Kisah Penari Kupang Dituding PKI: Diperkosa, Diperlakukan Bagai Anjing
- bbc
Kini setengah abad lebih peristiwa 65 berlalu dan Melki telah melanjutkan hidup, meski sakit di hatinya abadi.
"Hanya rasa sakit hati di dalam ini yang kita simpan saja. Biar Tuhan yang adili semua. Oma punya penghiburan di situ saja," ujarnya.
"Tuhan yang bantu oma untuk tetap kuat."
Menurut buku Memori-Memori Terlarang, Perempuan Korban dan Penyintas Tragedi 65 di Nusa Tenggara Timur, Gerwani mulai beraktivitas di kota Kupang sekitar tahun 1961.
Kegiatan-kegiatan yang sering diadakan adalah pelatihan keterampilan, seperti menjahit dan memasak. Beberapa penyintas mengatakan tidak ada kegiatan yang berkaitan dengan politik.
Buku yang diterbitkan di tahun 2012 itu menjelaskan banyak orang yang namanya terdaftar sebagai penerima bantuan dari PKI, seperti beras, alat pertanian, hingga tanah, yang kemudian dianggap sebagai anggota PKI.
Banyak pula nama yang terdaftar sebagai anggota PKI dicantumkan karena sentimen-sentimen dan masalah pribadi, sebagaimana dijelaskan dalam buku yang diedit Mery Kolimon dan Liliya Wetangterah itu.
Sementara proses rekonsiliasi politik dan hukum berjalan di tempat, para penyintas memulihkan diri mereka sendiri melalui agama.
Salah satunya melalui kegiatan-kegiatan doa yang diusung Jaringan Perempuan Indonesia Timur (JPIT), sebuah organisasi yang terdiri dari pendeta-pendeta dan calon pendeta.
Sejumlah penyintas, seperti Melki, rutin mengikuti kegiatan `Sahabat Doa` yang diinisiasi JPIT, di mana para lansia dapat berbagi dan saling menguatkan dengan sesama penyintas.
Ketua Jaringan Perempuan Indonesia Timur (JPIT) yang juga peneliti kasus 65, Pendeta Paoina Bara Pa, mengatakan proses pemulihan dimulai saat para penyintas mengungkapkan pengalaman pahit mereka.
Untuk membuat para korban mau berbicara tentu tidak mudah, karena trauma yang telah mereka pendam bertahun-tahun.