi Sunan Kuning atau yang populer dengan Resosialisasi Argorejo, besok, Jumat, 18 Oktober 2019. Rencananya, tempat itu akan diubah dari wisata hiburan malam menjadi wisata religi.
Penutupan lokalisasi tersebut sudah mendapat persetujuan dari para penghuni. Prosedur penutupan lokalisasi pun sudah dilakukan, baik sosialisasi hingga pemberian dana tali kasih yang disepakati kepada para penghuni.
Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi atau yang akrab disapa Hendi ini berharap semua proses bisa berjalan dengan lancar dan sesuai dengan rencana. Dia juga meminta masyarakat untuk menerima para pekerja seks komersial (PSK) atau wanita pekerja seks (WPS) hidup di lingkungan mereka.
"Kadang banyak yang masih sinis, bahkan jijik kalau melihat WPS, padahal mereka kembali itu ada niat untuk bertaubat," katanya di Balai Kota Semarang, Rabu, 16 Oktober 2019, seperti dikutip dari VIVAnews.
Menurut Hendi, penerimaan masyarakat terhadap PSK atau WPS akan membantu mereka tidak merasa dikucilkan. Dengan demikian, mereka bisa menjalani masa depannya dengan baik di lingkungan masyarakat yang mau menerimanya. Mengenai dana tali kasih untuk WPS, Pemkot Semarang sudah memberikan Rp5 juta kepada masing-masing WPS.
Kisah pilu WPS
Salah satu WPS penghuni lokalisasi Sunan Kuning, Handayani (bukan nama sebenarnya) mengaku sudah mendapat jatah dana tali kasih. Namun, bukan hal itu yang dikhawatirkannya. Yang menjadi ketakutannya keluar dari prostitusi adalah virus HIV/AIDS yang diidapnya sejak beberapa bulan lalu.
"Saya sudah terdeteksi HIV/AIDS beberapa bulan yang lalu. Bagaimana dengan keluarga saya nanti? Apa nanti bisa diterima di lingkungan saya? Itu yang saya pikirkan saat ini," ucapnya.
Dia mengaku masih nekat berhubungan seks dengan pelanggannya meski sudah terjangkit HIV/AIDS karena terdesak kebutuhan ekonomi. Selain dirinya, sang suami ternyata juga terjangkit virus yang sama. Namun suaminya selalu menolak saat diajak melakukan pemeriksaan. Bahkan, menurut pengakuannya, sang suami pun masih suka 'jajan' dengan wanita lain.
Setelah Sunan Kuning ditutup, dia bilang, akan pulang dan fokus kepada anaknya supaya tidak tertular HIV/AIDS. Karena itu, dia akan berhati-hati. Misalnya, jika terluka, akan langsung menutup lukanya dengan plester luka steril agar darahnya tidak mengenai anaknya.
Penghuni lokalisasi Sunan Kuning lainnya yang juga terjangkit HIV/AIDS, Ratih mengatakan sulit menjadi Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) saat hidup di lingkungan masyarakat.
Dia yang mengetahui mengidap HIV/AID saat berobat ke dokter pada 2004 silam mengaku kembali ke rumah untuk memulai hidup baru dan rajin memeriksakan dirinya ke dokter sebulan sekali setelah dirinya terjangkit virus tersebut. Namun ketika dia akan menikah, keluarga calon suaminya menolak karena mengetahui dia ODHA meski kekasihnya menerima keadaannya, sehingga pernikahan pun akhirnya batal.
"Di kampung, kabar itu menyebar dari mulut ke mulut, ditambah saya mantan PSK. Wah, berat pokoknya menjalani hidup. Saya kalau keluar rumah merasa dihakimi, apalagi saya sering dengar gunjingan tetangga tentang saya. Pernah saya diteriaki anak hina," tuturnya.
Dia sempat frustrasi selama satu tahun. Namun keluarga mendukung dan mendorongnya untuk bangkit.
Salah satu pegiat Indonesia AIDS Coallition (IAC) Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) Semarang, Widodo bilang yang membunuh ODHA bukan virus HIV/AIDS tapi stigma masyarakat. Itu karena kebanyakan ODHA dijauhi dari pergaulan, bahkan ada yang dihina hingga diusir keluarga sendiri karena malu. Â
"Jika keluarga tidak hadir di saat-saat sulit, bisa saja ODHA akan bunuh diri atau sebagainya," kata dia.
Ubah stigma negatif
Hendi mengatakan salah satu alasan penutupan lokalisasi Sunan Kuning karena berdasarkan data Kementerian Kesehatan, Semarang menjadi kota dengan jumlah penduduk yang terjangkit HIV/AIDS paling banyak di Jawa Tengah. Penutupan lokasiliasi ini pun bertujuan meminimalisir persebaran virus HIV. Alasan lainnya, tindakan kriminal yang marak di lokalisasi tersebut, seperti perkelahian, pembunuhan hingga perdagangan manusia.
Terkait penutupan lokalisasi Sunan Kuning, Widodo memandang punya dua sisi mata pisau, antara upaya pengentasan PSK yang berefek baik atau efek negatifnya berupa persebaran PSK yang tidak terkontrol. Karena itu, menurutnya, pemerintah harus memberikan perhatian lebih kepada PSK yang tidak bisa meninggalkan profesinya lantaran imbasnya persebaran HIV/AIDS pun bakal makin sulit dan luas.
"Maka saya berharap pemerintah bisa lebih perhatian lagi usai penutupan nanti," ujarnya.
Sementara itu, usai lokalisasi itu ditutup, Pemkot Semarang akan mengubahnya menjadi wisata religi yang dilengkapi wisata kuliner. Menurut Hendi, sosok ulama penyebar agama Islam bernama Soen An Ing yang dimakamkan di area lokalisasi Sunan Kuning bisa mengubah stigma negatif tempat itu yang terlanjur dikenal sebagai tempat prostitusi.
"Nanti yang datang tujuan utamanya berziarah ke makam Soen An Ing atau Sunan Kuning. Itu yang perlahan harus diubah stigma negatif tentang Sunan Kuning," ucap dia.