Besok UU KPK Hasil Revisi Berlaku, Jokowi Kenapa Bungkam
- VIVA/Agus Rahmat
VIVA – Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) hasil revisi resmi berlaku pada Kamis besok, 17 Oktober 2019. Aturan yang disahkan DPR pada 17 September ini menuai kontroversi.
Karena itulah, Presiden Jokowi didesak mengeluarkan Peraturan Pengganti Perundang-Undangan (Perppu) KPK. Akan tetapi, hingga hari ini, Perppu KPK tersebut tidak kunjung diterbitkan oleh Presiden Jokowi.
Sesuai aturan, walau tidak ditandatangani Presiden, UU KPK itu akan otomatis berlaku setelah 30 hari disahkan DPR. Jajaran pimpinan KPK kemudian menggelar rapat dengan tim transisi untuk membahas UU KPK yang baru ini.
UU KPK yang baru tersebut bisa berdampak sangat signifikan terhadap operasional komisi anti-rasuah itu. UU yang baru mewajibkan adanya Dewan Pengawas, yang berwenang mengeluarkan izin penyadapan, sehingga  pimpinan KPK tak lagi menjadi penyidik maupun penuntut umum.
Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan menegaskan KPK akan terus melakukan kegiatan penindakan, seperti melakukan pemeriksaan saksi-saksi sejumlah perkara yang sedang ditangani. "Meskipun (pimpinan) sudah tidak lagi menjadi penyidik, penuntut, ini tetap akan seperti biasa," katanya, dikutip dari VIVAnews.
Basaria menambahkan, selama ini proses hukum (pro justicia) yang dilakukan KPK dilakukan oleh Deputi Penindakan KPK melalui penyidik dan penuntut umum, bukan pimpinan. Adapun pimpinan KPK hanya dilaporkan penyidik terkait penanganan perkara.
"Jadi tiap hari jadwal pemeriksaan, pemanggilan nanti berlaku seperti biasa, karena pemanggilan itu kan Direktur Penyidikan," ujarnya. Karena itu, KPK akan berjalan seperti biasanya.
Ia juga menggaransi pemeriksaan saksi-saksi dan tersangka tak berhenti meski UU baru telah diberlakukan nantinya. "Tetap. Tidak ada berhenti. Semua berjalan seperti biasa," kata Basaria.
Koruptor paling diuntungkan
Sementara itu, Ketua Wadah Pegawai KPK, Yudi Purnomo, menyebut bahwa UU KPK hasil revisi menimbulkan kegamangan dalam upaya memberantas korupsi. Karena itu, Yudi berharap Presiden Jokowi dapat mengeluarkan Perppu untuk mengurai masalah UU Nomor 30 Tahun 2002 yang telah direvisi DPR.
"Jika Perppu tidak keluar, akan ada kegamangan dalam upaya pemberantasan korupsi dan tentu saja yang paling diuntungkan dari situasi ini adalah koruptor," kata Yudi di kantornya, Jl Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Rabu, 16 Oktober 2019.
Namun bila tak terbit Perppu, jajaran KPK, kata Yudi, harus melakukan penyesuaian terhadap UU KPK yang baru. Tapi, kendalanya, UU hasil revisi itu belum dilengkapi dengan peraturan-peraturan teknis di bawahnya.
"Karena belum ada pula peraturan turunan di bawahnya, implementasi teknisnya, karena semuanya akan berubah. Mungkin juga lebih dari 50 persen peraturan internal KPK bisa berubah," kata Yudi.
Menurut Yudi, seharusnya KPK dilibatkan sejak awal pada proses revisi tersebut. Agar KPK bisa mengerti poin-poin apa saja dalam UU KPK yang lama, yang akan direvisi serta memberi masukan-masukan.
"Supaya kami bisa mengerti maksud misalnya dewan pengawas apa, karena dewan pengawas di UU revisi bukan untuk mengawasi tapi lebih mengendalikan KPK. Belum lagi soal struktur kepegawaian KPK," ujar Yudi. Apalagi, sambung dia, dalam UU KPK yang baru, posisi pimpinan KPK bukan lagi menjadi penyidik dan penuntut umum.
UU KPK hasil revisi bisa tidak berlaku, caranya, jika ingin dilakukan dengan cepat, yaitu melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu). Sementara cara lain bisa seperti judicial review ke Mahkamah Konstitusi, atau legislative review oleh DPR periode baru. Tapi dua cara terakhir memakan waktu lama.